Welcome N Join Us

Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda

Jumat, 17 Oktober 2008

Masih Adakah Bintang di Langit

Oleh : Ressa Novita (Ocha)

"Ah, lagi-lagi langit tak berbintang !" keluhku pelan saat tertimpa cahaya langit yang malam ini dan malam-malam sebelumnya hanya milik rembulan.
Kulanjutkan langkahku menaiki tangga untuk sampai di tempat favoritku, atap rumah. Sesampainya di tempat ini biasanya, aku langsung menyilangkan kakiku dan duduk di lantai atap yang tak bergenting. Biasanya. Tapi kali ini, sekejap mood-ku hilang setelah mendapati langit yang tak seindah biasanya.
Apa aku turun saja ya? Tapi, nanti Rysta heran kalau tahu aku cepat turun dan dia akan mengira kalau bintang Mama sudah jatuh dari langit.
Sebenarnya bintang-bintang itu kemana sih?!
"Kak, Mama terlihat jelas dari atas sana kan?" teriak Rysta, adikku satu-satunya.
Mama kami seorang single parent. Merawat kami seorang diri, sementara Papa tak lagi ingat pulang semenjak kepincut janda muda di kantornya. Kami sudah melupakannya, apalagi waktu sudah berlalu hampir 10 tahun sejak kepergiannya. Mungkin dia sudah punya keluarga baru, istri-istri baru dan anak-anak baru. Aku harap dia tidak akan kembali lagi! Yah, jangan sampai dia kembali! Karena aku akan membakarnya hidup-hidup untuk membalas perlakuannya pada kami.
Sejak kepergian Papa, kondisi kesehatan Mama menurun drastis. Mama mulai sakit-sakitan sedangkan kami tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu kami masih sangat kecil, aku berumur 10 tahun dan Rysta baru berumur 7 tahun. Apa yang bisa kami lakukan selain menangisi Mama yang semakin hari kondisinya semakin memburuk.
"Rasty! Rysta! Lihatlah bintang di langit jika nanti kalian merindukan Mama. Setelah ini mama ingin pergi ke surga dan menjadi bintang di langit, agar Mama bisa selalu menemani malam-malam kalian yang sepi. Temukanlah bintang yang sinarnya paling terang, percayalah itu Mama"
Kami ingat betul dan tak akan pernah lupa. Mama berpesan seperti itu sebelum ia nafas terakhirnya berhembus dan menutup matanya dari kejamnya hidup. Sebelum ia meninggalkan kami sebatang kara.
"Kak, bintang Mama ada kan?!" teriak Rysta sekali lagi, membuyarkan lamunanku.
"Ya, tentu saja Rys! Mama nggak akan meninggalkan kita. Dia di atas sana bersinar indah sekali, lebih indah dari biasanya. Selain bintang Mama, ada ratusan bintang lainnya, awan-awan putih yang melayang terbawa angin, rembulan yang bersinar terang dan burung-burung malam yang beterbangan kesana kemari. Langit malam hari ini indah sekali!" jawabku dengan sangat tidak jujur.
Setiap ada waktu senggang di malam hari aku selalu kesini, atau kemanapun yang dapat kumelihat langit dengan jelas. Tapi ini sudah hari ke enam aku tidak menemukan rembulan yang ditemani bintang-bintang.
Dimana mereka?! Berpindah ke tempat lain mungkin?! Kehabisan cahaya?! Atau mungkin mereka sudah tidak ada di langit?! Mati dan jatuh ke bumi?! Kasihan langit malam. Rembulan terlihat merenung kesepian dan burung-burung malam seolah enggan bergumul riang.
"Kak, andai Tuhan memberiku kesempatan untuk melihat sekali saja, satu menitpun tidak apa-apa!. Aku ingin melihat langit malam dan mengenali satu bintang sebagai bintang Mama. Kak, tolong sampaikan salam sayangku ke Mama ya! Dan bilang juga, jangan lupa datang lagi besok malam!"
Semoga suatu hari nanti harapan Rysta tidak hanya sebatas mimpi. Semoga Tuhan mengabulkan doa-doanya agar sekali saja ia dapat melihat dunia. Tapi, ada baiknya juga adikku yang manis itu tidak dapat melihat, aku kira kekurangan itu selamanya hanya akan menimbulkan masalah. Dengan begini Rysta yang cengeng tidak akan tahu kalau langit malam begitu polos tanpa bintang dan dia tidak akan merajukkan kerinduannya kepadaku.

* * *
"Apa?! Kamu bilang bintang itu sudah tidak ada lagi di langit?! Hahaha… Memangnya mereka mau transmigrasi ke mana?! Ke dasar laut?! Hahaha" Bima balik bertanya dan membumbui semua pertanyaan dengan ejekan.
"Lalu bagaimana kamu menjelaskan dimana bintang-bintang sekarang?! Sudah berhari-hari aku tidak melihatnya!" balasku tak mau kalah.
"Aku masih tidak mengerti. Dua orang gadis cantik setiap malam memandangi bintang hanya karena ibunya berkata kalau setelah meninggal ia akan menjadi bintang. Dan kedua gadis yang sudah dewasa itu masih saja percaya. Ibumu mengatakan itu semua agar kalian yang waktu itu masih kanak-kanak tidak akan terlalu sedih setelah kehilangan dia. Itu saja. Tidak ada alasan lain! Lalu kenapa kalian masih mempercayainya sampai kalian sebesar ini?! Rasty, apa pertumbuhan otakmu tak secepat tubuhmu?!" ucapnya sambil mengetuk-ngetuk pelan kepalaku dengan kepalan tangannya. "Bagaimana kamu menjelaskannya?!" lanjutnya serius.
"Entahlah, aku sendiri bingung kenapa aku terus mempercayainya. Aku tahu semua itu hanyalah cara Mama untuk mengurangi kesedihan kami. Tapi, hatiku bilang aku percaya dan aku tidak ingin kehilangan Mama yang kini menjadi bintang di langit"
"Tidak perlu sampai seperti ini kan?!"
"Paling tidak aku tidak ingin menghancurkan kepercayaan Rysta!" ucapku dengan nada sedikit kesal. "Biar dia terus percaya dan bermimpi di dalam kegelapan hidupnya! Biar dia terus merasakan keberadaan Mama didekatnya lewat bintang, meskipun itu semua benar-benar sebuah dongeng! Dan Mama tidak pernah menjadi bintang atau apapun di atas langit yang menemani malam-malam kami"
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri, aku malah menitikan air mata. Kalau bintang itu tidak ada sama saja Tuhan melukai Tari yang sejak lahir sudah dibekali luka.
"Masih ada bintang di langit, Ras! Kamu memang terlalu bodoh, sampai-sampai beranggapan kalau bintang sudah tidak ada lagi. Tapi jangan sedih, bintang akan terus ada di langit! Tidak akan pernah pergi meninggalkan orang-orang yang mencintai mereka"
Ucapan Bima menenangkan hatiku. Jari tangannya yang lembut menghapus airmata di pipiku. Ternyata aku tidak salah mencintainya. Dia pandai masalah perbintangan.
"Benarkah?" tanyaku menahan isak.
"Bintang itu segumpal benda seperti batu yang besar dan melayang-layang di ruang angkasa, mereka terkena cahaya matahari dan memantulkan cahaya itu kembali ke bumi. Dan masalah bintang-bintang itu terlihat atau tidak, dipengaruhi oleh kondisi langit di bumi. Jaman dahulu kala waktu bumi masih merupakan hamparan hutan dan perairan yang dihuni sekelompok kecil manusia dan hewan-hewan purba, langit malam itu seperti lautan bintang. Isinya cuma bintang semua dan satu bulan tentunya. Karena dulu tidak ada yang namanya pencemaran udara. Tidak ada limbah pabrik, tidak ada asap kendaraan bermotor, tidak ada asap rokok, juga tidak ada pembangunan gedung-gedung mewah yang menyebabkan penebangan pohon disana-sini. Pencemaran udara itu yang membuat bintang-bintang tak lagi terlihat, sekalipun ada paling hanya beberapa jumlahnya. Langit di bumi jaman sekarang, tidak lagi punya banyak oksigen, malah dipenuhi dengan carsinogen. Hari ini mungkin baru bintang yang tidak terlihat, beberapa tahun ke depan mungkin bulanpun hanya terlihat samar-samar, atau bahkan tak terlihat sama sekali. Yang paling parah polusi-polusi itu akan melahap seluruh atmosfir pelindung bumi, dan bumi kita yang indah ini akan hangus tertelan panas matahari"
"Hiiiii.."
"Kok, malah Hiiii…?! Kamu itu bego atau pura-pura bego sih?! Masa masalah global warming yang akhir-akhir ini heboh diperbincangkan masyarakat sedunia, kamu nggak tahu sich! Kita ini sudah masuk tahap awal untuk tertelan panas matahari tahu!"
"Nggak tahu!"
"Bukannya nggak tahu, tapi nggak mau tahu!"
"Jadi bintang sudah tidak ada lagi di langit! Bagaimana aku menjelaskannya kepada Rysta?!"
"Aduh, Rasty! Susah banget sih ngasih tahu kamu! Masih ada bintang di langit! Masih ada! Masih ada! Masih ada!" teriak Bima gemas.
"Lalu bagaimana aku bisa percaya kalau bintang masih ada?! Sedangkan aku saja sudah tidak melihatnya lagi di langit manapun!"
"Kita lihat malam di daerah yang belum berpolusi?!"
"Dimana?!"
"Nggak tahu! Makanya kita harus cari sama-sama"
Hari itu kami menunggu malam sampai mulai meninggi. Bima merogoh saku celananya dan mengambil kunci mobil kesayangannya.
"Ayo, kita cari bintang Mama mu!"

* * *
"Dimana?! Bintang, kamu dimana?! Bima, kamu lihat kan?! Bintang nggak ada dimana-mana?! Hanya ada bulan, awan! Hanya ada bulan dan awan!"
Aku terjatuh lemas ke atas tanah bukit hijau yang berumput basah. Airmataku ikut membasahi rerumputan itu. Sudah hampir pukul 1 malam. Dan aku belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau bintang masih ada di langit. Begitu banyak tempat yang masih jauh dari keramaian yang sudah kami datangi, tapi aku belum melihat satu bintang pun.
"Bintang masih ada, Rasty! Bintang masih ada! Percayalah! Kamu jangan bertingkah seperti anak kecil begini dong!"
"Aku memang anak kecil! Seharusnya kamu menyadari itu dari awal! Aku anak kecil yang percaya dongeng, yang masih percaya kalau Mamaku ada diantara bintang-bintang itu. Selamanya aku akan menjadi anak kecil agar aku terus percaya. Mama…Mama"
"Rasty"
"Mamaku begitu hebat, dia bilang dia bintang, dan dengan cara sederhana itu dia meyakinkan kami untuk tetap bertahan hidup. Dia meyakinkan kami, anak yatim piatu yang sendiri di sebuah rumah besar untuk percaya kalau kami tidak sendiri dalam kesendirian sehebat apapun. Dia meyakinkan kami, dia akan selalu ada bersama kami. Setiap saat kami melihat langit malam, semangat yang mati itu kembali tumbuh. Hanya dengan meyakini bintang itu adalah Mama, aku bertahan sampai sebesar ini"
"Rasty.."
"Seharusnya kamu berterimakasih padanya! Coba kalau dia tidak bicara seperti itu, kamu tidak mungkin mengenal gadis sebaik aku dan calon adik ipar semanis adikku. Tidak mungkin!" ucapku setengah berbisik sambil mencoba tertawa riang. "Aku pasti sudah gila! Atau mungkin aku sudah mati menyusulnya! Mungkin aku akan memilih hidup liar di kota yang ramai! Membuang Rysta yang setiap saat menyusahkanku! Dan mencari kesenangan sendiri untuk melupakan semua keputusasaan!" teriakku menumpahkan semua perasaan yang tersimpan.
Setelah itu aku menangis, merengek pedih sekeras yang aku bisa. Bima hanya diam, tubuhnya memeluk tubuhku dari belakang. Hangat yang berusaha menenangkanku.
"Aku tidak ingin bintang pergi dari malam-malamku! Tidak ingin semangat tunggal itu hilang, Bima… Aku nggak mau"
"Aku tahu.. Aku mengerti kesedihanmu. Kalau tidak ada lagi bintang di langit, aku bersedia menggantikannya, sayang! Selamanya!" kata-kata Bima yang lembut semakin menenangkanku. Kuseka airmata yang membasahi pipiku. Isakanku mereda.
Bima mencondongkan wajahnya di samping wajahku, hingga aku bisa melihat senyum yang menutupi kekhawatiran di bibirnya.
"Kamu tahu nggak? Sebenarnya, aku sudah pernah bertemu dengan Mamamu beberapa hari sebelum Mamamu dirawat di rumah sakit. Mamamu memintaku menjadi bintang di bumi, kalau bintang di langit sudah tidak ada. Mamamu minta aku untuk menyinari kalian dengan cahayaku sendiri, bukan dengan cahaya matahari seperti yang dimiliki bintang-bintang di langit. Nah, dengan begitu kamu tidak perlu lagi menunggu malam dan mencari bintang. Cukup melihatku saja kamu bisa melepaskan kerinduanmu pada Mamamu. Dan yang lebih hebatnya, kamu bisa memelukku sepuas-puasnya. Anggap saja aku ini Mamamu!"
Mendengar gurauannya, airmataku kembali mengisi pelupuk mataku. Airmata haru.
Apa selama ini aku menutup mata? Pria ini lebih dari kekasihku. Aku tak bisa menahan tawa yang meluncur mengiringi airmataku. Aku serasa kembali memiliki seorang Papa.
"Papa" panggilku manja, sambil memberikannya pelukan seorang anak.
Kususupkan wajahku di bahunya yang hangat.
"Aku bukan Papamu!" jawabnya lembut, dan membiarkanku memeluknya erat-erat.
"Papa" panggilku lagi, sengaja meledeknya.
"Rasty"
"Ehm…"
"Apa yang kamu sedang lihat di belakang punggungku?!"
"Rerumputan yang basah oleh embun dan tertimpa sedikit cahaya benda-benda langit"
"Kamu tidak ingin melihat langsung cahaya benda-benda langit itu?! Indah sekali"
Tanpa melepaskan pelukan, kutegadahkan kepalaku dengan sedikit menyimpan tanda tanya. Dan…
"Bintang!!!"
Langit malam berbintang. Tidak banyak. Hanya beberapa. Dan satu diantaranya bersinar begitu terang, seolah menggodaku untuk menggapainya.
Kujauhkan tubuh Bima dengan sedikit kasar, sampai-sampai ia jatuh terlentang keatas tanah berumput yang basah.
Aku berlari sekencang mungkin menaiki puncak bukit yang tertinggi. Menari bersama bintang.
Mama, semangat darimu tidak mati bersamamu! Masih ada bintang di langit! Bintang Mama yang tak akan pernah pudar ataupun jatuh! Jangan pergi, bintang! Jangan pergi lagi! Akan aku jaga kalian yang tak sebanyak dulu! Akan kuceritakan masalah yang menimpa kalian kepada Rysta, agar ia menanam pohon lebih banyak di kebun kami. Akan kuceritakan dongeng yang sama kepada semua anak yang akan aku temui, termasuk anak-anakku. Agar mereka menyayangi dan melindungi kalian, dengan cara mereka masing-masing. Dan akan aku minta Bima untuk…
"Bima, mulai hari ini tidak ada asap rokok! Tidak ada asap knalpot! Kamu tidak boleh merokok! Dan tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor!"
"Yah, terus kita kencan naik apa dong?!" rengek Bima.
"Naik sepeda ontel!"
"TIDAKKK" teriak Bima untuk mengakhiri kisah ini.

* * * TamaT * * *

Tidak ada komentar: