Welcome N Join Us

Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda

Jumat, 17 Oktober 2008

TAHUN BARU TIYA

OLEH : RESSA NOVITA (OCHA)

Kurentangkan ke dua belah tanganku kearah yang berlawanan, seperti malaikat yang siap pulang ke surga. Kurapatkan kaki tak beralasku ke bebatuan kasar di tengah rel-rel besi yang mulai berkarat.
“SELAMAT TINGGAL MASA LALU !!!”
Lantang, kuteriakkan kalimat keramat itu berulang kali. Yah, karena hanya saat ini aku akan mengucapkannya. Lagi dan lagi. Sampai aku benar-benar yakin, telah kutinggalkan masa lalu ku.
“Tuuuuutttttttttt…”
Kereta listrik itu akan segera tiba, aku bisa mendengar suaranya dari kejauhan. Suara dari gerbong yang akan mengakhiri masa lalu ku.
Kututup sepasang kelopak mataku yang putih pucat tertiup hembusan angin. Aku nikmati udara terakhirku. Udara dari masa lalu. Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi. Lagi! Sejumlah kenangan yang mungkin tak akan aku lupakan. Seolah jiwa dan raga ku kembali ke waktu itu. 29 Desember 2007, 3 hari yang lalu di masa lalu ku.

“Masih bertahan?!”
Segaris senyum di hadapanku membuatku segera membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk lesu sambil lekat menatap matanya yang bersinar kecoklatan.
“Sampai kapan?! Tahun akan segera berganti lagi. Kalau kamu terus bertahan di jurang sesempit ini, biar aku siapkan peti mati dan sebuah lubang rumah masa depan untukmu!”
“Yah, boleh! Kalau uangmu cukup aku pesan dua. Aku mau kamu ada di sebelahku!”
“TIDAKKK!!!”
Galang berteriak histeris. Nafasnya terhenti seketika. Dia mati suri di depanku.
Panggil aku Tiya. Si gadis belia yang bertahan hidup di dalam keluarga yang super bobrok, super kacau, super hancur, dan semua kata yang berarti sesuatu yang tidak menyenangkan boleh dipadukan dengan kata ‘super’ di atas.
Sejujurnya aku tak tahan, hanya saja aku mencoba bertahan. Aku ini putri tunggal seorang pengusaha kecil yang bisnisnya lumayan berkembang. Dulu aku pernah punya seorang kakak lelaki, tapi dia sudah berpulang berkat kegagalan orangtua ku mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak?! Suhu udara di dalam rumah tak pernah sejuk, sekalipun pendingin udara dipasang di setiap ruangan. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir mereka berbincang mesra. Hari-hari bersama mereka lalui dengan pertengkaran. Kadang hanya makian yang menyayat hatiku, kadang satu perabot dapur terlempar ke lantai, kadang sebuah pintu kamar rusak setelah dibanting kuat-kuat. Tak hanya itu, kadang pria yang tak kukenal masuk ke kamar Ibuku, kadang sebaliknya, Ayah membawa wanita simpanannya pulang ke rumah.
Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka?! Kalau mereka bertengkar di setiap detik mereka bersama, kenapa mereka menikah dan terus bersikeras mempertahankan pernikahan mereka? Lalu, tak ingatkah mereka padaku, pada kakakku?! Kami masih terlalu muda untuk kehilangan kehangatan keluarga. Yah, masih bagus aku tidak berpikir untuk mengikuti jejak kakakku. Meninggal di antara tumpukan jarum suntik dan obat-obatan terlarang.
“Seperti tahun yang baru, seharusnya kamu memulai hidup baru. Tinggalkan yang tidak berguna dan cari yang bahagia. Buatlah sebuah perubahan. Ukir sebuah senyum, biarkan airmatamu mengering!”
“Tak ada gunanya berpuitis seperti itu! Bilang saja kamu mau aku cepat-cepat menyusul Kak Tyas! Cepat pesan lubang masa depannya! Jangan lupa buat kamu tepat di samping aku! Aku sudah tidak sabar nih!”
“Masih ingat tawaranku waktu itu kan?! Pertimbangkan sekali lagi! Aku beri tambahan waktu sampai malam tahun baru besok untuk keputusannya” jawabnya mengakhiri pembicaraan karena bel masuk pelajaran berikutnya sudah menggema di seluruh sudut sekolah.
Awalnya aku kekeh untuk bertahan dan tetap berada di tengah-tengah keluarga ini apapun yang terjadi, karena bagaimanapun juga mereka keluargaku, Ayah dan Ibu yang membesarkanku. Sampai akhirnya tawaran itu datang dari Galang, teman dekatku. Dia menawarkan hidup baru yang lebih baik. Dan tawaran itu kini membuatku bimbang. Ada perasaan ingin melangkahi hidup yang baru tapi ada perasaan berat jika harus meninggalkan hidup yang kacau ini dengan di dasari ego. Ini tidak akan adil untuk Ayah dan Ibu ku. Tapi jika tidak kulakukan, sama saja ini tidak adil untukku.

