Welcome N Join Us

Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda

Jumat, 17 Oktober 2008

PERMOHONAN BANTUAN DANA

"Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mengembangkan kosa kata
Selama ini kami-kami kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar beragumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
Tapi mata kami kan nyala bila menonton televisi"
(Taupik Ismail, 1997)

Begitulah sepenggal kata-kata Taupik Ismail menanggapi rendahnya minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda Indonesia.
Dengan melihat besarnya porsi sekolah dalam menginput pengetahuan terhadap anak, maka kegelisahan akan lemahnya pengajaran sastra di sekolah yang berdampak pada rendahnya minat baca dan tulis bisa diterima.
Hal terbukti dengan semakin terpinggirkannya seni sastra dari perhatian generasi muda Indonesia. Walaupun saat ini telah begitu banyak kehadiran generasi muda dengan karya-karyanya yang cukup laris di pasaran dan kehadiran website-website yang mengkhususkan diri pada sastra, namun seni sastra masih jauh kurang diperhatikan.
Bahkan, tidak saja oleh generasi muda, tapi juga lebih menyeluruh dari itu. Karena, kalaupun ada buku novel, kumpulan cerpen atau puisi yang laris dan pemanggungan sajak yang ditonton oleh ribuan orang yang histeris, yang menjadi pusat perhatian sesungguhnya bukanlah sastranya, melainkan figur tokoh yang membawakannya.
Atas dasar itulah, sekelompok generasi muda mencoba merespon fenomena tersebut dengan membentuk Komunitas Penulis Jakarta sebagai wadah guna menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda.
Dengan dibentuknya Komunitas Penulis Jakarta, diharapkan generasi muda dapat mengembangkan kreatifitasnya dan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, serta mampu mengembangkan apresiasi terhadap sastra.
Namun, dalam perkembangannya Komunitas Penulis Jakarta mengalami kendala dalam menjalankan program-programnya dikarenakan ketiadaan fasilitas dan biaya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan bantuan dana dari pihak-pihak terkait guna menunjang program-program Komunitas Penulis Jakarta.

Untuk yang berminat memberikan bantuan, dapat menghubungi di nomor 0899 9925 301 (Rachmat Nugraha)

SEJARAH SASTRA BETAWI

Oleh Yahya Andi Saputra


Setiap suku bangsa di mana pun berada, tentu mempunyai kesusastraannya sendiri. Kadang kala, kesusastraan itu menggambarkan keadaan alam dan lingkungan kehidupan seseorang. Tetapi, tidak jarang pula mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan dan pandangan hidup masyarakatnya. Demikian pula dengan kesusastraan Betawi.

Seperti juga suku-suku bangsa di Nusantara, masyarakat Betawi pun, sudah sejak lama mengenal kesusastraannya. Disadari atau tidak, masyarakat Betawi akan menempatkan kesusastraannya di dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang didendangkan dan dikisahkan, ada pula yang dibacakan. Yang didendangkan dan dikisahkan, biasanya diambil dari kekaya-an khazanah sastra lisan. Sedangkan yang dibacakan, diambil dari sastra tulis. Nyanyian do-lanan yang sering dilantunkan anak-anak di surau atau tempat permainan, sebenarnya terma-suk juga khazanah kesusastraan Betawi.

Demikianlah, kesusastraan itu hidup, karena ada masyarakat yang mendukungnya. Misalnya, ada pengarang yang menulis karya sastra. Ada pula tukang cerita yang menden-dangkan atau menceritakan hikayat-hikayat. Merekalah pencipta atau penghasil karya sastra. Mereka pula yang menyebarluaskannya. Selanjutnya, karya yang telah dihasilkan sastrawan itu, dibaca orang. Jadi, ada pula yang membacanya. Tanpa pembaca, karya itu tidak akan ada artinya apa-apa. Maka, kesusastraan itu akan hidup kalau ada pengarang dan pembaca, kalau ada tukang cerita dan yang mendengarkan cerita itu.

Kalau kita membicarakan kesusastraan Betawi, kita akan membicarakan juga penga-rang dan pembaca kesusastraan itu; tukang cerita dan pendengarnya. Kemudian, tentu juga karya-karyanya atau isi ceritanya. Dengan begitu, kita akan mengetahui apa yang dimaksud dengan kesusastraan Betawi. Siapa pengarangnya, dan siapa pula pembacanya; siapa tukang ceritanya, dan siapa pula pendengarnya.

Pengertian Sastra Betawi

Sastra Betawi menggunakan bahasa Betawi. Inilah ciri paling khas yang membedakan kesusastraan Betawi dengan kesusastraan suku bangsa lain. Kesusastraan Betawi dikarang oleh orang Betawi. Bisa juga mereka yang menguasai bahasa Betawi membuat karangan dalam bahasa Betawi. Lalu, siapakah yang membaca atau menikmati kesusastraan Betawi? Tentu saja yang terutama adalah orang-orang Betawi sendiri. Jadi bahasa Betawi digunakan, agar karangan itu dapat dipahami masyarakat pembacanya.

Kita dapat menyimpulkan bahwa kesusastraan Betawi ditulis dalam bahasa Betawi. Pengarangnya mungkin orang Betawi, mungkin juga Betawi keturunan. Tidak apa-apa. Memang, banyak juga penduduk Betawi keturunan yang menjadi pengarang. Jadi, asal-usul pengarang tidak dipersoalkan. Yang jelas, karangan itu itu ditulis atau disampaikan dalam bahasa Betawi.

Kesusastraan Betawi ditulis oleh orang Betawi. Disampaikan dalam bahasa Betawi. Dibaca atau didengar oleh orang Betawi. Maka isi ceritanya tentu berkaitan dengan kehidupan mereka. Di dalamnya, tentu menyangkut adat-istiadat, agama, tingkah laku, dan keadaan alam Betawi. Inilah yang dimaksud bahwa kesusastraan mencerminkan keadaan masyarakatnya.

Sejarah Sastra Betawi

Tidak ada kesusastraan di dunia ini yang tidak mempunyai sejarah. Pasti, selalu ada asal-usulnya, awal kelahirannya, dan perkembangannya. Kesusastraan Betawi juga tidak terlepas dari sejarahnya. Kira-kira kapan masyarakat Betawi memperkenalkan kesusastraannya. Apa karyanya dan siapa saja pengarangnya. Bagaimana pula perjalanannya hingga sekarang. Guna memudahkan pembabakannya, baiklah kita bagi kesusastraan Betawi kedalam dua periode, yaitu kesusastraan Betawi sebelum merdeka dan kesusastraan Betawi sesudah merdeka.

Tidak begitu jelas, kapan persisnya orang Betawi memperkenalkan kesusastraannya. Kesulitan menentukan angka tahun itu, lantaran pada awalnya kesusastraan yang hidup di tengah masyarakat adalah kesusastraan lisan. Seperti lazimnya kesusastraan lisan, ia disampaikan secara lisan. Berkembang dari mulut ke mulut. Masyarakat Betawi, misalnya, sudah sejak lama mengenal hikayat, legenda, pantun atau syair. Kapan persisnya? Tidak ada yang dapat menjawabnya. Penyebabnya adalah karena waktu itu tulisan belum dikenal atau orang sudah terbiasa menyampaikan berbagai hal secara lisan.

Pantun atau syair-syair lagu yang dinyanyikan tokoh-tokoh dalam teater rakyat Betawi sangat kuat nilai sastranya. Bagi saya pantun dan syair ini merupakan salah satu khasanah kekayaan sastra Betawi. Kita lihat saja syair (Arang-arangan Jantuk dan Ngelodak) di bawah ini yang dilantunkan tokoh Jantuk dalam Topeng Betawi. Kita tahu bahwa tokoh Jantuk selalu diperankan oleh panjak paling senior yang telah menguasai betul seluruh patut Topeng Betawi. Panjak pemula rasanya tidak mampu memerankan Jantuk.

Sampe kapan saya bilang ada bunga-bunga disenur
Saya bilang ada bunga-bunga disenur
Ada tetapang saya bilang ada saya embunin
Sampe kapan saya bilang si nona-nona tidur
Sampe kapan ada si nona tidur
Supaya gampang, supaya gampang saya bangunin
Kembang melati bapa ada jatoh di tanah
Kembang melati jatoh di tanah
Jantung hati di nama-mana
Kayu jati saya bilang dibikin dupa
Kayu jati dibikin dupa
Sampe mati tida-tida dilupa
Di lain bagian, Jantung kembali bersenandung. Kali ini senandungnya lebih melankolis, lantaran Jantuk merasa kesepian karena bercerai dengan istrinya.

Kebina-bina temen
Temen-temen pada kebina
Orang nanya kaga disautin
Baju tiga celana tiga
Yang satu jatuh di tanah
Bini kaga ema kaga anak dimana-mana
Ada dimana-mana
Dedeuh …
Nanem sere di pegunungan
Ambil dulang jatuh ke tanah
Waktu sore kebingungan
Saya pulang pulang ke mana
Waktu sore kebingungan
Saya pulang pulang ke mana
Dedeuh …
Jantuk saya pulang pulang kemana
Gambang Kromong

Syair lagu gambang kromong tak kalah dahsyatnya. Ada tiga jenis lagu gambang kromong: pobin, dalem, dan sayur. Lagu pobin dibawakan secara instrumentalia, namun judulnya dalam bahasa Tionghoa dialek Hokkian. Pobin yang kini masih bisa dimainkan orang di antaranya: pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, dan Seng Kiok. Jenis lagu ini memang berasal dari negeri Cina dan merupakan lagu tertua dalam repertoire lagu gambang kromong. Tapi ada juga lagu pobin Tukang Sado yang judulnya dalam bahasa Melayu. Lagu ini jelas lebih muda usianya dari pobin-pobin lainnya.

Jenis lagu gambang kromong tertua yang dinyanyikan oleh wayang cokek disebut lagu dalem. Lagu dalem berirama tenang, lembut, dan jernih, karena itu tidak bisa dipakai untuk ngibing (menari) bersama wayang cokek, biasanya dinyanyikan oleh wayang cokek untuk menghibur para tamu yang sedang menikmati santapan. Lagu dalem memperlihatkan kombinasi yang serasi antara unsur Tionghoa dan Melayu. Seperti umumnya lagu tradisional, lagu dalem dibawakan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Lagu ini sudah ada sejak abad ke-19. Judulnya sebagian besar dalam bahasa Melayu, misalnya Gula Ganting, Semar Gunem, Peca Piring, Mas Nona, Cente Manis Berdiri, Mawar Tumpa, Tanjung Burung, dan Gunung Payung. Namun ada pula judul lagu dalem berbahasa Tionghoa dialek Hokkian selatan, meski pantunnya dalam bahasa Melayu, misalnya Poa Si Li Tan (Li Tan Setengah Mati), atau dalam dialek Hakka (Kheh), misalnya Sip-pat Mo (Delapan Belas Usapan). Menurut keterangan Masnah yang masih mampu menyanyikannya, lirik lagu ini seluruhnya dalam dialek Hakka, yang harus dihafal mati, sebab Masnah sama sekali tidak mengerti bahasa Tionghoa, sebagaimana kebanyakan orang Tionghoa peranakan lainnya. Berikut sebagian lirik lagu Mawar Tumpa yang dibawakan Masnah.

Satu nangis dua ketawa
Kue mangkok mateng di piring
Mulut manis di depan saya
Atinya bengkok upama pancing

Kembang melati jato di tana
Jantung ati pergi di mana
Sayang, pergi di mana
Mawar tumpa awur-awuran

Aih, tana tinggi saya paculin
Si nona pergi saya susulin
E, mawar tumpa awur-awuran

Dari segi syair, dengan contoh di atas, dapatlah dikatakan lagu-lagu dalem itu mengandung seni puisi yang tinggi ditilik dari kesastraan Betawi, misalnya frasa mawar tumpa awur-awuran. Mawar Tumpa sebagai judul lagu mengandung metafora yang cukup dalam interpretasinya. Mawar tumpah biasanya dari tanggok. Ini berkaitan dengan upacara ziarah kubur dimana biasanya orang membawa bunga mawar dalam tanggok. Tumpahnya mawar membuat upacara ziarah kubur terganggu. Ironis, jika kemudian di dalam batang tubuh syair kita tidak jumpai sama sekali kisah yang berkaitan dengan ziarah kubur secara lahiriah.

Namun begitu ungkapan Mulut manis di depan saya/Atinya bengkok upama pancing, melukiskan kekecewaan terhadap seseorang. Di dalam pantun berikut kita memperoleh penjelasan bahwa kekecewaan itu disebabkan oleh Jantung ati pergi di mana/Sayang pergi dimana/Mawar tumpa awur-awuran.

Pada umumnya syair lagu sayur adalah pantun-pantun yang baku, misalnya:
Ani-ani bukannya waja
Buat memotong padi di gunung
Saya nyanyi memang sengaja
Buat menghibur ati yang bingung
Hampir kebanyakan pantun lagu sayur itu sampirannya mengandung idiom-idiom pertanian. Ini menerangkan bahwa gambang kromong sangat dekat dengan rakyat kecil. Bahkan di dalam lagu dalem sekali pun, setiap tekuk (bagian)-nya mengandung pantun yang juga dinyanyikan dalam lagu sayur. Sebagaimana diketahui lagu dalem itu biasanya terdiri dari dua tekuk.

Jenis lagu yang ketiga lagu sayur. Lagu sayur berirama riang dan cocok untuk dipakai ngibing. Yang termasuk lagu sayur adalah Kramat Karem, Onde-onde, Glatik Nguknguk, Jali-jali, Stambul, Cente Manis, Kicir-kicir, Surilang, Lenggang Kangkung, Siri Kuning, dan lain-lain. Lagu ini kira-kira mulai berkembang pada perempat terakhir abad ke-19, saat orang Tionghoa peranakan di Batavia mulai mengambil selendang (soder) untuk ngibing dengan wayang cokek.

Nyanyian Anak-Anak
Tidak kalah pentingnya syair dan pantun yang terdapat dalam lagu anak-anak. Lagu anak-anak Betawi sangat banyak. Lagunya mudah dinyanyikan. Pantunnya jenaka. Tentunya kita tahu dan dapat menyanyikan lagu Sang Bango. Lagu ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Pantunnya mengajarkan anak-anak untuk belajar bertanggungjawab atas semua perbuatan yang dilakukannya. Lagu Sim sim kelima-lima kasim, Tam tambuku, Dèng ‘ndèngan lagu untuk permainan anak-anak.

Sang BangÔ
Sang bangÔ è sang è sang bangÔ
Kenapè entè delak delok ajè

Mêngkènyè anè delak delok ajè
Sang ikan kagak nimbul-nimbul

Sang ikan è sang è sang ikan
Kenapè entè kagak nimbul-nimbul

Mêngkènyè anè kagak nimbul
Sang rumput keliwat têbêl

Sang rumput è sang è sang rumput
Kenapè keliwat têbêl

Mêngkènyè anè jadi têbêl
‘Kang rumput kagak potong anè

‘Kang rumput è ‘kang è ‘kang rumput
Kenapè kagak motong rumput

Mêngkènyè anè kagak motong rumput
Sang perut sakit ajè

Sang perut è sang è sang perut
Kenapè sakit ajè

Mêngkènyè anè sakit aje
Makan nasi mentè matêng

Sang nasi è sang è sang nasi
Kenapè mentè matêng

Mêngkènyè anè mentè matêng
Sang api cuman kêlak-kêlik

Sang api è sang è sang api
Kenapè entè e cuman kêlak-kêlik

Mêngkènyè anè cuman kêlak-kêlik
Sang kayu keliwat basè

Sang kayu è sang è sang kayu
Kenapè entè keliwat basè

Mêngkènyè anè keliwat basè
Sang ujan turun ajè

Sang ujan è sang è sang ujan
Kenapè entè turun ajè

Mêngkènyè anè turun ajè
Sang kodok manggilin anè

Sang kodok è sang è sang kodok
Kenapè manggilin sang ujan

Mêngkènyè anè manggilin sang ujan
Sang ulêr mau makan anè

Sang ulêr è sang è sang ulêr
Kenapè mau makan sang kodok

Mêngkènyè anè mau makan kodok
Sang ¾kodok¾makanan¾ ane.

Kelima-lima kasim
Sim sim kelima-lima kasim sim
Simpak bakul rombèng bèng
Bengkel kelapa-lapa ijÖ jÖ
Jotan daon rambutan tan
Tanduk palè si Mukcing
Cingcang daging babÎ bÎ
Biuk rodanyè empat pat
Pacul ujungnyè tajêm jêm
Jempol adè duwâ
(Wak Ipit malu saya waw-waw)

Tam tambuku
Tam tambuku
Selèrèt daon delimè
Patè lembing
Patè paku
Tarik belimbing
Tangkêp satu
Pit ala ipit
Kuda lari kêjêpit
Sipit
(InglÖ liÖ-liÖ , InglÖ liÖ-liÖ)

Dèng ‘ndèngan
Dèng ‘ndèngan
Siri tampi
Beduri-duri
Pok berèok

Mandi aèr
Aèr ujan
Ujan dêrês
Pok berèok
(Luk uluk ujan gêdë , anak kambing mau mandÏ)

Jampe Betawi, yang dibaca oleh dukun ketika mengobati orang sakit, sebenarnya paling sarat dengan nilai sastra. Pembacaan jampe oleh para dukun bukan hanya memancarkan aura magis yang menyembuhkan orang sakit, tapi intonasi dan cara baca itu pun memiliki kekhasannya sendiri sehingga pada situasi itu tercipta panggung sastra. Boleh dikatakan jampe adalah salah sastu jenis sastra yang kemunculannya paling awal karena faktor kegunaannya bagi publik.

Berikut salah satu contoh jampe Betawi untuk mengusir setan atau kuntilanak.
Sang ratu kuntilanak
Anak-anak mati beranak
Sundel malem mati di kolong
Si borok tongtong
Ke kitu ke kidang
Ke tegal awut-awutan
Ke duku pata paluna
Nenek luwung gede
Kaki cai gede
Mahula deket-deket
Mahulang ke manusa

Dari Lisan Ke Tulisan
Meskipun demikian, berdasarkan kebiasaan orang Betawi mendengarkan pembacaan hikayat yang disampaikan tukang cerita atau sahibul hikayat, kita dapat memperkirakan sejak kapan masyarakat Betawi mengenal dan mengembangkan kesusastraannya. Hikayat yang terkenal dan sering disampaikan tukang cerita adalah Hikayat Sultan Taburat. Hikayat ini berbentuk cerita berbingkai. Disampaikan dalam bahasa Betawi, dan terdiri dari beberapa episode cerita. Karena terdiri dari beberapa episode cerita, maka banyak tokoh bermunculan. Banyak pula peristiwa datang silih berganti. Semuanya kemudian seolah-olah terpusat pada diri tokoh utamanya, Indra Buganda Syafandar Syah. Jadi, Hikayat Sultan Taburat sebenarnya berkisah tentang pengembaraan tokoh Indra Buganda Syafandar Syah itu.

Diperkirakan, Hikayat Sultan Taburat sudah sangat dikenal masyarakat Betawi sekitar tahun 1880-an. Namun, ada juga yang mengatakannya, sebelum tahun 1880-an. Menurut penuturan orang-orang tua, tukang cerita yang sangat terkenal dan paling disukai dalam membawakan atau menyampaikan Hikayat Sultan Taburat adalah Haji Ja’far. Kepiawaian Haji Ja’far ini, selain cara penuturannya, juga lantaran kepandaiannya menyanyi. Memang, seorang tukang cerita dituntut hapal berbagai cerita. Ia juga harus mahir membawakannya secara enak. Tidak kalah pentingnya, tukang cerita juga harus pandai bernyanyi. Nah, Haji Ja’far ini terkenal karena ia hapal berbagai cerita, mahir membawakannya, dan pandai pula bernyanyi. Maka, penduduk pun mengenal Haji Ja’far sebagai tukang cerita yang andal.

Selain Hikayat Sultan Taburat yang sering dibawakan tukang cerita, ada pula cerita lain yang cukup terkenal, yaitu Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan naskah yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional, Hikayat Amir Hamzah ditulis tahun 1821, tetapi tidak diketahui siapa penulisnya.

Pada tahun 1870, keluarga Pecenongan mulai menulis Hikayat Sultan Taburat yang berasal dari kesusastraan lisan. Hal yang sama juga dilakukan pada cerita-cerita lain yang juga berasal dari kesusastraan lisan, seperti Hikayat Para Sahabat Nabi. Di antara penyalin atau penulis naskah itu, Haji Bakir termasuk salah seorang pujangga Betawi yang terkenal. Ia memperkenalkan Hikayat Sultan Taburat dalam bentuk naskah buku. Tulisannya menggu-nakan huruf Jawi, yaitu huruf Arab, berbahasa Betawi. Haji Bakir inilah yang memelopori kesusastraan Betawi dalam bentuk tertulis.

Dari karya-karya Haji Bakir, kita dapat mengetahui bahwa masa produktifnya terjadi antara tahun 1880 sampai tahun 1910. Berdasarkan koleksi naskah yang terdapat di Perpustakaan Nasional, dapat diketahui adanya naskah Hikayat Sultan Taburat I sampai IV. Hikayat Sultan Taburat I, misalnya, terdiri dari lima jilid. Jilid pertama dan kedua ditulis 28 November 1885; jilid ketiga, 13 Desember 1885; jilid keempat dan kelima ditulis 15 Januari 1886. Hikayat Sultan Taburat II terdiri dari dua jili. Jilid pertama diselesaikan tanggal 30 Januari 1894 dan jilid kedua mulai ditulis 20 Oktober 1893. Hikayat Sultan Taburat IV ditulis tanggal 20 Mei 1899. Sayang sekali, Hikayat Sultan Taburat III naskahnya dalam keadaan yang sudah rusak, sehingga tidak dapat diketahui kapan naskah itu mulai ditulis.

Bersamaan dengan itu, beberapa pengusaha Cina dan Indo-Eropa yang tinggal di Betawi mulai memanfaatkan usaha percetakan. Naskah-naskah yang tadinya ditulis tangan, sekarang dicetak. Ada yang menggunakan huruf Jawi, ada pula yang menggunakan huruf Latin. Dikenalnya alat percetakan ini, memudahkan orang mencetak buku. Bahkan kemudian berkembang dengan mencetak majalah dan surat kabar.

Soerat Chabar Batawie terbit pertama kali tahun 1858. Dicetak oleh percetakan Lange. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi (Melayu) dengan huruf Latin dan Jawi. Inilah suratkabar pertama Betawi. Di dalamnya, ada juga cerita-cerita atau karya sastra, se-perti pantun, syair atau sketsa, dimuat di sana. Surat-surat kabar lain yang juga menggunakan bahasa Melayu Betawi yang terbit di Betawi, antara lain, suratkabar Bianglala yang terbit tahun 1867 dan bertahan sampai tahun 1872. Dicetak di Betawi oleh percetakan Ogilvie & Co. Selanjutnya, suratkabar ini berganti nama menjadi Bintang Djohar (1873) dan dapat bertahan sampai tahun 1886. Dua tahun kemudian (1888), percetakan Yap Goan Ho, Betawi, menerbitkan suratkabar Sinar Terang yang berbahasa Melayu-Betawi. Suratkabar ini menghentikan penerbitannya tahun 1891. Pada tahun 1900, muncul pula suratkabar Bintang Betawi yang dicetak oleh percetakan Van Dorp & Co. Suratkabar ini bertahan sampai tahun 1906. Seperti suratkabar sebelumnya, di dalam suratkabar Bintang Betawi ada pula karya-karya sastra yang dikarang pujangga Betawi dimuat di sana.

Pada tahun 1932, terbit pula suratkabar Berita Betawi yang kali ini dicetak oleh Perusahaan Betawi. Sayangnya, suratkabar ini hanya bertahan selama setahun. Tahun 1933, suratkabar ini menghentikan penerbitannya. Pada tahun 1938, sebuah majalah yang dikelola oleh Perhimpunan Kaum Betawi terbit pula dengan menggunakan huruf Latin dan Jawi. Bahasa yangdigunakannya adalah bahasa Melayu-Betawi.

Surat-suratkabar dan majalah tadi, tentu saja turut membantu lahirnya para penulis atau sastrawan Betawi.

Meskipun sudah banyak karya-karya sastra Betawi yang diterbitkan dalam bentuk tertulis, tidak berarti tradisi kesusastraan lisan, mati dengan sendirinya. Di surau-surau atau masjid, para murid pengajian, masih sering mendendangkan sastra lisan, seperti pantun dan syair. Tukang cerita atau sahibul hikayat yang membawakan kisah-kisah Hikayat Sultan Taburat atau hikayat lain, masih sering diundang dalam acara-acara tertentu. Salah seorang tukang cerita yang cukup terkenal adalah K.H. Ali Hamidy, seorang ulama Betawi asal Matraman.

Sesudah Merdeka sastra Betawi masih tetap berkibar dengan tokoh-tokohnya yang diakui dalam sejarah sastra Indonesia. Sebut saja misalnya SM. Ardan, Firman Muntaco, Mahbub Djunaidi, M. Balfas, S. Saiful Rahim, Susi Aminah Azis, Zaidin Wahab, Tutty Alawiyah AS, dan lain-lain.

Untuk zaman mutahir dapat kita sebut Zeffry Alkatiri, Ridwan Saidi, Nur Zaen Hae, Ihsan Abdul Salam, Aba Mardjani, Rizal, dan lain-lain.

Akhir Kalam

Masih perlu penelitian lebih intensif dan mendalam tentang keberadaan sastra dan sastrawan Betawi. Kita belum mendapat gambaran yang jelas siapa sebenarnya Yamikul, sastrawan yang hidup pada masa Pangeran Jayakarta. Dibutuhkan tangan terampil dan semangat tinggi untuk benar-benar dapat mengupas sastra Betawi secara utuh menyeluruh.

TAHUN BARU TIYA

OLEH : RESSA NOVITA (OCHA)

Kurentangkan ke dua belah tanganku kearah yang berlawanan, seperti malaikat yang siap pulang ke surga. Kurapatkan kaki tak beralasku ke bebatuan kasar di tengah rel-rel besi yang mulai berkarat.
“SELAMAT TINGGAL MASA LALU !!!”
Lantang, kuteriakkan kalimat keramat itu berulang kali. Yah, karena hanya saat ini aku akan mengucapkannya. Lagi dan lagi. Sampai aku benar-benar yakin, telah kutinggalkan masa lalu ku.
“Tuuuuutttttttttt…”
Kereta listrik itu akan segera tiba, aku bisa mendengar suaranya dari kejauhan. Suara dari gerbong yang akan mengakhiri masa lalu ku.
Kututup sepasang kelopak mataku yang putih pucat tertiup hembusan angin. Aku nikmati udara terakhirku. Udara dari masa lalu. Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi. Lagi! Sejumlah kenangan yang mungkin tak akan aku lupakan. Seolah jiwa dan raga ku kembali ke waktu itu. 29 Desember 2007, 3 hari yang lalu di masa lalu ku.

“Masih bertahan?!”
Segaris senyum di hadapanku membuatku segera membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk lesu sambil lekat menatap matanya yang bersinar kecoklatan.
“Sampai kapan?! Tahun akan segera berganti lagi. Kalau kamu terus bertahan di jurang sesempit ini, biar aku siapkan peti mati dan sebuah lubang rumah masa depan untukmu!”
“Yah, boleh! Kalau uangmu cukup aku pesan dua. Aku mau kamu ada di sebelahku!”
“TIDAKKK!!!”
Galang berteriak histeris. Nafasnya terhenti seketika. Dia mati suri di depanku.
Panggil aku Tiya. Si gadis belia yang bertahan hidup di dalam keluarga yang super bobrok, super kacau, super hancur, dan semua kata yang berarti sesuatu yang tidak menyenangkan boleh dipadukan dengan kata ‘super’ di atas.
Sejujurnya aku tak tahan, hanya saja aku mencoba bertahan. Aku ini putri tunggal seorang pengusaha kecil yang bisnisnya lumayan berkembang. Dulu aku pernah punya seorang kakak lelaki, tapi dia sudah berpulang berkat kegagalan orangtua ku mendidik anak-anaknya. Bagaimana tidak?! Suhu udara di dalam rumah tak pernah sejuk, sekalipun pendingin udara dipasang di setiap ruangan. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir mereka berbincang mesra. Hari-hari bersama mereka lalui dengan pertengkaran. Kadang hanya makian yang menyayat hatiku, kadang satu perabot dapur terlempar ke lantai, kadang sebuah pintu kamar rusak setelah dibanting kuat-kuat. Tak hanya itu, kadang pria yang tak kukenal masuk ke kamar Ibuku, kadang sebaliknya, Ayah membawa wanita simpanannya pulang ke rumah.
Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka?! Kalau mereka bertengkar di setiap detik mereka bersama, kenapa mereka menikah dan terus bersikeras mempertahankan pernikahan mereka? Lalu, tak ingatkah mereka padaku, pada kakakku?! Kami masih terlalu muda untuk kehilangan kehangatan keluarga. Yah, masih bagus aku tidak berpikir untuk mengikuti jejak kakakku. Meninggal di antara tumpukan jarum suntik dan obat-obatan terlarang.
“Seperti tahun yang baru, seharusnya kamu memulai hidup baru. Tinggalkan yang tidak berguna dan cari yang bahagia. Buatlah sebuah perubahan. Ukir sebuah senyum, biarkan airmatamu mengering!”
“Tak ada gunanya berpuitis seperti itu! Bilang saja kamu mau aku cepat-cepat menyusul Kak Tyas! Cepat pesan lubang masa depannya! Jangan lupa buat kamu tepat di samping aku! Aku sudah tidak sabar nih!”
“Masih ingat tawaranku waktu itu kan?! Pertimbangkan sekali lagi! Aku beri tambahan waktu sampai malam tahun baru besok untuk keputusannya” jawabnya mengakhiri pembicaraan karena bel masuk pelajaran berikutnya sudah menggema di seluruh sudut sekolah.
Awalnya aku kekeh untuk bertahan dan tetap berada di tengah-tengah keluarga ini apapun yang terjadi, karena bagaimanapun juga mereka keluargaku, Ayah dan Ibu yang membesarkanku. Sampai akhirnya tawaran itu datang dari Galang, teman dekatku. Dia menawarkan hidup baru yang lebih baik. Dan tawaran itu kini membuatku bimbang. Ada perasaan ingin melangkahi hidup yang baru tapi ada perasaan berat jika harus meninggalkan hidup yang kacau ini dengan di dasari ego. Ini tidak akan adil untuk Ayah dan Ibu ku. Tapi jika tidak kulakukan, sama saja ini tidak adil untukku.

“RATIYA!!! APA YANG KAMU LAKUKAN?!”
Teriakan itu membuatku kembali pada diriku dan mengalihkan pandangan ke asal suara. Kulihat Galang melambaikan tangannya dari kejauhan. Tubuhnya bergerak semakin cepat mendekatiku.
“TIDAK!!! TETAP BERDIRI DISITU, GALANG!!! JANGAN IKUT CAMPUR!!! INI HIDUPKU!!! INI HIDUPKU!!!”
Kulihat Galang memperlambat langkahnya. Siapa perduli?! Dia tak akan bisa mencegah keinginanku!

“Enam puluh… Lima puluh sembilan… Lima puluh delapan…”

Suara apa itu?! Itu kan… Aku tadi malam… Aku yang sedang menghitung mundur detik-detik terakhir pergantian tahun.

“Lima puluh tujuh… Lima puluh enam… Lima puluh lima…”
Kuarahkan pandanganku lekat ke luar jendela kamarku. Malam-malam pergantian tahun pada tahun-tahun sebelumnya, dari sini terlihat banyak kembang api di langit tepat pukul 12 malam. Malam ini aku ingin lebih menikmati pemandangan indah itu. Katanya di pusat kota akan ada pesta kembang api besar-besaran untuk pergantian tahun kali ini.
“Lima puluh empat… Lima puluh tiga…”
“PRANGGGG!!!”
“Kyaaaaaaaaaa…”
Suara dahsyat itu membuatku sontak menutup telinga sambil berjongkok di dinding jendela. Itu bukan suara kembang api yang terlalu awal di nyalakan, kan?! Bukan?!
“BRAAAAAAKKKK!!!”
“JAGA MULUTMU!!! PEREMPUAN JALANG!!!”
Oh, itu suara Ayah! Entah benda-benda apa yang mereka buat senjata di lantai bawah sana?! Huh, masa tahun baru mereka bertengkar juga!!! Apa mereka tidak berpikir bahwa itu akan sangat menggangguku?!
Kulirik jam dinding yang menempel dekat dengan foto keluarga yang sengaja kupajang dengan bingkai besar.
Ah, aku kehilangan 20 detik yang berharga.
“Tiga puluh satu… Tiga puluh… Dua puluh sembilan…”
Tuhan, berikan aku kesabaran dua puluh sembilan detik lagi! Aku mohon, Tuhan!
“Dua puluh delapan… Dua puluh tujuh… Dua puluh enam…”
“AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!” suara Ibu.
“KALAU BEGITU TUNGGU APA LAGI, KITA CERAI!!!” timpal Ayah.
“PIKIRKAN KATA-KATAMU!!! OMONG KOSONG SAJA ISINYA!!! AKU SUDAH MEMINTANYA SEJAK DULU!!! TAPI KAMU TAK JUGA MENCERAIKANKU!!!”
“AKU MEMIKIRKAN PERASAAN PUTRI KITA!!! TIDAK SEPERTI KAMU!!!”
“DASAR BAJINGAN!!!”
“BRAAAAAAKKKKKK!!!”
“CUKUP!!! KALIAN SUDAH GILA!!!” teriakku tak tertahankan lagi.
Aku segera bangkit dan bergegas keluar dari kamar. Tiba-tiba pandanganku kabur. Otakku terasa penuh. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kubasuh mataku dengan telapak tangan yang kering karena dingin. Ah, ternyata airmataku sendiri yang membuat pandanganku kabur.
“PYAARRR!!! PYAARRR!!! DHUAARRR!!!”
Suara letupan kembang api yang khas menggema di telingaku. Dan aku baru saja kehilangan detik-detik itu. Detik-detik yang sudah berjam-jam kutunggu, sampai-sampai aku tak berani merebahkan tubuhku di kasur dengan selimut yang hangat.
Kualihkan pandanganku ke arah jendela. Benar, langit berkilau api beraneka warna. Tapi pemandangan itu tidak lagi terasa menarik bagiku.
Kata orang, tahun baru itu berarti harapan akan adanya perubahan menuju hidup baru yang lebih baik. Meninggalkan kenangan-kenangan tak berarti dan membungkusnya dalam selembar mimpi di malam terakhir. Membuka hari dengan segenggam pasir impian dan menaburkannya di setiap sudut doa. Menghitung waktu yang tak pernah berjalan mundur, di depan sana semoga masih ada kebahagiaan untukku.
Happy New Year, Ratiya Damayanti !
Mungkin ini saatnya kamu mengakhiri penderitaan orangtua mu. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk membalas jasa mereka membesarkanmu sampai bisa berpikir sedewasa ini.
Cepat, kugerakkan kaki-kakiku menuruni tangga, menuju “penjara” mereka. Kulihat pintu kamar mereka tak tertutup, mereka asik perang di dalamnya. Tangan Ayah menggenggam sebuah vas bunga yang cukup besar, mungkin hendak ia layangkan ke kepala Ibu. Di sudut ruangan Ibu meringkuk ketakutan, tubuhnya gemetar hebat, wajahnya bersimbah airmata.
“Cukup!!! Permainan kalian selesai sampai disini!!!” ucapku lantang.
“Tiya, sedang apa kamu disini, Sayang? Sudah malam, kenapa belum tidur?” tanya Ayah lembut seperti biasanya. Wajahnya bermain saat berbicara denganku, tapi tangannya tak bergeser sedikitpun. Terlihat sekali niatnya untuk mengadu vas bunga itu dengan kepala Ibu.
“Jangan pura-pura manis lagi!!!” kurebut vas bunga dari tangan Ayah. “Kalian berdua iblis!!! Bukan orangtua biasa!!!” teriakku lagi.
“PRAAAANGGGGG!!!”
Kulemparkan vas bunga itu kuat-kuat ke luar kamar, melewati pintu yang masih terbuka lebar.
“Sayang, maafkan Ibu! Gara-gara kami, kamu terbangun!”
Ibu berlari hendak meraih pelukanku, tapi aku segera menghindar.
“Kapan kalian sadar?!” lanjutku kali ini dengan suara pelan. “Kalian kira aku bahagia?! Kalian kira perasaanku terjaga karena keegoisan masing-masing dari kalian?! Seperti apa yang selama ini kalian harapkan?! Tidak! Aku sudah bilang sejak dulu sebaiknya kalian bercerai! Jangan pikirkan aku! Pikirkan hidup kalian dulu! Toh, akhirnya keputusan kalian membuatku merasa… tak ada artinya aku di keluarga ini. Dan lebih dari itu… kalian menghancurkan jiwaku, perasaanku… Aku tertekan… Jauh lebih tertekan dari apa yang dulu pernah dirasakan almarhum Kak Tyas. Kalian tahu, apa yang selama ini aku simpulkan atas hidupku yang kalian buat sedemikian rupa? Seharusnya sudah sejak dulu aku menyusul Kak Tyas. Mempertahankan hidupku sama dengan mempertahankan penderitaan kalian berdua. Sikap kalian yang egois membuatku merasa menjadi anak yang durhaka!”
“Tidak, Tiya! Tidak! Bukan maksud Ayah untuk…”
“Diam!!! Aku tak minta kalian menjelaskan apapun! Indera ku cukup sempurna untuk membaca semua permasalahan secara mendetail, bahkan lebih dari semua yang kalian sadari. Aku bukan anak kecil yang selamanya bisa kalian cekoki dengan kalimat yang manis dan bujukan-bujukan yang menyenangkan. Semuanya harus berakhir sekarang!”
“Tiya…”
“Kalau aku pergi, aku yakin tidak akan ada lagi yang menghalangi perasaan kalian untuk berpisah! Iya, kan?! Karena itu aku akan pergi!”
“Tiya, jangan pergi! Kamu mau kemana?! Kamu harus tetap bersama kami!”
“Ibu tidak perlu khawatir! Aku ingin bersama Kak Tyas lagi, itu saja!”
“TIDAK!!! TIDAK TIYA!!! TIDAK!!!”
Ibu berteriak histeris mendengar jawabanku. Reaksinya membuatku tak mampu menahan bendungan airmata. Aku bahkan tak mampu lagi menahan emosiku.
“Aku ingin melihat kalian bahagia!!! Aku juga ingin hidupku bahagia!!! Dan itu semua tidak akan pernah kudapati kalau aku terus berada diantara kalian!!! Mengertilah!!!”
“Jangan lakukan hal bodoh itu! Kami janji akan lakukan apapun yang kamu minta! Kami tidak ingin kehilangan kamu, Tiya!”
“Aku juga tidak ingin kehilangan kalian! Tapi aku lebih tidak ingin mempercayai kalian lagi! Selamat tinggal Ibu, Ayah!!! Semoga kalian bahagia dengan hidup baru kalian tanpaku!”
Dengan yakin kumelangkah keluar dari kamar mereka. Sebelum akhirnya Ayah menarik tubuhku kuat-kuat untuk menghalangi niatku.
“Kamu tidak boleh melakukannya!!! Ayah tidak akan membiarkan itu terjadi!!!”
“Ayah tidak bisa mengatur hidupku!!! Lepaskan aku!!!”
Dengan sedikit kasar aku mendorong tubuh tinggi Ayah menjauhiku. Hampir ia hilang keseimbangan dan terjatuh.
“Maaf!!! Jangan cari aku!!! Karena aku tidak akan ada lagi dimanapun?! Sekalipun berbentuk mayat!!!”
Dengan cepat aku lari ke luar rumah. Kulihat mereka mengejarku. Tapi aku sendiri tahu mereka tak akan mampu mengejarku. Karena untuk pertama kalinya aku begitu bersemangat lari dari kenyataan hidupku, aku akan lari sekencang mungkin. Meninggalkan masa lalu. Mencari hidup yang baru.

Kubuka mataku. Kulayangkan pandangan mataku pada langit yang biru. Pagi yang indah.
Kudengar suara gerbong kereta listrik itu semakin mendekat, kira-kira 50 meter di dekat ku. Suaranya terdengar indah.
Semakin mendekat… Semakin mendekat…
Berbaur dalam satu suara, Galang berteriak memanggil namaku. Ternyata suara Galang terdengar merdu, atau hanya perasaanku saja.
Angin di sekitarku semakin kuat berhembus. Tanda bahwa jarak antara aku dengan kereta itu sudah sangat dekat. Berarti, sudah saatnya.
“SELAMAT TINGGAL MASA LALU!!!”
Detik berikutnya kurasakan tubuhku terlempar dari tempatku berdiri semula. Aku terguling di atas tanah berumput basah. Bersama Galang yang memeluk tubuhku erat-erat.
“Galang, lepaskan aku?!”
“Tidak akan! Sebelum pikiranmu kembali waras?!”
“Aku tidak gila, Galang! Lepaskan aku!”
“Kamu hendak membiarkan tubuhmu tergilas barisan gerbong itu dan kamu berpikir kalau itu tindakan waras. Apa itu bukan gila namanya?!”
“Hahaha!!! Kamu pikir aku manusia yang sepicik itu, manusia yang rela tubuhnya digilas kereta listrik?! Aku belum mau mati!”
“Tapi, kalau aku tidak mendorong tubuhmu…”
“Aku akan melompat dengan sendirinya! Ah, kamu mengganggu ritualku! Aku kan sudah bilang, perhatikan saja dari jauh!” protesku.
“Kamu benar-benar gila, Tiya!” cibirnya pelan.
“Galang, aku terima tawaranmu! Aku bersedia menjadi anggota baru keluargamu! Mulai sekarang juga aku akan jadi adik yang manis untukmu!” ucapku sembari mengumbar senyum.
“Kalau aku meminta lebih bagaimana?!”
“Itu urusan nanti…”
“Oke! Selamat datang di hidupmu yang baru, Ratiya Damayanti!”
“Maaf, Ratiya Damayanti baru saja mengakhiri hidupnya di atas lintasan kereta! Perkenalkan, namaku Gemintang!”
Ratiya sudah mati, dipagi hari setelah ia meninggalkan keluarganya. Dia sudah menyusul kakaknya di surga. Semua orang harus tahu itu. Dan mereka harus percaya itu. Ratiya sudah mati tergilas kereta api dan jasadnya menghilang begitu saja.
Selamat tinggal, Ratiya! Selamat tinggal masa lalu mu!
TAPI…
GEMINTANG, SELAMAT DATANG DI HIDUP YANG BARU!

* * * TAMAT * * *

JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2008 (FESTIVAL SASTRA JAKARTA)

LOMBA MENULIS CERPEN BERLATAR JAKARTA
Kerja Sama:
Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Komunitas Cerpen Indonesia (KCI)
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
Provinsi DKI Jakarta

Dasar Pemikiran
Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya –yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia— memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama budaya untuk memperkenalkan Indonesia ke pentas dunia.
Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, Jakarta dengan berbagai kekayaan kebudayaannya, keberagaman masyarakatnya, percepatan pembangunannya, dan latar geografik dan latar alamnya yang memancarkan perpaduan modernisme dan eksotisme, telah sejak lama menjadi lahan garapan para sastrawan Indonesia, bahkan juga sastrawan dari mancanegara. Kini, selepas memasuki alaf baru dan zaman ingar-bingar reformasi, sejauh manakah Jakarta masih memancarkan pesonanya, auranya yang menyebarkan daya tarik, dan semangat yang merepresentasikan keindonesiaan.
Dalam kaitan itulah, lomba penulisan cerita pendek berlatar atau bertema tentang Jakarta, akan menawarkan catatan estetik yang khas, sekaligus juga universal dalam sebuah kemasan karya sastra. Maka, karya itu hadir sebagai totalitas kreativitas pengarang. Tanpa itu, latar atau tema Jakarta hanya akan menjadi sesuatu yang artifisial, tempelan, dan tidak menyodorkan ruh Jakarta sebagai representasi keindonesiaan.
Tema
Cinta, kemanusiaan, dan persahabatan.
Deskripsi Latar
Mampu menggambarkan Jakarta sebagai pintu masuk memahami kekayaan budaya dan masyarakat Indonesia dalam menerima dan berhadapan dengan urbanisasi, kosmopolitanisasi dan globalisasi peradaban dunia.
Tujuan Kegiatan
1. Mengenalkan lebih dekat Jakarta sebagai kota budaya dan wisata dengan berbagai kekayaan hasil peninggalan sejarah dan cipta budayanya kepada masyarakat dunia.
2. Mempromosikan Jakarta sebagai daerah tujuan wisata dan tempat yang menarik untuk latar penulisan karya-karya sastra dan produksi karya seni lainnya.
Ketentuan Umum
1. Lomba ini terbuka bagi warga dunia (warga Indonesia dan warga asing)
2. Biodata dan alamat lengkap (termasuk nomor telepon, ponsel, dan e-mail) disertakan di luar naskah lomba.
3. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba.
4. Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
5. Naskah lomba ditulis dalam bahasa Indonesia dan merupakan karya asli.
6. Naskah lomba dikirim kepada Panitia sebanyak 5 (lima) kopi, disertai CD atau flash disk berisi file naskah, selambat-lambatnya tanggal 10 November 2008 (stempel pos).
7. Di sebelah kiri amplop hendaknya ditulis “Lomba Menulis Cerpen JILFets 2008″.
8. Naskah lomba dialamatkan kepada:
Sekretariat Panitia Lomba Menulis Cerpen
Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008
Gedung Nyi Ageng Serang Lantai 6
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Indonesia.
Ketentuan Khusus
1. Penjabaran tema dalam cerita dan penggambaran latarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
2. Panjang karangan antara 8.000-15.000 karakter (with space), atau 4-8 halaman ketik 1,5 spasi, kertas ukuran A4 dengan huruf standar (Times New Roman, 12).
3. Peserta lomba adalah perseorangan, bukan kelompok.
4. Merupakan karya asli, bukan terjemahan ataupun saduran. Penjiplakan atas karya orang lain dalam bentuk apa pun, tidak dibenarkan, dan panitia berhak membatalkan keikutsertaannya dalam lomba ini.
5. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak diadakan surat-menyurat.
Ketentuan Lain
1. Pengumuman Lomba dan penyerahan hadiah akan diselenggarakan pada acara khusus dalam rangkaian JILFest 2008.
2. Juara 1—3 akan diundang untuk mengikuti JILFest 2008 di Jakarta.
3. Hak Cipta ada pada pengarang.
4. Sebanyak 20 cerpen pilihan berikut karya para pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku, dan diupayakan akan diluncurkan serta didiskusikan dalam JILFest 2008 di Jakarta.
5. Panitia berhak mengedit kesalahan pengetikan dalam cerpen.
Hadiah dan Honorarium
Juara 1 Rp 5.000.000,00
Juara 2 Rp 4.000.000,00
Juara 3 Rp 3.000.000,00
Juara Harapan 1 Rp 2.500.000,00
Juara Harapan 2 Rp 2.000.000,00
Juara Harapan 3 Rp 1.500.000,00
Penghargaan untuk 20 cerpen pilihan berupa honor yang layak bagi penulisnya.
Keterangan Lain:
Juara 1—3 akan diundang ke Jakarta atas biaya Panitia (tiket, akomodasi, dan konsumsi). Keterangan lengkap tentang lomba ini dapat dilihat pada laman (web site) www.jilfest.com.

ttd
PANITIA PELAKSANA
JILFest 2008

BERHARAP KAU TETAP DI SINI

Karya : OP

Aku hanya terdiam saat kau pergi dari sisi ku
Masih adakah tentang aku yang kau rasakan coba kau rasakan
Mudahkah kau hapuskan rasa ku dari dalam diri mu
Hingga waktu beranjak pergi tak mampu ku hapus bayang mu
Ku kan selalu berdiri menanti mu
Dikala aku sedih dan senang bahkan kesepian tanpa mu
Apa pun yang kau lakukan baik atau buruk tetap indah untuk aku
Menunggu mu dan mendekap mu dalam damai jiwa
Karna mu adalah bayang ku yang selalu menemani ku tanpa lelah dan she adalah savana

Bandung 29 juli 1999

HILANG DARI SAVANA

Karya : OP

Satu purnama tanpa bayang sosokmu
Tanpa suara mu tanpa jiwa mu
Hingga ku cari dirimu dalam imajinasi
kau masih terbungkus indah di sanubari
Terjerat dalam kegundahan dan singgah di hati mendalam
Tak terbiasa tanpa mu bersahabat dengan kesunyian
Sunyi di lingkaran penuh keramaian
Coba tuk menjadi seekor bunglon namun bukan aku
Karna aku embun di pagi hari yang sirna selepas mentari menghangat
Entah siapa lagi yang bakal ku temani di pagi buta selain mu
Savana masih kurindukan dirimu
Sampai kau mampu hancurkan diriku
Yang terlanjur sudah kuberikan kepada mu
Berharap dan cuma harapan mengisi pagi buta
Tersadar kau hilang dari diri ku
Tanpa arti aku tanpa mu
TUHAN apakah kau senang melihat aku tanpa arti
Tanpa savana bahkan Kau hilangkan ia dari imajinasi ku
Kenapa kau tak membunuh aku saja dari pada aku tanpa arti menjadi embun lagi
Savana mengapa kau pergi saat aku tak ada di sisi mu
Savana jawab bangkit jangan terdiam membisu tak bergerak
Kembalilah kau savana aku rindu dirimu
Bandung 28 juli 1999

DARI KU UNTUK SAVANA KU TERCINTA

Karya : OP

Aroma kembang setaman iringi sepanjang jalan
Hingga ku tak bisa mengantar mu menghadap Ilahi
Kenagan bersamu tak terbayangkan indah
Tak mampu berharap kau tetap disini
Meski aku yang tinggalkan mu
Mau ku kau tetap di dalam jiwa
Terbuai indah dalam sanubari
Diapit degup jantung mengalir dalam darah
Air mata melepas mu dalam pembaringan abadi
Dirimu abadi di jiwa ku sampai ku beranjak ke pembaringan terakhir
Cinta dan semangatmu selalu menjadi insfirasi di detak-detak langkah dan hati

Bandung 25 juli 1999

SAVANA UNTUK AKU

Karya : OP

Angin barat antarkan keping-keping penuh bulan
Gelombang isyaratkan gundah hati
Di iris senyum merambat kemurnian jiwa
Tersirat kabar malaikat menjemput mimpi
Pinggir hayalan iri tak dijemput
Isyarat waktu menggapai harap savana untuk aku
Berharap angan-angan melambung bersama merpati
Untuk savana maukah logam mulia bulat lingkar ku tambatkan
Seyum cinta embun menjawab gundah sehidup pohon ara
Titik fokus cahaya membias di binar-binar mata savana
Trima kasih savana untuk mu arti kehidupan semakin penuh warna arti

Jakarta 18 Desember 1998

KEPULAN MEMBINGKAI MALAM

Karya : OP


Di baris-baris asap tertengger elang tanpa bulu
Muda-mudi asik membakar ranting pohon
Ditemani unggas telanjang diatas perapian
Semerbak harum mengugah perut-perut lapar
Hingga tersisa tulang-tulang unggas
Terlelab usai nina bobo bintang
Barisan api merambat kepinggir-pinggir
Binasakan rerumputan meranggas
Membangunkan serangga tuk berlarian berhamburan
Muda-mudi tergeletak tanpa daya
Tercabut ajal di panggang api
TUHAN ingatkan mereka tuk sadar
Namun mereka tertawa terbahak-bahak
Semerbak hangus mengisi rongga hidung
Di seret-seret ayir darah terbakar
Kalimantan 8 maret 06

Masih Adakah Bintang di Langit

Oleh : Ressa Novita (Ocha)

"Ah, lagi-lagi langit tak berbintang !" keluhku pelan saat tertimpa cahaya langit yang malam ini dan malam-malam sebelumnya hanya milik rembulan.
Kulanjutkan langkahku menaiki tangga untuk sampai di tempat favoritku, atap rumah. Sesampainya di tempat ini biasanya, aku langsung menyilangkan kakiku dan duduk di lantai atap yang tak bergenting. Biasanya. Tapi kali ini, sekejap mood-ku hilang setelah mendapati langit yang tak seindah biasanya.
Apa aku turun saja ya? Tapi, nanti Rysta heran kalau tahu aku cepat turun dan dia akan mengira kalau bintang Mama sudah jatuh dari langit.
Sebenarnya bintang-bintang itu kemana sih?!
"Kak, Mama terlihat jelas dari atas sana kan?" teriak Rysta, adikku satu-satunya.
Mama kami seorang single parent. Merawat kami seorang diri, sementara Papa tak lagi ingat pulang semenjak kepincut janda muda di kantornya. Kami sudah melupakannya, apalagi waktu sudah berlalu hampir 10 tahun sejak kepergiannya. Mungkin dia sudah punya keluarga baru, istri-istri baru dan anak-anak baru. Aku harap dia tidak akan kembali lagi! Yah, jangan sampai dia kembali! Karena aku akan membakarnya hidup-hidup untuk membalas perlakuannya pada kami.
Sejak kepergian Papa, kondisi kesehatan Mama menurun drastis. Mama mulai sakit-sakitan sedangkan kami tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu kami masih sangat kecil, aku berumur 10 tahun dan Rysta baru berumur 7 tahun. Apa yang bisa kami lakukan selain menangisi Mama yang semakin hari kondisinya semakin memburuk.
"Rasty! Rysta! Lihatlah bintang di langit jika nanti kalian merindukan Mama. Setelah ini mama ingin pergi ke surga dan menjadi bintang di langit, agar Mama bisa selalu menemani malam-malam kalian yang sepi. Temukanlah bintang yang sinarnya paling terang, percayalah itu Mama"
Kami ingat betul dan tak akan pernah lupa. Mama berpesan seperti itu sebelum ia nafas terakhirnya berhembus dan menutup matanya dari kejamnya hidup. Sebelum ia meninggalkan kami sebatang kara.
"Kak, bintang Mama ada kan?!" teriak Rysta sekali lagi, membuyarkan lamunanku.
"Ya, tentu saja Rys! Mama nggak akan meninggalkan kita. Dia di atas sana bersinar indah sekali, lebih indah dari biasanya. Selain bintang Mama, ada ratusan bintang lainnya, awan-awan putih yang melayang terbawa angin, rembulan yang bersinar terang dan burung-burung malam yang beterbangan kesana kemari. Langit malam hari ini indah sekali!" jawabku dengan sangat tidak jujur.
Setiap ada waktu senggang di malam hari aku selalu kesini, atau kemanapun yang dapat kumelihat langit dengan jelas. Tapi ini sudah hari ke enam aku tidak menemukan rembulan yang ditemani bintang-bintang.
Dimana mereka?! Berpindah ke tempat lain mungkin?! Kehabisan cahaya?! Atau mungkin mereka sudah tidak ada di langit?! Mati dan jatuh ke bumi?! Kasihan langit malam. Rembulan terlihat merenung kesepian dan burung-burung malam seolah enggan bergumul riang.
"Kak, andai Tuhan memberiku kesempatan untuk melihat sekali saja, satu menitpun tidak apa-apa!. Aku ingin melihat langit malam dan mengenali satu bintang sebagai bintang Mama. Kak, tolong sampaikan salam sayangku ke Mama ya! Dan bilang juga, jangan lupa datang lagi besok malam!"
Semoga suatu hari nanti harapan Rysta tidak hanya sebatas mimpi. Semoga Tuhan mengabulkan doa-doanya agar sekali saja ia dapat melihat dunia. Tapi, ada baiknya juga adikku yang manis itu tidak dapat melihat, aku kira kekurangan itu selamanya hanya akan menimbulkan masalah. Dengan begini Rysta yang cengeng tidak akan tahu kalau langit malam begitu polos tanpa bintang dan dia tidak akan merajukkan kerinduannya kepadaku.

* * *
"Apa?! Kamu bilang bintang itu sudah tidak ada lagi di langit?! Hahaha… Memangnya mereka mau transmigrasi ke mana?! Ke dasar laut?! Hahaha" Bima balik bertanya dan membumbui semua pertanyaan dengan ejekan.
"Lalu bagaimana kamu menjelaskan dimana bintang-bintang sekarang?! Sudah berhari-hari aku tidak melihatnya!" balasku tak mau kalah.
"Aku masih tidak mengerti. Dua orang gadis cantik setiap malam memandangi bintang hanya karena ibunya berkata kalau setelah meninggal ia akan menjadi bintang. Dan kedua gadis yang sudah dewasa itu masih saja percaya. Ibumu mengatakan itu semua agar kalian yang waktu itu masih kanak-kanak tidak akan terlalu sedih setelah kehilangan dia. Itu saja. Tidak ada alasan lain! Lalu kenapa kalian masih mempercayainya sampai kalian sebesar ini?! Rasty, apa pertumbuhan otakmu tak secepat tubuhmu?!" ucapnya sambil mengetuk-ngetuk pelan kepalaku dengan kepalan tangannya. "Bagaimana kamu menjelaskannya?!" lanjutnya serius.
"Entahlah, aku sendiri bingung kenapa aku terus mempercayainya. Aku tahu semua itu hanyalah cara Mama untuk mengurangi kesedihan kami. Tapi, hatiku bilang aku percaya dan aku tidak ingin kehilangan Mama yang kini menjadi bintang di langit"
"Tidak perlu sampai seperti ini kan?!"
"Paling tidak aku tidak ingin menghancurkan kepercayaan Rysta!" ucapku dengan nada sedikit kesal. "Biar dia terus percaya dan bermimpi di dalam kegelapan hidupnya! Biar dia terus merasakan keberadaan Mama didekatnya lewat bintang, meskipun itu semua benar-benar sebuah dongeng! Dan Mama tidak pernah menjadi bintang atau apapun di atas langit yang menemani malam-malam kami"
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri, aku malah menitikan air mata. Kalau bintang itu tidak ada sama saja Tuhan melukai Tari yang sejak lahir sudah dibekali luka.
"Masih ada bintang di langit, Ras! Kamu memang terlalu bodoh, sampai-sampai beranggapan kalau bintang sudah tidak ada lagi. Tapi jangan sedih, bintang akan terus ada di langit! Tidak akan pernah pergi meninggalkan orang-orang yang mencintai mereka"
Ucapan Bima menenangkan hatiku. Jari tangannya yang lembut menghapus airmata di pipiku. Ternyata aku tidak salah mencintainya. Dia pandai masalah perbintangan.
"Benarkah?" tanyaku menahan isak.
"Bintang itu segumpal benda seperti batu yang besar dan melayang-layang di ruang angkasa, mereka terkena cahaya matahari dan memantulkan cahaya itu kembali ke bumi. Dan masalah bintang-bintang itu terlihat atau tidak, dipengaruhi oleh kondisi langit di bumi. Jaman dahulu kala waktu bumi masih merupakan hamparan hutan dan perairan yang dihuni sekelompok kecil manusia dan hewan-hewan purba, langit malam itu seperti lautan bintang. Isinya cuma bintang semua dan satu bulan tentunya. Karena dulu tidak ada yang namanya pencemaran udara. Tidak ada limbah pabrik, tidak ada asap kendaraan bermotor, tidak ada asap rokok, juga tidak ada pembangunan gedung-gedung mewah yang menyebabkan penebangan pohon disana-sini. Pencemaran udara itu yang membuat bintang-bintang tak lagi terlihat, sekalipun ada paling hanya beberapa jumlahnya. Langit di bumi jaman sekarang, tidak lagi punya banyak oksigen, malah dipenuhi dengan carsinogen. Hari ini mungkin baru bintang yang tidak terlihat, beberapa tahun ke depan mungkin bulanpun hanya terlihat samar-samar, atau bahkan tak terlihat sama sekali. Yang paling parah polusi-polusi itu akan melahap seluruh atmosfir pelindung bumi, dan bumi kita yang indah ini akan hangus tertelan panas matahari"
"Hiiiii.."
"Kok, malah Hiiii…?! Kamu itu bego atau pura-pura bego sih?! Masa masalah global warming yang akhir-akhir ini heboh diperbincangkan masyarakat sedunia, kamu nggak tahu sich! Kita ini sudah masuk tahap awal untuk tertelan panas matahari tahu!"
"Nggak tahu!"
"Bukannya nggak tahu, tapi nggak mau tahu!"
"Jadi bintang sudah tidak ada lagi di langit! Bagaimana aku menjelaskannya kepada Rysta?!"
"Aduh, Rasty! Susah banget sih ngasih tahu kamu! Masih ada bintang di langit! Masih ada! Masih ada! Masih ada!" teriak Bima gemas.
"Lalu bagaimana aku bisa percaya kalau bintang masih ada?! Sedangkan aku saja sudah tidak melihatnya lagi di langit manapun!"
"Kita lihat malam di daerah yang belum berpolusi?!"
"Dimana?!"
"Nggak tahu! Makanya kita harus cari sama-sama"
Hari itu kami menunggu malam sampai mulai meninggi. Bima merogoh saku celananya dan mengambil kunci mobil kesayangannya.
"Ayo, kita cari bintang Mama mu!"

* * *
"Dimana?! Bintang, kamu dimana?! Bima, kamu lihat kan?! Bintang nggak ada dimana-mana?! Hanya ada bulan, awan! Hanya ada bulan dan awan!"
Aku terjatuh lemas ke atas tanah bukit hijau yang berumput basah. Airmataku ikut membasahi rerumputan itu. Sudah hampir pukul 1 malam. Dan aku belum bisa meyakinkan diriku sendiri kalau bintang masih ada di langit. Begitu banyak tempat yang masih jauh dari keramaian yang sudah kami datangi, tapi aku belum melihat satu bintang pun.
"Bintang masih ada, Rasty! Bintang masih ada! Percayalah! Kamu jangan bertingkah seperti anak kecil begini dong!"
"Aku memang anak kecil! Seharusnya kamu menyadari itu dari awal! Aku anak kecil yang percaya dongeng, yang masih percaya kalau Mamaku ada diantara bintang-bintang itu. Selamanya aku akan menjadi anak kecil agar aku terus percaya. Mama…Mama"
"Rasty"
"Mamaku begitu hebat, dia bilang dia bintang, dan dengan cara sederhana itu dia meyakinkan kami untuk tetap bertahan hidup. Dia meyakinkan kami, anak yatim piatu yang sendiri di sebuah rumah besar untuk percaya kalau kami tidak sendiri dalam kesendirian sehebat apapun. Dia meyakinkan kami, dia akan selalu ada bersama kami. Setiap saat kami melihat langit malam, semangat yang mati itu kembali tumbuh. Hanya dengan meyakini bintang itu adalah Mama, aku bertahan sampai sebesar ini"
"Rasty.."
"Seharusnya kamu berterimakasih padanya! Coba kalau dia tidak bicara seperti itu, kamu tidak mungkin mengenal gadis sebaik aku dan calon adik ipar semanis adikku. Tidak mungkin!" ucapku setengah berbisik sambil mencoba tertawa riang. "Aku pasti sudah gila! Atau mungkin aku sudah mati menyusulnya! Mungkin aku akan memilih hidup liar di kota yang ramai! Membuang Rysta yang setiap saat menyusahkanku! Dan mencari kesenangan sendiri untuk melupakan semua keputusasaan!" teriakku menumpahkan semua perasaan yang tersimpan.
Setelah itu aku menangis, merengek pedih sekeras yang aku bisa. Bima hanya diam, tubuhnya memeluk tubuhku dari belakang. Hangat yang berusaha menenangkanku.
"Aku tidak ingin bintang pergi dari malam-malamku! Tidak ingin semangat tunggal itu hilang, Bima… Aku nggak mau"
"Aku tahu.. Aku mengerti kesedihanmu. Kalau tidak ada lagi bintang di langit, aku bersedia menggantikannya, sayang! Selamanya!" kata-kata Bima yang lembut semakin menenangkanku. Kuseka airmata yang membasahi pipiku. Isakanku mereda.
Bima mencondongkan wajahnya di samping wajahku, hingga aku bisa melihat senyum yang menutupi kekhawatiran di bibirnya.
"Kamu tahu nggak? Sebenarnya, aku sudah pernah bertemu dengan Mamamu beberapa hari sebelum Mamamu dirawat di rumah sakit. Mamamu memintaku menjadi bintang di bumi, kalau bintang di langit sudah tidak ada. Mamamu minta aku untuk menyinari kalian dengan cahayaku sendiri, bukan dengan cahaya matahari seperti yang dimiliki bintang-bintang di langit. Nah, dengan begitu kamu tidak perlu lagi menunggu malam dan mencari bintang. Cukup melihatku saja kamu bisa melepaskan kerinduanmu pada Mamamu. Dan yang lebih hebatnya, kamu bisa memelukku sepuas-puasnya. Anggap saja aku ini Mamamu!"
Mendengar gurauannya, airmataku kembali mengisi pelupuk mataku. Airmata haru.
Apa selama ini aku menutup mata? Pria ini lebih dari kekasihku. Aku tak bisa menahan tawa yang meluncur mengiringi airmataku. Aku serasa kembali memiliki seorang Papa.
"Papa" panggilku manja, sambil memberikannya pelukan seorang anak.
Kususupkan wajahku di bahunya yang hangat.
"Aku bukan Papamu!" jawabnya lembut, dan membiarkanku memeluknya erat-erat.
"Papa" panggilku lagi, sengaja meledeknya.
"Rasty"
"Ehm…"
"Apa yang kamu sedang lihat di belakang punggungku?!"
"Rerumputan yang basah oleh embun dan tertimpa sedikit cahaya benda-benda langit"
"Kamu tidak ingin melihat langsung cahaya benda-benda langit itu?! Indah sekali"
Tanpa melepaskan pelukan, kutegadahkan kepalaku dengan sedikit menyimpan tanda tanya. Dan…
"Bintang!!!"
Langit malam berbintang. Tidak banyak. Hanya beberapa. Dan satu diantaranya bersinar begitu terang, seolah menggodaku untuk menggapainya.
Kujauhkan tubuh Bima dengan sedikit kasar, sampai-sampai ia jatuh terlentang keatas tanah berumput yang basah.
Aku berlari sekencang mungkin menaiki puncak bukit yang tertinggi. Menari bersama bintang.
Mama, semangat darimu tidak mati bersamamu! Masih ada bintang di langit! Bintang Mama yang tak akan pernah pudar ataupun jatuh! Jangan pergi, bintang! Jangan pergi lagi! Akan aku jaga kalian yang tak sebanyak dulu! Akan kuceritakan masalah yang menimpa kalian kepada Rysta, agar ia menanam pohon lebih banyak di kebun kami. Akan kuceritakan dongeng yang sama kepada semua anak yang akan aku temui, termasuk anak-anakku. Agar mereka menyayangi dan melindungi kalian, dengan cara mereka masing-masing. Dan akan aku minta Bima untuk…
"Bima, mulai hari ini tidak ada asap rokok! Tidak ada asap knalpot! Kamu tidak boleh merokok! Dan tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor!"
"Yah, terus kita kencan naik apa dong?!" rengek Bima.
"Naik sepeda ontel!"
"TIDAKKK" teriak Bima untuk mengakhiri kisah ini.

* * * TamaT * * *

Jumat, 10 Oktober 2008

Buat Kamu Yang Ingin BergabunK

buat kamu yang ingin bergabung dan turut berjuang dalam pengembangan minat dan baca, serta apresiasi terhadap sastra di tanah air, bisa menghubungi Kiki Rizki Fitriani di 021-92119213. Komunitas Penulis Jakarta siap menampung kamu.