tahun itu tlah berakhir
bulan ktika q temukan bintang paling terang
minggu ktika q jalani hidup damai diatas awan
hari ktika q terlempar kembali ke tempat q smula brdiri
kegagalan
waktu itu tlah habis
saat rembulan mati cahaya
3.. 2.. 1..
& q pun kmbl seperti dulu
mengukir mimpi-mimpi baru
seperti sblm thn itu q lewati
sendiri
happy 2009 !
selamat dtng thn yg baru
karena detik bersama waktumu
q kan kembali
berlari
mengejar impian
(Ressa N)
Welcome N Join Us
Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda
Rabu, 31 Desember 2008
Jumat, 12 Desember 2008
Mengembangkan Minat Sastra
Media Indonesia, Minggu, 05 Oktober 2008
KEGIATAN bertajuk Improve Writing Quality baru saja digelar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) beberapa waktu lalu. Kegiatan itu terbagi dalam tiga bagian, yakni seminar, pelatihan menulis fiksi, dan bedah buku.
Kegiatan itu sengaja diadakan sebagai sebuah wujud peran serta FISIP USNI dalam membantu upaya pemerintah menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta mengembangkan apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar.
Novelis Rachmat Nugraha yang hadir sebagai pembicara dalam pelatihan menulis fiksi mengungkapkan, kegiatan itu sangat penting karena selama ini para pelajar bukannya tidak memiliki minat baca dan menulis, tapi mereka hanya tidak tahu saja ke mana mereka harus belajar dan mengembangkan minat mereka. "Sebenarnya banyak, kok, pelajar yang suku menulis cerpen, puisi, atau bahkan novel," tutur Ketua Komunitas Penulis Jakarta itu.
Kegiatan seperti itu diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Karena, untuk dapat menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar tidak dapat hanya dilakukan dengan sekali kegiatan saja. Melainkan harus terus-menerus dilakukan.
Selain Rachmat Nugraha, rangkaian kegiatan yang diadakan FISIP USNI bekerja sama dengan Aliansi Penulis Independen (API) itu menghadirkan pembicara yang sudah cukup berpengalaman di bidangnya, antara lain penyair ternama Bambang Widiatmoko, Rektor USNI Dr Andreas Yumarma, Ketua Umum API Supandi Halim, Sekjen API Ariyanto MB, dan lain-lain. (M-3)
KEGIATAN bertajuk Improve Writing Quality baru saja digelar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) beberapa waktu lalu. Kegiatan itu terbagi dalam tiga bagian, yakni seminar, pelatihan menulis fiksi, dan bedah buku.
Kegiatan itu sengaja diadakan sebagai sebuah wujud peran serta FISIP USNI dalam membantu upaya pemerintah menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta mengembangkan apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar.
Novelis Rachmat Nugraha yang hadir sebagai pembicara dalam pelatihan menulis fiksi mengungkapkan, kegiatan itu sangat penting karena selama ini para pelajar bukannya tidak memiliki minat baca dan menulis, tapi mereka hanya tidak tahu saja ke mana mereka harus belajar dan mengembangkan minat mereka. "Sebenarnya banyak, kok, pelajar yang suku menulis cerpen, puisi, atau bahkan novel," tutur Ketua Komunitas Penulis Jakarta itu.
Kegiatan seperti itu diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Karena, untuk dapat menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar tidak dapat hanya dilakukan dengan sekali kegiatan saja. Melainkan harus terus-menerus dilakukan.
Selain Rachmat Nugraha, rangkaian kegiatan yang diadakan FISIP USNI bekerja sama dengan Aliansi Penulis Independen (API) itu menghadirkan pembicara yang sudah cukup berpengalaman di bidangnya, antara lain penyair ternama Bambang Widiatmoko, Rektor USNI Dr Andreas Yumarma, Ketua Umum API Supandi Halim, Sekjen API Ariyanto MB, dan lain-lain. (M-3)
Mendirikan Sekolah Menulis
Media Indonesia, Minggu, 05 Oktober 2008
ANAK muda yang satu ini bisa dibilang merupakan contoh sukses di bidang penulisan di Kampus Universitas Satya Negara Indonesia (USNI). Fokus dalam hobi penulisan menjadikan Rachmat Nugraha salah seorang penulis terkemuka di Tanah Air.
Hobi itu sudah dia mulai sejak masih di bangku SMP, tetapi hanya untuk dinikmati sendiri.
Orang yang sulit mengucapkan 'R' ini sempat mengenyam pendidikan di Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP). Sekarang tengah melanjutkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi USNI.
Mahasiswa yang biasa dipanggil Pak Rachmat ini, ternyata telah menyelesaikan novel pertamanya April 2005, Karena Cinta ku Lakukan Segalanya, diterbitkan Penerbit Saujana. Setelah itu, pada tahun yang sama, novel keduanya berjudul Untuk Mu Ayu, juga diterbitkan Penerbit yang sama pada bulan Juli. Saat ini ia telah menyelesaikan dua bukunya Cinta Jangan Pergi yang diterbitkan Penerbit Saujana dan I’m Sorry yang di terbitkan KPJ Publishing bekerja sama dengan USNI.
Rachmat sangat mencintai hobinya sehingga apa pun akan ia lakukan untuk menambah ilmunya tentang menulis. Dia pernah bergabung dengan tim penyusun buku Mega the President, Selaras Media, yaitu sebuah komunitas yang didirikan mahasiswa, wartawan, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memajukan dunia baca dan tulis di Indonesia. Saat ini dia sedang menjalankan kegiatan barunya, talk show mengenai dunia penulis, cara menulis dan sebagainya ke berbagai sekolah yang bekerja sama dengan Aliansi Penulis Indonesia (API).
Pria ini memiliki cita-cita. Kepada tim rostrum ia bercerita bahwa dirinya ingin sekali punya sekolah penulisan, di mana ia bisa mengajak sebanyak mungkin anak-anak untuk belajar menulis di tempatnya secara gratis. Bahkan, dirinya telah membangun sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Penulis Jakarta (KPJ) guna menampung pelajar yang berminat mengembangkan bakat dan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis.
Hanya saja, pengembangan komunitasnya mengalami kendala disebabkan ketiadaan dana dan fasilitas. Namun, pemuda bertubuh kecil ini tidak putus asa. Dia tidak henti-hentinya berusaha agar komunitas yang dibentuknya sejak 6 April 2007 itu tetap eksis dan bisa menghasilkan karya terbaik yang dapat diterima masyarakat. "Apa pun bisa tercapai selama kita mau berusaha dan tidak berhenti berdoa kepada Yang Maha Kuasa," katanya. (M-3)
ANAK muda yang satu ini bisa dibilang merupakan contoh sukses di bidang penulisan di Kampus Universitas Satya Negara Indonesia (USNI). Fokus dalam hobi penulisan menjadikan Rachmat Nugraha salah seorang penulis terkemuka di Tanah Air.
Hobi itu sudah dia mulai sejak masih di bangku SMP, tetapi hanya untuk dinikmati sendiri.
Orang yang sulit mengucapkan 'R' ini sempat mengenyam pendidikan di Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP). Sekarang tengah melanjutkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi USNI.
Mahasiswa yang biasa dipanggil Pak Rachmat ini, ternyata telah menyelesaikan novel pertamanya April 2005, Karena Cinta ku Lakukan Segalanya, diterbitkan Penerbit Saujana. Setelah itu, pada tahun yang sama, novel keduanya berjudul Untuk Mu Ayu, juga diterbitkan Penerbit yang sama pada bulan Juli. Saat ini ia telah menyelesaikan dua bukunya Cinta Jangan Pergi yang diterbitkan Penerbit Saujana dan I’m Sorry yang di terbitkan KPJ Publishing bekerja sama dengan USNI.
Rachmat sangat mencintai hobinya sehingga apa pun akan ia lakukan untuk menambah ilmunya tentang menulis. Dia pernah bergabung dengan tim penyusun buku Mega the President, Selaras Media, yaitu sebuah komunitas yang didirikan mahasiswa, wartawan, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memajukan dunia baca dan tulis di Indonesia. Saat ini dia sedang menjalankan kegiatan barunya, talk show mengenai dunia penulis, cara menulis dan sebagainya ke berbagai sekolah yang bekerja sama dengan Aliansi Penulis Indonesia (API).
Pria ini memiliki cita-cita. Kepada tim rostrum ia bercerita bahwa dirinya ingin sekali punya sekolah penulisan, di mana ia bisa mengajak sebanyak mungkin anak-anak untuk belajar menulis di tempatnya secara gratis. Bahkan, dirinya telah membangun sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Penulis Jakarta (KPJ) guna menampung pelajar yang berminat mengembangkan bakat dan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis.
Hanya saja, pengembangan komunitasnya mengalami kendala disebabkan ketiadaan dana dan fasilitas. Namun, pemuda bertubuh kecil ini tidak putus asa. Dia tidak henti-hentinya berusaha agar komunitas yang dibentuknya sejak 6 April 2007 itu tetap eksis dan bisa menghasilkan karya terbaik yang dapat diterima masyarakat. "Apa pun bisa tercapai selama kita mau berusaha dan tidak berhenti berdoa kepada Yang Maha Kuasa," katanya. (M-3)
Kegetiran Hidup di Balik Kemegahan
UMI KULSUM
Malam itu, hanya disaksikan sinar bulan dan suara jengkerik, Ruki meninggalkan neneknya yang masih meringkuk di dipan reyot. Gubuk tua yang dihuninya sejak kanak-kanak dipandangnya dari kejauhan dengan harapan kelak dapat dilihatnya lagi. Dengan segala keberanian dan tekad, Ruki meninggalkan desanya menuju ibu kota agar dapat mendaftar untuk ikut bekerja di tanah Deli, suatu tempat yang menjanjikan mimpi masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, Ruki hanya menemukan kekecewaan ketika sampai di perkebunan Deli. Perlakuan kasar mandor dan kehidupan di bawah batas kemanusiaan itulah yang diperolehnya sehari-hari. Makanan yang jauh dari cukup, tempat tinggal yang mengenaskan, bahkan baju pun tidak dimilikinya karena dia tidak mampu membeli pakaian. Jika Ruki terlambat bangun dan bekerja di kebun, caci maki didapatnya disertai tendangan keras sang mandor.
Kekerasan yang terus dilihat dan dialaminya membuat Ruki ingin kembali ke kampung halaman ketika kontrak pertamanya usai. Namun, Ruki tidak menyadari suatu permainan lain dari pemilik kebun. Pada malam ketika dia menjadi orang bebas, Ruki dan teman-teman lain diundang oleh mandor kebun untuk pesta, saat itu tiba-tiba mandor bersikap seperti seorang bapak yang sangat peduli kepada anak-anaknya. Mandor menasihati Ruki agar dia tidak mempermalukan dirinya dengan kembali ke kampung halaman hanya dengan pakaian lusuh dan tidak memiliki uang, hingga akhirnya Ruki menandatangani kontraknya yang kedua!
Ruki tergiur dengan uang muka untuk kontraknya yang kedua, dengan harapan dapat membeli sehelai baju dan kain untuk ikat kepala. Sayangnya, mimpi menabung saat teken kontrak selalu hilang dari benaknya ketika dia menerima upah atas kerja kerasnya. Bayaran yang tak seberapa itu pun habis untuk bermain judi di hari bayaran, dan tentunya dipotong untuk membayar utangnya kepada ”perempuan bebas”. Karena pada ”perempuan bebas”-lah Ruki dapat melampiaskan hasrat dan kerinduannya akan kasih wanita.
Ruki tidak menyadari situasi yang dihadapinya, perjudian dan prostitusi terselubung yang dibiarkan oleh penguasa setempat adalah bagian dari jerat penguasa perkebunan. Hal itu dilakukan agar kuli menghabiskan uangnya untuk judi dan seks sehingga mereka tidak pernah memiliki tabungan untuk kembali ke kampung halaman.
Keinginan! Adalah sesuatu yang mustahil bagi seorang kuli. Hidup Ruki seolah berjalan seperti mesin yang dikendalikan oleh suara sirene dan makian. Dia harus segera bangun dan bekerja di kebun ketika sirene pertama di pagi buta terdengar. Kemudian istirahat setelah sirene untuk istirahat dan sirene untuk tidur. Ruki pun menjalaninya tanpa berpikir dan tanpa merasakan apa pun. Keinginan pulang ke kampung halaman pun makin samar. Ruki yang terlatih untuk tidak punya keinginan apa-apa hanya menikmati hiburan dengan berjudi. Itu pula yang membuatnya meneken kontrak untuk yang kesembilan belas kalinya, dengan tubuh bungkuk dan rambut putihnya.
Nasib. Itulah yang ada dalam benak Ruki. Hampir tiga puluh tahun telah dilewati Ruki dalam perkebunan di Deli, negeri yang dikabarkan memiliki pohon berbuah emas sehingga orang-orang dari tanah Jawa tergiur ingin melihat dan mengambil keuntungan dari pohon tersebut.
Demikianlah gambaran novel Koeli atau Kuli karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs yang pada awal diluncurkan di Belanda mengguncang masyarakat di sana. Negeri itu terkejut oleh kenyataan betapa perlakuan pemilik kebun yang sangat tidak manusiawi kepada buruh perkebunannya. Kisah perkebunan di akhir abad ke-18 juga ditulis dalam novel Rubber (1931) yang diterjemahkan menjadi Berpacu Nasib di Kebun Karet oleh Lulofs. Di Indonesia pun baru-baru ini terbit novel dengan napas dan substansi yang sama oleh Emil W Aulia berjudul Berjuta-juta dari Deli.
Keberadaan buruh
Dalam industri perkebunan, keberadaan buruh, yaitu kuli penggarap lahan, mutlak dibutuhkan. Untuk itu, didatangkanlah kuli-kuli dari Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan pekerja di perkebunan. Sebelumnya, migrasi orang-orang Hindustan dan China telah lebih dulu menempati posisi pekerja di tanah Deli.
Berjuta-juta dari Deli adalah sebuah novel yang isinya diambil dari sebuah dokumen berjudul Millionen uit Deli karya Van de Brand, seorang pengacara buruh perkebunan di tahun 1902. Dokumen itu membongkar kekerasan dan kekejian yang menimpa buruh perkebunan sehingga menimbulkan kontroversi politik tingkat tinggi di Belanda. Emil Aulia kemudian menuangkannya dalam bentuk fiksi sehingga dokumen sejarah itu pun dapat dinikmati dengan mudah. Melalui riset yang tekun dan teliti, Emil menghadirkan nuansa peristiwa yang terjadi satu abad silam. Namun, Lulofs dengan pengalaman pribadinya mampu menampilkan realitas kegetiran dan ironi kehidupan di perkebunan, baik yang dialami para kuli pribumi maupun kulit putih Eropa melalui Koeli dan Rubber.
Pada pertengahan abad ke-19, kemiskinan menjadi wajah yang umum di Nusantara. Maka, mereka yang menginginkan perubahan hidup lalu mencari celah untuk keluar dari kemiskinan itu. Hal inilah yang membius orang-orang miskin pergi ke Deli untuk mencari ”pohon berbuah emas”.
Meski buruh perkebunan memberikan keuntungan sangat besar bagi Tuan Kebun atau Singkeh, keberadaan buruh jauh dari dihargai. Bahkan, para buruh ditindas dan diperas oleh tangan dan mesin kolonialis. Dalam Kuli dan Berjuta-juta dari Deli tergambar sangat jelas bagaimana buruh diperdaya sejak awal dan disiksa selama berada di perkebunan.
Kuli kontrak bukan lagi manusia yang memiliki derajat dan harkat hidupnya. Mereka telah terasing menjadi manusia yang lain. Seperti ungkapan Ruki ketika berada di perkebunan Deli, ”Mereka telah kehilangan kemauan, kemerdekaan, dan hak mereka. Mereka adalah suatu bangsa baru, tanpa tanah air, tanpa keluarga, tanpa tradisi.”
Nasib kuli perempuan lebih mengenaskan lagi. Mereka diperlakukan seperti barang yang dapat diambil paksa atau dialihkan kepada orang lain tanpa meminta persetujuannya sekalipun. Karena itu, ketika kuli perempuan sampai di perkebunan, dia langsung diberikan kepada kuli laki-laki yang paling lama tinggal di perkebunan untuk diperistri (tanpa prosesi perkawinan).
Jika para kuli menjadi tenaga yang diperlakukan tidak lebih berharga daripada hewan, para majikan justru dapat berbuat sesukanya dan memiliki kehidupan berlimpah. Seperti diceritakan dalam novel Rubber yang diterjemahkan menjadi Bertahan di Kebun Karet, adalah kehidupan para Tuan Kebun yang datang dari Belanda, Amerika, dan Inggris di Sumatera Utara.
Kelompok berpendidikan ini hidup dengan kebiasaan Eropa yang suka berpesta dan memamerkan kekayaan mereka. Mereka justru berasal dari masyarakat Eropa kelas bawah yang berambisi mengumpulkan kekayaan melalui perkebunan. Orang-orang Eropa ini hanyalah para petualang yang tidak pernah mencintai Deli dan bercita-cita kembali ke kampung halaman setelah memiliki kekayaan yang cukup, yaitu rumah dan mobil mewah.
Meski mereka berasal dari bangsa yang sama, tujuan ekonomi di Deli membuat mereka bersaing satu sama lain, bahkan menjatuhkan temannya sendiri. Lulofs telah berusaha untuk jujur menghadirkan kehidupan para tuan kebun. (Umi Kulsum/ Litbang Kompas)
Malam itu, hanya disaksikan sinar bulan dan suara jengkerik, Ruki meninggalkan neneknya yang masih meringkuk di dipan reyot. Gubuk tua yang dihuninya sejak kanak-kanak dipandangnya dari kejauhan dengan harapan kelak dapat dilihatnya lagi. Dengan segala keberanian dan tekad, Ruki meninggalkan desanya menuju ibu kota agar dapat mendaftar untuk ikut bekerja di tanah Deli, suatu tempat yang menjanjikan mimpi masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, Ruki hanya menemukan kekecewaan ketika sampai di perkebunan Deli. Perlakuan kasar mandor dan kehidupan di bawah batas kemanusiaan itulah yang diperolehnya sehari-hari. Makanan yang jauh dari cukup, tempat tinggal yang mengenaskan, bahkan baju pun tidak dimilikinya karena dia tidak mampu membeli pakaian. Jika Ruki terlambat bangun dan bekerja di kebun, caci maki didapatnya disertai tendangan keras sang mandor.
Kekerasan yang terus dilihat dan dialaminya membuat Ruki ingin kembali ke kampung halaman ketika kontrak pertamanya usai. Namun, Ruki tidak menyadari suatu permainan lain dari pemilik kebun. Pada malam ketika dia menjadi orang bebas, Ruki dan teman-teman lain diundang oleh mandor kebun untuk pesta, saat itu tiba-tiba mandor bersikap seperti seorang bapak yang sangat peduli kepada anak-anaknya. Mandor menasihati Ruki agar dia tidak mempermalukan dirinya dengan kembali ke kampung halaman hanya dengan pakaian lusuh dan tidak memiliki uang, hingga akhirnya Ruki menandatangani kontraknya yang kedua!
Ruki tergiur dengan uang muka untuk kontraknya yang kedua, dengan harapan dapat membeli sehelai baju dan kain untuk ikat kepala. Sayangnya, mimpi menabung saat teken kontrak selalu hilang dari benaknya ketika dia menerima upah atas kerja kerasnya. Bayaran yang tak seberapa itu pun habis untuk bermain judi di hari bayaran, dan tentunya dipotong untuk membayar utangnya kepada ”perempuan bebas”. Karena pada ”perempuan bebas”-lah Ruki dapat melampiaskan hasrat dan kerinduannya akan kasih wanita.
Ruki tidak menyadari situasi yang dihadapinya, perjudian dan prostitusi terselubung yang dibiarkan oleh penguasa setempat adalah bagian dari jerat penguasa perkebunan. Hal itu dilakukan agar kuli menghabiskan uangnya untuk judi dan seks sehingga mereka tidak pernah memiliki tabungan untuk kembali ke kampung halaman.
Keinginan! Adalah sesuatu yang mustahil bagi seorang kuli. Hidup Ruki seolah berjalan seperti mesin yang dikendalikan oleh suara sirene dan makian. Dia harus segera bangun dan bekerja di kebun ketika sirene pertama di pagi buta terdengar. Kemudian istirahat setelah sirene untuk istirahat dan sirene untuk tidur. Ruki pun menjalaninya tanpa berpikir dan tanpa merasakan apa pun. Keinginan pulang ke kampung halaman pun makin samar. Ruki yang terlatih untuk tidak punya keinginan apa-apa hanya menikmati hiburan dengan berjudi. Itu pula yang membuatnya meneken kontrak untuk yang kesembilan belas kalinya, dengan tubuh bungkuk dan rambut putihnya.
Nasib. Itulah yang ada dalam benak Ruki. Hampir tiga puluh tahun telah dilewati Ruki dalam perkebunan di Deli, negeri yang dikabarkan memiliki pohon berbuah emas sehingga orang-orang dari tanah Jawa tergiur ingin melihat dan mengambil keuntungan dari pohon tersebut.
Demikianlah gambaran novel Koeli atau Kuli karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs yang pada awal diluncurkan di Belanda mengguncang masyarakat di sana. Negeri itu terkejut oleh kenyataan betapa perlakuan pemilik kebun yang sangat tidak manusiawi kepada buruh perkebunannya. Kisah perkebunan di akhir abad ke-18 juga ditulis dalam novel Rubber (1931) yang diterjemahkan menjadi Berpacu Nasib di Kebun Karet oleh Lulofs. Di Indonesia pun baru-baru ini terbit novel dengan napas dan substansi yang sama oleh Emil W Aulia berjudul Berjuta-juta dari Deli.
Keberadaan buruh
Dalam industri perkebunan, keberadaan buruh, yaitu kuli penggarap lahan, mutlak dibutuhkan. Untuk itu, didatangkanlah kuli-kuli dari Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan pekerja di perkebunan. Sebelumnya, migrasi orang-orang Hindustan dan China telah lebih dulu menempati posisi pekerja di tanah Deli.
Berjuta-juta dari Deli adalah sebuah novel yang isinya diambil dari sebuah dokumen berjudul Millionen uit Deli karya Van de Brand, seorang pengacara buruh perkebunan di tahun 1902. Dokumen itu membongkar kekerasan dan kekejian yang menimpa buruh perkebunan sehingga menimbulkan kontroversi politik tingkat tinggi di Belanda. Emil Aulia kemudian menuangkannya dalam bentuk fiksi sehingga dokumen sejarah itu pun dapat dinikmati dengan mudah. Melalui riset yang tekun dan teliti, Emil menghadirkan nuansa peristiwa yang terjadi satu abad silam. Namun, Lulofs dengan pengalaman pribadinya mampu menampilkan realitas kegetiran dan ironi kehidupan di perkebunan, baik yang dialami para kuli pribumi maupun kulit putih Eropa melalui Koeli dan Rubber.
Pada pertengahan abad ke-19, kemiskinan menjadi wajah yang umum di Nusantara. Maka, mereka yang menginginkan perubahan hidup lalu mencari celah untuk keluar dari kemiskinan itu. Hal inilah yang membius orang-orang miskin pergi ke Deli untuk mencari ”pohon berbuah emas”.
Meski buruh perkebunan memberikan keuntungan sangat besar bagi Tuan Kebun atau Singkeh, keberadaan buruh jauh dari dihargai. Bahkan, para buruh ditindas dan diperas oleh tangan dan mesin kolonialis. Dalam Kuli dan Berjuta-juta dari Deli tergambar sangat jelas bagaimana buruh diperdaya sejak awal dan disiksa selama berada di perkebunan.
Kuli kontrak bukan lagi manusia yang memiliki derajat dan harkat hidupnya. Mereka telah terasing menjadi manusia yang lain. Seperti ungkapan Ruki ketika berada di perkebunan Deli, ”Mereka telah kehilangan kemauan, kemerdekaan, dan hak mereka. Mereka adalah suatu bangsa baru, tanpa tanah air, tanpa keluarga, tanpa tradisi.”
Nasib kuli perempuan lebih mengenaskan lagi. Mereka diperlakukan seperti barang yang dapat diambil paksa atau dialihkan kepada orang lain tanpa meminta persetujuannya sekalipun. Karena itu, ketika kuli perempuan sampai di perkebunan, dia langsung diberikan kepada kuli laki-laki yang paling lama tinggal di perkebunan untuk diperistri (tanpa prosesi perkawinan).
Jika para kuli menjadi tenaga yang diperlakukan tidak lebih berharga daripada hewan, para majikan justru dapat berbuat sesukanya dan memiliki kehidupan berlimpah. Seperti diceritakan dalam novel Rubber yang diterjemahkan menjadi Bertahan di Kebun Karet, adalah kehidupan para Tuan Kebun yang datang dari Belanda, Amerika, dan Inggris di Sumatera Utara.
Kelompok berpendidikan ini hidup dengan kebiasaan Eropa yang suka berpesta dan memamerkan kekayaan mereka. Mereka justru berasal dari masyarakat Eropa kelas bawah yang berambisi mengumpulkan kekayaan melalui perkebunan. Orang-orang Eropa ini hanyalah para petualang yang tidak pernah mencintai Deli dan bercita-cita kembali ke kampung halaman setelah memiliki kekayaan yang cukup, yaitu rumah dan mobil mewah.
Meski mereka berasal dari bangsa yang sama, tujuan ekonomi di Deli membuat mereka bersaing satu sama lain, bahkan menjatuhkan temannya sendiri. Lulofs telah berusaha untuk jujur menghadirkan kehidupan para tuan kebun. (Umi Kulsum/ Litbang Kompas)
Advokat Van Den Brand
Jauh sebelum Indonesia merdeka, advokat sudah ada. Kala negeri masih dijajah Hindia Belanda, Advokat sudah berkisah. Walau republik belum merdeka, advokat telah membela. Tapi bukan untuk kalangan bangsawan Belanda atau kelompok raja nusantara. Dia membela rakyat jelata. Mengadvokasi orang pribumi yang ditindas penjajah.
Advokat itu orang Belanda. Bagian dari bangsa penjajah. Namanya Van Den Brand. Lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007)
Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.
Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.
Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den BrandDen Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.
Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.
Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.
Tapi sayang, kini Den Brand pantas kecewa. Karena begitu Indonesia merdeka, advokat penerusnya tak mampu berbuat seperti dirinya. Advokat kini lebih banyak berkelahi. Mereka sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk beraksi demi sebuah organisasi. Saling sikut demi yang namanya gengsi. Saling serang padahal hanya membentuk organisasinya sendiri. Saling berlomba untuk merebut jabatan ketua di organisasi advokat. Bukan berebut membela kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat. Bukan melakoni advokasi kala penindasan dan pelanggaran hukum tak terkendali. Itulah ironi advokat kita kini.
memilih mengabdi di Indonesia. Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat. dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap
Advokat itu orang Belanda. Bagian dari bangsa penjajah. Namanya Van Den Brand. Lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007)
Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.
Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.
Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den BrandDen Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.
Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.
Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.
Tapi sayang, kini Den Brand pantas kecewa. Karena begitu Indonesia merdeka, advokat penerusnya tak mampu berbuat seperti dirinya. Advokat kini lebih banyak berkelahi. Mereka sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk beraksi demi sebuah organisasi. Saling sikut demi yang namanya gengsi. Saling serang padahal hanya membentuk organisasinya sendiri. Saling berlomba untuk merebut jabatan ketua di organisasi advokat. Bukan berebut membela kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat. Bukan melakoni advokasi kala penindasan dan pelanggaran hukum tak terkendali. Itulah ironi advokat kita kini.
memilih mengabdi di Indonesia. Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat. dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap
MULTATULI PEREMPUAN DARI TANAH DELI
OLEH EMIL W. AULIA
TIDAK banyak karya sastra, novel atau cerpen, yang layak dijadikan referensi penulisan buku-buku teks akademis. Namun karyakarya fiksi karangan Madelon Hermina Szekely-Lulofs, sepertinya, adalah pengecualian. “Tidak perlu diragukan, semua insiden yang diuraikan Lulofs dalam novelnya adalah nyata,” kata Anthony Reid, peneliti sejarah dari Australian National University.
Beberapa buku sejarah tentang kehidupan di perkebunan Deli, Sumatera Timur, masa kolonial mencantumkan nama dan buku-buku fiksi Lulofs di dalam daftar referensinya. Di antaranya Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria karangan Karl J. Pelzer (1985) atau Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera buah pena Anthony Reid (1987). Lihat juga Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera karangan Ann Laura Stoler (1870-1979).
Beberapa bagian novel Lulofs juga dicuplik dalam artikel ilmiah di jurnal sejarah, makalah seminar, skripsi dan disertasi mahasiswa yang belum diterbitkan. Bahkan, nama dan karya penulis perempuan berkebangsaan
Belanda itu juga dinukil dalam artikel feature di majalah hingga buku panduan wisata.
Setidaknya ada dua novel Lulofs yang paling banyak dikutip, yaitu Rubber (terbit tahun 1931) dan Koelie (1932). Keduanya berkisah tentang kuli kontrak dan tuan kebun di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Bagi sejumlah sejarahwan, kedua novel ini layak dijadikan sumber penulisan sejarah karena cerita, setting, peran dan karakter yang dimainkan tokohtokohnya, memungkinkan mereka mengungkap gambaran masa silam yang terjadi di Deli, persisnya pada era 1920-an, saat industri perkebunan di daerah pesisir timur Sumatera itu mencapai puncak kejayaannya.
Rubber lebih banyak mengungkap suka duka kehidupan warga Eropa di perkebunan Deli. Koelie adalah pendalaman yang lain. Novel ini menelusuri kehidupan dunia mental para pekerja kasar Jawa, kelompok yang membanting tulang sepanjang hari, menjadi mesin utama industri di perkebunan. Bagi mereka, hidup di perkebunan adalah perbudakan.
Koelie dimulai dari sosok Ruki, seorang pemuda asal Jawa yang digambarkan Madelon sebagai wakil dari ribuan orang yang direkrut dari pelbagai pelosok Jawa untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di Deli. Suatu hari, seorang werek (agen pencari kerja) datang ke desanya yang miskin. Werek membawa kabar tentang tanah Deli yang ajaib. Di Deli, katanya, emas murah, banyak hiburan wayang, perempuan, dan bebas berjudi.
Ruki termakan rayuan itu lalu meneken kontrak. Sejak itu resmilah ia menyandang sebutan kuli kontrak, sosok manusia yang, menurut Lulofs, telah tergadai jiwa dan raganya. Bekerja di perkebunan karet, Ruki dan kuli-kuli Jawa lainnya menjalani hari-hari penuh caci maki, kerja keras, dan hukuman pukultendang. Semua kekasaran ini, buah dari penerapan kebijakan poenale sanctie, aturan hukum yang dibuat pemerintah Belanda untuk para kuli yang bekerja di perkebunan.
Hidup di perkebunan bagi Ruki adalah derita tanpa akhir. Seperti kebanyakan kuli, ia tidak bisa pulang ke Jawa atau meninggalkan perkebunan meski kontrak telah selesai. Penyebabnya, mereka tak punya uang cukup sebab upah kecil yang mereka terima setiap bulannya habis tersedot ke meja judi, rumah candu, dan barak pelacuran yang sengaja dibiarkan tumbuh subur di perkebunan.
Belanda sontak heboh saat kedua novel itu terbit untuk pertama kalinya. Para pendukung kapitalisme dan kolonialisme menyerang Lulofs. Ia dianggap berpolitik karena Madelon Hermina menulis karya sastra yang memuat kritik serta menelanjangi dampak kebijakan poenale sanctie itu. Bahkan, ada pula yang menganggapnya sebagai pengkhianat.
Namun bagi penentang penjajahan, ia justru dianggap sebagai pahlawan yang berjuang melalui sastra. Sampai- sampai ada yang menjulukinya Multatuli perempuan. “Apapun keterbatasan novelnya, kita tidak punya bahanbahan yang lebih baik untuk mendapatkan gambaran tentang dunia yang luar biasa kasar di perkebunan Sumatera,” imbuh Reid.
Lulofs sendiri tak bermaksud apa. Saya tidak menulis novel politik melainkan karya sastra murni. Saya hanya mencoba sebaik-baiknya menyajikan kekasaran, kepahitan, dan kemerosotan kehidupan tropis, yang di dalamnya tersembunyi suatu tragedi yang amat besar dari penderitaan dan kesengsaraan manusia,” kata Lulofs.
Madelon Hermina Szekely-Lulofs lahir saat gerhana bulan di sebuah kamar di Hotel Oranje, Surabaya, 24 Juni 1899. Sulung dari empat bersaudara pasangan Claas Lulofs dan Sarah Dijkmeester ini menghabiskan masa kanak-kanaknya di berbagai daerah di Hindia-Belanda (Indonesia), mengikuti ayahnya yang sering berpindah tugas sebagai amtenar pangreh raja (binnenlandsch bestuur). Tahun 1913, ia pindah ke Negeri Belanda. Dua tahun kemudian, Perang Dunia I berkecamuk, membuat keluarganya terkena dampak lalu ia memilih kembali ke Hindia-Belanda.
Tahun 1918, ia menetap di Asahan, sekitar 125 kilometer dari kota Medan, mengikuti Hendrik Doffegnies, suaminya, seorang tuan kebun yang bekerja di perkebunan karet di daerah itu. Perkawinannya tidak langgeng. Hendrik menginginkan Lulofs menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, sementara Szekely-Lulofs Lulofs membutuhkan suami yang lebih dari seorang penjaga.
Mereka pun berpisah pada 1927. Lulofs lari dari rumah dan memilih hidup bersama Laszlo Szekely, sahabat lamanya, yang juga tuan kebun di Deli. Pria Hungaria itu mendorong Lulofs mengasah bakatnya sebagai penulis. Seperti dirinya, Laszlo juga gemar menulis dan sempat melahirkan novel berlatar kehidupan perkebunan, Tropic Fever.
Pengalaman 12 tahun menetap dan melihat langsung keadaan di perkebunan, membuat karyanya solid. “Novel-novelnya memperkuat bukti-bukti dari sumber-sumber yang kurang bermotivasi estetis,” puji Ann Laura Stoler, antropolog dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, membandingkan karya Lulofs dengan buku-buku teks di luar sastra yang juga menulis tentang kepahitan hidup di perkebunan.
Estetika yang tampil pada karyakarya Lulofs memang memukau. Pada awal peredarannya langsung mendapat sambutan hangat. Novel- novelnya disalin ke dalam pelbagai bahasa, diiringi dengan aneka diskusi dan pementasan. Pada tahun 1936, Rubber sempat difilemkan. Untuk Indonesia, karya Lulofs boleh dibilang terlambat diterjemahkan. Publik sastra di tanah air baru bisa menikmati karyanya pada tahun 1985 dengan judul Kuli dan Berpacu Nasib di Kebun Karet.
Lulofs yang dikenal suka mengutip Sutan Sjahrir itu juga menulis karya sastra lainnya; Emigranten (Emigran), De Andere Wereld (Dunia Lain), Vizioen (Impian), De Hongertocht (Perjalanan Melelahkan) De Kleine Strijd (Pertempuran Kecil), Doekoen (Dukun) dan terakhir, Tjoet Nja Din (Cut Nyak Din), novel semi- bografis pejuang perempuan Aceh termasyur dalam sejarah perang melawan kolonial Belanda.
Pada 22 Mei 1958, Madelon berbelanja di sebuah toko di Amsterdam. Tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Ia buru-buru pulang ke rumah. Keluarganya memanggil dokter yang dengan cepat datang, lalu memeriksa. Namun ia sudah tak bernyawa. Hari itu, 48 tahun yang silam, dokter mengatakan, Madelon meninggal karena serangan jantung.
EMIL W. AULIA, wartawan Global TV. Menulis novel Berjuta- juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract (2006)
TIDAK banyak karya sastra, novel atau cerpen, yang layak dijadikan referensi penulisan buku-buku teks akademis. Namun karyakarya fiksi karangan Madelon Hermina Szekely-Lulofs, sepertinya, adalah pengecualian. “Tidak perlu diragukan, semua insiden yang diuraikan Lulofs dalam novelnya adalah nyata,” kata Anthony Reid, peneliti sejarah dari Australian National University.
Beberapa buku sejarah tentang kehidupan di perkebunan Deli, Sumatera Timur, masa kolonial mencantumkan nama dan buku-buku fiksi Lulofs di dalam daftar referensinya. Di antaranya Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria karangan Karl J. Pelzer (1985) atau Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera buah pena Anthony Reid (1987). Lihat juga Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera karangan Ann Laura Stoler (1870-1979).
Beberapa bagian novel Lulofs juga dicuplik dalam artikel ilmiah di jurnal sejarah, makalah seminar, skripsi dan disertasi mahasiswa yang belum diterbitkan. Bahkan, nama dan karya penulis perempuan berkebangsaan
Belanda itu juga dinukil dalam artikel feature di majalah hingga buku panduan wisata.
Setidaknya ada dua novel Lulofs yang paling banyak dikutip, yaitu Rubber (terbit tahun 1931) dan Koelie (1932). Keduanya berkisah tentang kuli kontrak dan tuan kebun di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Bagi sejumlah sejarahwan, kedua novel ini layak dijadikan sumber penulisan sejarah karena cerita, setting, peran dan karakter yang dimainkan tokohtokohnya, memungkinkan mereka mengungkap gambaran masa silam yang terjadi di Deli, persisnya pada era 1920-an, saat industri perkebunan di daerah pesisir timur Sumatera itu mencapai puncak kejayaannya.
Rubber lebih banyak mengungkap suka duka kehidupan warga Eropa di perkebunan Deli. Koelie adalah pendalaman yang lain. Novel ini menelusuri kehidupan dunia mental para pekerja kasar Jawa, kelompok yang membanting tulang sepanjang hari, menjadi mesin utama industri di perkebunan. Bagi mereka, hidup di perkebunan adalah perbudakan.
Koelie dimulai dari sosok Ruki, seorang pemuda asal Jawa yang digambarkan Madelon sebagai wakil dari ribuan orang yang direkrut dari pelbagai pelosok Jawa untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di Deli. Suatu hari, seorang werek (agen pencari kerja) datang ke desanya yang miskin. Werek membawa kabar tentang tanah Deli yang ajaib. Di Deli, katanya, emas murah, banyak hiburan wayang, perempuan, dan bebas berjudi.
Ruki termakan rayuan itu lalu meneken kontrak. Sejak itu resmilah ia menyandang sebutan kuli kontrak, sosok manusia yang, menurut Lulofs, telah tergadai jiwa dan raganya. Bekerja di perkebunan karet, Ruki dan kuli-kuli Jawa lainnya menjalani hari-hari penuh caci maki, kerja keras, dan hukuman pukultendang. Semua kekasaran ini, buah dari penerapan kebijakan poenale sanctie, aturan hukum yang dibuat pemerintah Belanda untuk para kuli yang bekerja di perkebunan.
Hidup di perkebunan bagi Ruki adalah derita tanpa akhir. Seperti kebanyakan kuli, ia tidak bisa pulang ke Jawa atau meninggalkan perkebunan meski kontrak telah selesai. Penyebabnya, mereka tak punya uang cukup sebab upah kecil yang mereka terima setiap bulannya habis tersedot ke meja judi, rumah candu, dan barak pelacuran yang sengaja dibiarkan tumbuh subur di perkebunan.
Belanda sontak heboh saat kedua novel itu terbit untuk pertama kalinya. Para pendukung kapitalisme dan kolonialisme menyerang Lulofs. Ia dianggap berpolitik karena Madelon Hermina menulis karya sastra yang memuat kritik serta menelanjangi dampak kebijakan poenale sanctie itu. Bahkan, ada pula yang menganggapnya sebagai pengkhianat.
Namun bagi penentang penjajahan, ia justru dianggap sebagai pahlawan yang berjuang melalui sastra. Sampai- sampai ada yang menjulukinya Multatuli perempuan. “Apapun keterbatasan novelnya, kita tidak punya bahanbahan yang lebih baik untuk mendapatkan gambaran tentang dunia yang luar biasa kasar di perkebunan Sumatera,” imbuh Reid.
Lulofs sendiri tak bermaksud apa. Saya tidak menulis novel politik melainkan karya sastra murni. Saya hanya mencoba sebaik-baiknya menyajikan kekasaran, kepahitan, dan kemerosotan kehidupan tropis, yang di dalamnya tersembunyi suatu tragedi yang amat besar dari penderitaan dan kesengsaraan manusia,” kata Lulofs.
Madelon Hermina Szekely-Lulofs lahir saat gerhana bulan di sebuah kamar di Hotel Oranje, Surabaya, 24 Juni 1899. Sulung dari empat bersaudara pasangan Claas Lulofs dan Sarah Dijkmeester ini menghabiskan masa kanak-kanaknya di berbagai daerah di Hindia-Belanda (Indonesia), mengikuti ayahnya yang sering berpindah tugas sebagai amtenar pangreh raja (binnenlandsch bestuur). Tahun 1913, ia pindah ke Negeri Belanda. Dua tahun kemudian, Perang Dunia I berkecamuk, membuat keluarganya terkena dampak lalu ia memilih kembali ke Hindia-Belanda.
Tahun 1918, ia menetap di Asahan, sekitar 125 kilometer dari kota Medan, mengikuti Hendrik Doffegnies, suaminya, seorang tuan kebun yang bekerja di perkebunan karet di daerah itu. Perkawinannya tidak langgeng. Hendrik menginginkan Lulofs menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, sementara Szekely-Lulofs Lulofs membutuhkan suami yang lebih dari seorang penjaga.
Mereka pun berpisah pada 1927. Lulofs lari dari rumah dan memilih hidup bersama Laszlo Szekely, sahabat lamanya, yang juga tuan kebun di Deli. Pria Hungaria itu mendorong Lulofs mengasah bakatnya sebagai penulis. Seperti dirinya, Laszlo juga gemar menulis dan sempat melahirkan novel berlatar kehidupan perkebunan, Tropic Fever.
Pengalaman 12 tahun menetap dan melihat langsung keadaan di perkebunan, membuat karyanya solid. “Novel-novelnya memperkuat bukti-bukti dari sumber-sumber yang kurang bermotivasi estetis,” puji Ann Laura Stoler, antropolog dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, membandingkan karya Lulofs dengan buku-buku teks di luar sastra yang juga menulis tentang kepahitan hidup di perkebunan.
Estetika yang tampil pada karyakarya Lulofs memang memukau. Pada awal peredarannya langsung mendapat sambutan hangat. Novel- novelnya disalin ke dalam pelbagai bahasa, diiringi dengan aneka diskusi dan pementasan. Pada tahun 1936, Rubber sempat difilemkan. Untuk Indonesia, karya Lulofs boleh dibilang terlambat diterjemahkan. Publik sastra di tanah air baru bisa menikmati karyanya pada tahun 1985 dengan judul Kuli dan Berpacu Nasib di Kebun Karet.
Lulofs yang dikenal suka mengutip Sutan Sjahrir itu juga menulis karya sastra lainnya; Emigranten (Emigran), De Andere Wereld (Dunia Lain), Vizioen (Impian), De Hongertocht (Perjalanan Melelahkan) De Kleine Strijd (Pertempuran Kecil), Doekoen (Dukun) dan terakhir, Tjoet Nja Din (Cut Nyak Din), novel semi- bografis pejuang perempuan Aceh termasyur dalam sejarah perang melawan kolonial Belanda.
Pada 22 Mei 1958, Madelon berbelanja di sebuah toko di Amsterdam. Tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Ia buru-buru pulang ke rumah. Keluarganya memanggil dokter yang dengan cepat datang, lalu memeriksa. Namun ia sudah tak bernyawa. Hari itu, 48 tahun yang silam, dokter mengatakan, Madelon meninggal karena serangan jantung.
EMIL W. AULIA, wartawan Global TV. Menulis novel Berjuta- juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract (2006)
Selasa, 09 Desember 2008
SAJAK MALAM HARI
Rembulan memanggilmu ke peraduan
Tanda bahwa ia rindu memeluk mimpi-mimpi indahmu
Jangan risaukan mentari esok pagi
Karena hanya malam
Waktu yang tepat untukmu lepas penat hati
Tidurlah kawan
Bersama peri
Mimpikan surgawi
(OCHA)
Tanda bahwa ia rindu memeluk mimpi-mimpi indahmu
Jangan risaukan mentari esok pagi
Karena hanya malam
Waktu yang tepat untukmu lepas penat hati
Tidurlah kawan
Bersama peri
Mimpikan surgawi
(OCHA)
SAJAK MALAM HARI
Rembulan memanggilmu ke peraduan
Tanda bahwa ia rindu memeluk mimpi-mimpi indahmu
Jangan risaukan mentari esok pagi
Karena hanya malam
Waktu yang tepat untukmu lepas penat hati
Tidurlah kawan
Bersama peri
Mimpikan surgawi
(OCHA)
Tanda bahwa ia rindu memeluk mimpi-mimpi indahmu
Jangan risaukan mentari esok pagi
Karena hanya malam
Waktu yang tepat untukmu lepas penat hati
Tidurlah kawan
Bersama peri
Mimpikan surgawi
(OCHA)
LOVE IS...
Love is when i wake up in d morning
& remember his smile
Love is when i walk under d sun bright
& hope to see his figure
Love is when i stare at dusk
& feeling his personality
Love is
Like d time that bring me to life
Like d shine that light my soul
Like d pray that pacify my heart
Cause that,
Love is when d night come in to d world
& i call his delution spirit to come in to my dream
Everytime, until this never lasting love decided to go
(OCHA)
& remember his smile
Love is when i walk under d sun bright
& hope to see his figure
Love is when i stare at dusk
& feeling his personality
Love is
Like d time that bring me to life
Like d shine that light my soul
Like d pray that pacify my heart
Cause that,
Love is when d night come in to d world
& i call his delution spirit to come in to my dream
Everytime, until this never lasting love decided to go
(OCHA)
Jumat, 05 Desember 2008
Lagi, Dua Pencari Suaka Asal Papua Akan Kembali ke Tanah Kelahirannya
Diduga Ada Intervensi Intelejen dan Uang
Setelah kepulangan Hana Gobay dan Jubel Kareni, dua Warga negara Indonesia (WNI) asal Papua ke tanah kelahirannya pada September lalu, kini dua orang lagi dikabarkan akan mengikuti jejak kedua rekannya itu. Mereka adalah Yunus Wanggai dan anaknya Anike. Diduga, Kembalinya mereka ke bumi cendrawasih disebabkan adanya intervensi intelijen dan uang.
Pengamat intelejen Susaningtyas NH Kertopati mengatakan, jika memang ada keterlibatan intelejen dalam proses kepulangan dua orang pencari suaka asal Papua itu, dinilainya sebagai suatu hal yang wajar.
“Apapun alasannya, keterlibatan mereka (intelejen, red) adalah untuk menjaga kedaulatan negara,” ungkapnya, Jumat (28/11).
Menurutnya, kepulangan pencari suaka tentu dikhawatirkan bermuatan politik yang akan mengakibatkan disorientasi dan disorganisasi bernegara. “Apalagi eskalasi politik sekarang ini banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan antar partai dan pribadi petinggi negara,” kata wanita yang biasa dipanggil Nuning ini.
Kendati demikian, kata Nuning, kepulangan dua warga Papua itu tidak perlu dipersoalkan selama keduanya memiliki itikad baik dalam kerangka membangun integrasi bangsa.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR asal PAN Sahrin Hamid. Menurutnya, kembalinya pencari suaka asal Papua tidak usah dicurigai macam-macam.
“Yang penting mereka kembali atas niat baik mereka untuk kembali membangun integrasi, kecuali jika mereka punya itikad buruk baru ditindak” katanya, Jumat (28/11).
Terkait dengan dugaan adanya intervensi intelejen dan uang dalam proses kepulangan kedua pencari suaka asal Papua itu, Sahrin menilainya sebagai suatu hal yang masih spekulatif. Jadi, sebaiknya isu itu dihiraukan saja.
“Jangan gampang percaya dengan isu-isu yang gak jelas. Kita positif thinking saja,” pungkasnya. n CR-3
///////////////////
Teuku Faizasyah
Juru Bicara Deplu
Juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Teuku Faizasyah. Menurutnya, dugaan yang mengatakan bahwa ada campur tangan intelijen Indonesia dalam kepulangan tersebut adalah tidak berdasar.
“Keinginan mereka untuk pulang bersifat sukarela. Tanpa ada paksaan. Anda bisa memegang kata-kata saya, tidak ada campur tangan intelijen Indonesia,” ungkapnya dalam press briefing di Gedung Deplu, Jakarta, Jumat (28/11).
Faizasyah juga membantah dugaan tentang pemberian uang pada kedua warga Papua itu. "Saya tidak bisa berkomentar soal itu. Kami sebagai pemerintah hanya berusaha melindungi warga negara. Tapi niat kepulangan mereka merupakan indikasi adanya rasa frustrasi di pihak Herman Wanggai," katanya. n CR-3
Setelah kepulangan Hana Gobay dan Jubel Kareni, dua Warga negara Indonesia (WNI) asal Papua ke tanah kelahirannya pada September lalu, kini dua orang lagi dikabarkan akan mengikuti jejak kedua rekannya itu. Mereka adalah Yunus Wanggai dan anaknya Anike. Diduga, Kembalinya mereka ke bumi cendrawasih disebabkan adanya intervensi intelijen dan uang.
Pengamat intelejen Susaningtyas NH Kertopati mengatakan, jika memang ada keterlibatan intelejen dalam proses kepulangan dua orang pencari suaka asal Papua itu, dinilainya sebagai suatu hal yang wajar.
“Apapun alasannya, keterlibatan mereka (intelejen, red) adalah untuk menjaga kedaulatan negara,” ungkapnya, Jumat (28/11).
Menurutnya, kepulangan pencari suaka tentu dikhawatirkan bermuatan politik yang akan mengakibatkan disorientasi dan disorganisasi bernegara. “Apalagi eskalasi politik sekarang ini banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan antar partai dan pribadi petinggi negara,” kata wanita yang biasa dipanggil Nuning ini.
Kendati demikian, kata Nuning, kepulangan dua warga Papua itu tidak perlu dipersoalkan selama keduanya memiliki itikad baik dalam kerangka membangun integrasi bangsa.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR asal PAN Sahrin Hamid. Menurutnya, kembalinya pencari suaka asal Papua tidak usah dicurigai macam-macam.
“Yang penting mereka kembali atas niat baik mereka untuk kembali membangun integrasi, kecuali jika mereka punya itikad buruk baru ditindak” katanya, Jumat (28/11).
Terkait dengan dugaan adanya intervensi intelejen dan uang dalam proses kepulangan kedua pencari suaka asal Papua itu, Sahrin menilainya sebagai suatu hal yang masih spekulatif. Jadi, sebaiknya isu itu dihiraukan saja.
“Jangan gampang percaya dengan isu-isu yang gak jelas. Kita positif thinking saja,” pungkasnya. n CR-3
///////////////////
Teuku Faizasyah
Juru Bicara Deplu
Juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Teuku Faizasyah. Menurutnya, dugaan yang mengatakan bahwa ada campur tangan intelijen Indonesia dalam kepulangan tersebut adalah tidak berdasar.
“Keinginan mereka untuk pulang bersifat sukarela. Tanpa ada paksaan. Anda bisa memegang kata-kata saya, tidak ada campur tangan intelijen Indonesia,” ungkapnya dalam press briefing di Gedung Deplu, Jakarta, Jumat (28/11).
Faizasyah juga membantah dugaan tentang pemberian uang pada kedua warga Papua itu. "Saya tidak bisa berkomentar soal itu. Kami sebagai pemerintah hanya berusaha melindungi warga negara. Tapi niat kepulangan mereka merupakan indikasi adanya rasa frustrasi di pihak Herman Wanggai," katanya. n CR-3
Mendulang Sukses Lewat Menulis
Oleh: Rachmat Nugraha*
“Apa penulis bisa jadi profesi yang menjanjikan?” Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dalam setiap seminar atau pelatihan penulisan. Umumnya, mereka yang bertanya adalah orang yang ingin terjun ke dunia penulisan, namun masih ragu dengan potensi yang akan ia peroleh secara finansial.
Untuk menjawab pertanyaan seperti ini ternyata tidak mudah. Sebab faktanya, banyak orang yang kaya dari menulis dan tidak sedikit pula yang hidup pas-pasan. Tapi paling tidak, saat ini peluang karir di bidang penulisan mulai menggeliat dan bisa dibilang menjanjikan.
Lihat saja Andrea Hirata yang sukses dengan novel Laskar Pelangi, di mana dia bisa mendapatkan royalti hingga menembus angka satu milyar untuk novel yang baru saja diangkat ke layar lebar itu. Atau, sebut saja Habiburahman El Shirazy yang berhasil mendulang rupiah lewat novel Ayat-ayat cinta yang fenomenal hingga mencapai Rp 1,2 miliar. Keduanya memulainya dengan menulis.
Itu baru di Indonesia, di mancanegara bahkan sudah ratusan atau mungkin ribuan orang yang sukses dalam bidang penulisan. Satu di antaranya adalah J. K Rowling, sang pencipta tokoh Harry Potter yang kini memiliki kekayaan senilai 560 juta pound.
Nama-nama di atas telah membuktikan bahwa profesi menjadi penulis sebenarnya cukup menjanjikan. Terlebih dengan perkembangan dunia perbukuan akhir-akhir ini yang menggembirakan, di mana banyak buku-buku asli karya penulis dalam negeri laris manis bak kacang goreng.
Menurut M. B Ariyanto, sang penulis dan direktur Mr. Pen Indonesia, untuk menekuni profesi penulis tidak diperlukan latar belakang pendidikan tertentu. Semua orang bisa menjadi penulis. Profesi ini juga tidak memerlukan kantor karena untuk melakukannya bisa dilakukan di rumah atau kamar kost-kostan.
Seorang penulis juga tidak perlu repot-repot mengeluarkan modal. Pekerjaannya hanya menulis dan sisanya serahkan saja ke penerbit, karena penerbitlah yang akan membiayai penerbitannya. Kalau pun kita memiliki obsesi untuk menerbitkan karya kita sendiri, hal itu bisa disiasati dengan mencari sponsor yang bersedia membantu menerbitkan karya kita.
Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa jenis pekerjaan menulis yang dapat menghasilkan uang, antara lain:
1. Menulis novel;
2. menulis cerpen, cerber, atau kumpulan puisi;
3. menulis biografi tokoh;
4. menulis skenario;
5. menulis opini atau artikel di media cetak;
6. dan menulis buku-buku pengetahuan umum.
M. B Ariyanto, sang penulis dan direktur Mr. Pen Indonesia bahkan lebih banyak lagi menyebutkan jenis-jenis pekerjaan menulis yang menghasilkan uang, antara lain:
1. Editing naskah buku (kerjasama penulis dengan penerbit);
2. Penulisan cerpen/cerber/antologi puisi;
3. Penulisan naskah pidato;
4. Penulisan company profile;
5. Penulisan proposal;
6. Penulisan buku biografi tokoh;
7. Penulisan buku-buku popular;
8. Penulisan press release;
9. Penulisan product release;
10. Penulisan informasi produk (product knowledge)
11. Penulisan artikel untuk media cetak (surat pembaca, opini, dll);
12. Penyusunan buku direktori/data base (mis; business directory);
13. Penyusunan buku pengetahuan umum.
Dari sekian jenis pekerjaan menulis yang disebutkan di atas, kita bisa memilih jenis pekerjaan menulis apa yang kita inginkan. Tak hanya itu. Banyak usaha turunan berbasis menulis yang bisa diretas, antara lain: penerbitan, sekolah menulis, pembicara, pengajar, motivator, dan lain-lain. Yang harus diingat, yang menentukan keberhasilan adalah adanya kemauan dan ketekunan, bukan bakat.
Bicara penghasilan, M. B Ariyanto berpendapat, penghasilan yang akan didapat dari setiap jenis pekerjaan menulis tersebut, antara lain:
1. Royalti sebesar 10-15 persen dari penjualan buku yang diterbitkan oleh
penerbit;
2. Dari royalti buku yang diterbitkan sendiri;
3. Dari keuntungan penjualan buku yang diterbitkan sendiri;
4. Dari honor menulis di media cetak;
5. Dari honor menulis skenario;
6. Dari jasa penulisan biografi;
7. Atau bisa juga dari usaha lain seperti honor menjadi pembicara dalam
pelatihan dan seminar.
Yang jelas, jika menekuni profesi penulis, maka akan banyak sumber penghasilan yang bisa diperoleh dan itu membuktikan bahwa profesi penulis merupakan profesi yang cukup potensial untuk dilirik sebagai sebuah karir.
* Novelis, Wartawan Harian Rakyat Merdeka, Direktur Eksekutif Komunitas Penulis Jakarta
“Apa penulis bisa jadi profesi yang menjanjikan?” Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dalam setiap seminar atau pelatihan penulisan. Umumnya, mereka yang bertanya adalah orang yang ingin terjun ke dunia penulisan, namun masih ragu dengan potensi yang akan ia peroleh secara finansial.
Untuk menjawab pertanyaan seperti ini ternyata tidak mudah. Sebab faktanya, banyak orang yang kaya dari menulis dan tidak sedikit pula yang hidup pas-pasan. Tapi paling tidak, saat ini peluang karir di bidang penulisan mulai menggeliat dan bisa dibilang menjanjikan.
Lihat saja Andrea Hirata yang sukses dengan novel Laskar Pelangi, di mana dia bisa mendapatkan royalti hingga menembus angka satu milyar untuk novel yang baru saja diangkat ke layar lebar itu. Atau, sebut saja Habiburahman El Shirazy yang berhasil mendulang rupiah lewat novel Ayat-ayat cinta yang fenomenal hingga mencapai Rp 1,2 miliar. Keduanya memulainya dengan menulis.
Itu baru di Indonesia, di mancanegara bahkan sudah ratusan atau mungkin ribuan orang yang sukses dalam bidang penulisan. Satu di antaranya adalah J. K Rowling, sang pencipta tokoh Harry Potter yang kini memiliki kekayaan senilai 560 juta pound.
Nama-nama di atas telah membuktikan bahwa profesi menjadi penulis sebenarnya cukup menjanjikan. Terlebih dengan perkembangan dunia perbukuan akhir-akhir ini yang menggembirakan, di mana banyak buku-buku asli karya penulis dalam negeri laris manis bak kacang goreng.
Menurut M. B Ariyanto, sang penulis dan direktur Mr. Pen Indonesia, untuk menekuni profesi penulis tidak diperlukan latar belakang pendidikan tertentu. Semua orang bisa menjadi penulis. Profesi ini juga tidak memerlukan kantor karena untuk melakukannya bisa dilakukan di rumah atau kamar kost-kostan.
Seorang penulis juga tidak perlu repot-repot mengeluarkan modal. Pekerjaannya hanya menulis dan sisanya serahkan saja ke penerbit, karena penerbitlah yang akan membiayai penerbitannya. Kalau pun kita memiliki obsesi untuk menerbitkan karya kita sendiri, hal itu bisa disiasati dengan mencari sponsor yang bersedia membantu menerbitkan karya kita.
Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa jenis pekerjaan menulis yang dapat menghasilkan uang, antara lain:
1. Menulis novel;
2. menulis cerpen, cerber, atau kumpulan puisi;
3. menulis biografi tokoh;
4. menulis skenario;
5. menulis opini atau artikel di media cetak;
6. dan menulis buku-buku pengetahuan umum.
M. B Ariyanto, sang penulis dan direktur Mr. Pen Indonesia bahkan lebih banyak lagi menyebutkan jenis-jenis pekerjaan menulis yang menghasilkan uang, antara lain:
1. Editing naskah buku (kerjasama penulis dengan penerbit);
2. Penulisan cerpen/cerber/antologi puisi;
3. Penulisan naskah pidato;
4. Penulisan company profile;
5. Penulisan proposal;
6. Penulisan buku biografi tokoh;
7. Penulisan buku-buku popular;
8. Penulisan press release;
9. Penulisan product release;
10. Penulisan informasi produk (product knowledge)
11. Penulisan artikel untuk media cetak (surat pembaca, opini, dll);
12. Penyusunan buku direktori/data base (mis; business directory);
13. Penyusunan buku pengetahuan umum.
Dari sekian jenis pekerjaan menulis yang disebutkan di atas, kita bisa memilih jenis pekerjaan menulis apa yang kita inginkan. Tak hanya itu. Banyak usaha turunan berbasis menulis yang bisa diretas, antara lain: penerbitan, sekolah menulis, pembicara, pengajar, motivator, dan lain-lain. Yang harus diingat, yang menentukan keberhasilan adalah adanya kemauan dan ketekunan, bukan bakat.
Bicara penghasilan, M. B Ariyanto berpendapat, penghasilan yang akan didapat dari setiap jenis pekerjaan menulis tersebut, antara lain:
1. Royalti sebesar 10-15 persen dari penjualan buku yang diterbitkan oleh
penerbit;
2. Dari royalti buku yang diterbitkan sendiri;
3. Dari keuntungan penjualan buku yang diterbitkan sendiri;
4. Dari honor menulis di media cetak;
5. Dari honor menulis skenario;
6. Dari jasa penulisan biografi;
7. Atau bisa juga dari usaha lain seperti honor menjadi pembicara dalam
pelatihan dan seminar.
Yang jelas, jika menekuni profesi penulis, maka akan banyak sumber penghasilan yang bisa diperoleh dan itu membuktikan bahwa profesi penulis merupakan profesi yang cukup potensial untuk dilirik sebagai sebuah karir.
* Novelis, Wartawan Harian Rakyat Merdeka, Direktur Eksekutif Komunitas Penulis Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)