“RATIYA!!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”
Teriakan itu membuatku kembali pada diriku dan mengalihkan pandangan ke asal suara. Kulihat Galang melambaikan tangannya dari kejauhan. Tubuhnya bergerak semakin cepat mendekatiku.
“TIDAK!!! TETAP BERDIRI DISITU, GALANG!!! JANGAN IKUT CAMPUR!!! INI HIDUPKU!!! INI HIDUPKU!!!”
Kulihat Galang memperlambat langkahnya. Siapa perduli?! Dia tak akan bisa mencegah keinginanku!

“Enam puluh… Lima puluh sembilan… Lima puluh delapan…”

Suara apa itu?! Itu kan… Aku tadi malam… Aku yang sedang menghitung mundur detik-detik terakhir pergantian tahun.

“Lima puluh tujuh… Lima puluh enam… Lima puluh lima…”
Kuarahkan pandanganku lekat ke luar jendela kamarku. Malam-malam pergantian tahun pada tahun-tahun sebelumnya, dari sini terlihat banyak kembang api di langit tepat pukul 12 malam. Malam ini aku ingin lebih menikmati pemandangan indah itu. Katanya di pusat kota akan ada pesta kembang api besar-besaran untuk pergantian tahun kali ini.
“Lima puluh empat… Lima puluh tiga…”
“PRANGGGG!!!”
“Kyaaaaaaaaaa…”
Suara dahsyat itu membuatku sontak menutup telinga sambil berjongkok di dinding jendela. Itu bukan suara kembang api yang terlalu awal di nyalakan, kan?! Bukan?!
“BRAAAAAAKKKK!!!”
“JAGA MULUTMU!!! PEREMPUAN JALANG!!!”
Oh, itu suara Ayah! Entah benda-benda apa yang mereka buat senjata di lantai bawah sana?! Huh, masa tahun baru mereka bertengkar juga!!! Apa mereka tidak berpikir bahwa itu akan sangat menggangguku?!
Kulirik jam dinding yang menempel dekat dengan foto keluarga yang sengaja kupajang dengan bingkai besar.
Ah, aku kehilangan 20 detik yang berharga.
“Tiga puluh satu… Tiga puluh… Dua puluh sembilan…”
Tuhan, berikan aku kesabaran dua puluh sembilan detik lagi! Aku mohon, Tuhan!
“Dua puluh delapan… Dua puluh tujuh… Dua puluh enam…”
“AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!” suara Ibu.
“KALAU BEGITU TUNGGU APA LAGI, KITA CERAI!!!” timpal Ayah.
“PIKIRKAN KATA-KATAMU!!! OMONG KOSONG SAJA ISINYA!!! AKU SUDAH MEMINTANYA SEJAK DULU!!! TAPI KAMU TAK JUGA MENCERAIKANKU!!!”
“AKU MEMIKIRKAN PERASAAN PUTRI KITA!!! TIDAK SEPERTI KAMU!!!”
“DASAR BAJINGAN!!!”
“BRAAAAAAKKKKKK!!!”
“CUKUP!!! KALIAN SUDAH GILA!!!” teriakku tak tertahankan lagi.
Aku segera bangkit dan bergegas keluar dari kamar. Tiba-tiba pandanganku kabur. Otakku terasa penuh. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kubasuh mataku dengan telapak tangan yang kering karena dingin. Ah, ternyata airmataku sendiri yang membuat pandanganku kabur.
“PYAARRR!!! PYAARRR!!! DHUAARRR!!!”
Suara letupan kembang api yang khas menggema di telingaku. Dan aku baru saja kehilangan detik-detik itu. Detik-detik yang sudah berjam-jam kutunggu, sampai-sampai aku tak berani merebahkan tubuhku di kasur dengan selimut yang hangat.
Kualihkan pandanganku ke arah jendela. Benar, langit berkilau api beraneka warna. Tapi pemandangan itu tidak lagi terasa menarik bagiku.
Kata orang, tahun baru itu berarti harapan akan adanya perubahan menuju hidup baru yang lebih baik. Meninggalkan kenangan-kenangan tak berarti dan membungkusnya dalam selembar mimpi di malam terakhir. Membuka hari dengan segenggam pasir impian dan menaburkannya di setiap sudut doa. Menghitung waktu yang tak pernah berjalan mundur, di depan sana semoga masih ada kebahagiaan untukku.
Happy New Year, Ratiya Damayanti !
Mungkin ini saatnya kamu mengakhiri penderitaan orangtua mu. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk membalas jasa mereka membesarkanmu sampai bisa berpikir sedewasa ini.
Cepat, kugerakkan kaki-kakiku menuruni tangga, menuju “penjara” mereka. Kulihat pintu kamar mereka tak tertutup, mereka asik perang di dalamnya. Tangan Ayah menggenggam sebuah vas bunga yang cukup besar, mungkin hendak ia layangkan ke kepala Ibu. Di sudut ruangan Ibu meringkuk ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, wajahnya bersimbah airmata.
“Cukup!!! Permainan kalian selesai sampai disini!!!” ucapku lantang.
“Tiya, sedang apa kamu disini, Sayang? Sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Ayah lembut seperti biasanya. Wajahnya bermain saat berbicara denganku, tapi tangannya tak bergeser sedikitpun. Terlihat sekali niatnya untuk mengadu vas bunga itu dengan kepala Ibu.
“Jangan pura-pura manis lagi!!!” kurebut vas bunga dari tangan Ayah. “Kalian berdua iblis!!! Bukan orangtua biasa!!!” teriakku lagi.
“PRAAAANGGGGG!!!”
Kulemparkan vas bunga itu kuat-kuat ke luar kamar, melewati pintu yang masih terbuka lebar.
“Sayang, maafkan Ibu! Gara-gara kami, kamu terbangun!”
Ibu berlari hendak meraih pelukanku, tapi aku segera menghindar.
“Kapan kalian sadar?!” lanjutku kali ini dengan suara pelan. “Kalian kira aku bahagia?! Kalian kira perasaanku terjaga karena keegoisan masing-masing dari kalian?! Seperti apa yang selama ini kalian harapkan?! Tidak! Aku sudah bilang sejak dulu sebaiknya kalian bercerai! Jangan pikirkan aku! Pikirkan hidup kalian dulu! Toh, akhirnya keputusan kalian membuatku merasa… tak ada artinya aku di keluarga ini. Dan lebih dari itu… kalian menghancurkan jiwaku, perasaanku… Aku tertekan… Jauh lebih tertekan dari apa yang dulu pernah dirasakan almarhum Kak Tyas. Kalian tahu, apa yang selama ini aku simpulkan atas hidupku yang kalian buat sedemikian rupa? Seharusnya sudah sejak dulu aku menyusul Kak Tyas. Mempertahankan hidupku sama dengan mempertahankan penderitaan kalian berdua. Sikap kalian yang egois membuatku merasa menjadi anak yang durhaka!”
“Tidak, Tiya! Tidak! Bukan maksud Ayah untuk…”
“Diam!!! Aku tak minta kalian menjelaskan apapun! Indera ku cukup sempurna untuk membaca semua permasalahan secara mendetail, bahkan lebih dari semua yang kalian sadari. Aku bukan anak kecil yang selamanya bisa kalian cekoki dengan kalimat yang manis dan bujukan-bujukan yang menyenangkan. Semuanya harus berakhir sekarang!”
“Tiya…”
“Kalau aku pergi, aku yakin tidak akan ada lagi yang menghalangi perasaan kalian untuk berpisah! Iya, kan?! Karena itu aku akan pergi!”
“Tiya, jangan pergi! Kamu mau kemana?! Kamu harus tetap bersama kami!”
“Ibu tidak perlu khawatir! Aku ingin bersama Kak Tyas lagi, itu saja!”
“TIDAK!!! TIDAK TIYA!!! TIDAK!!!”
Ibu berteriak histeris mendengar jawabanku. Reaksinya membuatku tak mampu menahan bendungan airmata. Aku bahkan tak mampu lagi menahan emosiku.
“Aku ingin melihat kalian bahagia!!! Aku juga ingin hidupku bahagia!!! Dan itu semua tidak akan pernah kudapati kalau aku terus berada diantara kalian!!! Mengertilah!!!”
“Jangan lakukan hal bodoh itu! Kami janji akan lakukan apapun yang kamu minta! Kami tidak ingin kehilangan kamu, Tiya!”
“Aku juga tidak ingin kehilangan kalian! Tapi aku lebih tidak ingin mempercayai kalian lagi! Selamat tinggal Ibu, Ayah!!! Semoga kalian bahagia dengan hidup baru kalian tanpaku!”
Dengan yakin kumelangkah keluar dari kamar mereka. Sebelum akhirnya Ayah menarik tubuhku kuat-kuat untuk menghalangi niatku.
“Kamu tidak boleh melakukannya!!! Ayah tidak akan membiarkan itu terjadi!!!”
“Ayah tidak bisa mengatur hidupku!!! Lepaskan aku!!!”
Dengan sedikit kasar aku mendorong tubuh tinggi Ayah menjauhiku. Hampir ia hilang keseimbangan dan terjatuh.
“Maaf!!! Jangan cari aku!!! Karena aku tidak akan ada lagi dimanapun?! Sekalipun berbentuk mayat!!!”
Dengan cepat aku lari ke luar rumah. Kulihat mereka mengejarku. Tapi aku sendiri tahu mereka tak akan mampu mengejarku. Karena untuk pertama kalinya aku begitu bersemangat lari dari kenyataan hidupku, aku akan lari sekencang mungkin. Meninggalkan masa lalu. Mencari hidup yang baru.

Kubuka mataku. Kulayangkan pandangan mataku pada langit yang biru. Pagi yang indah.
Kudengar suara gerbong kereta listrik itu semakin mendekat, kira-kira 50 meter di dekat ku. Suaranya terdengar indah.
Semakin mendekat… Semakin mendekat…
Berbaur dalam satu suara, Galang berteriak memanggil namaku. Ternyata suara Galang terdengar merdu, atau hanya perasaanku saja.
Angin di sekitarku semakin kuat berhembus. Tanda bahwa jarak antara aku dengan kereta itu sudah sangat dekat. Berarti, sudah saatnya.
“SELAMAT TINGGAL MASA LALU!!!”
Detik berikutnya kurasakan tubuhku terlempar dari tempatku berdiri semula. Aku terguling di atas tanah berumput basah. Bersama Galang yang memeluk tubuhku erat-erat.
“Galang, lepaskan aku?!”
“Tidak akan! Sebelum pikiranmu kembali waras?!”
“Aku tidak gila, Galang! Lepaskan aku!”
“Kamu hendak membiarkan tubuhmu tergilas barisan gerbong itu dan kamu berpikir kalau itu tindakan waras. Apa itu bukan gila namanya?!”
“Hahaha!!! Kamu pikir aku manusia yang sepicik itu, manusia yang rela tubuhnya digilas kereta listrik?! Aku belum mau mati!”
“Tapi, kalau aku tidak mendorong tubuhmu…”
“Aku akan melompat dengan sendirinya! Ah, kamu mengganggu ritualku! Aku kan sudah bilang, perhatikan saja dari jauh!” protesku.
“Kamu benar-benar gila, Tiya!” cibirnya pelan.
“Galang, aku terima tawaranmu! Aku bersedia menjadi anggota baru keluargamu! Mulai sekarang juga aku akan jadi adik yang manis untukmu!” ucapku sembari mengumbar senyum.
“Kalau aku meminta lebih bagaimana?!”
“Itu urusan nanti…”
“Oke! Selamat datang di hidupmu yang baru, Ratiya Damayanti!”
“Maaf, Ratiya Damayanti baru saja mengakhiri hidupnya di atas lintasan kereta! Perkenalkan, namaku Gemintang!”
Ratiya sudah mati, dipagi hari setelah ia meninggalkan keluarganya. Dia sudah menyusul kakaknya di surga. Semua orang harus tahu itu. Dan mereka harus percaya itu. Ratiya sudah mati tergilas kereta api dan jasadnya menghilang begitu saja.
Selamat tinggal, Ratiya! Selamat tinggal masa lalu mu!
TAPI…
GEMINTANG, SELAMAT DATANG DI HIDUP YANG BARU!

* * * TAMAT * * *

Tidak ada komentar: