BERCINTA DENGAN TUHAN
Cassandra Wulandhary Ary
Aku tak tahan mendengar lantunan adzan yang menggema
Membuat nafsu ku berpacu bersama nafas syahwat ku
Aku tergoda untuk mengikuti ajakanNya yang bergelora
Air wudhu pun menyentuh kulitku dengan mesra
Membuat jantungku berdegup sekencang angin berputar
Mushaf suci itu pun menyatu bersama ragaku yang pasrah
Membuat darahku mengalir sampai ke ubun-ubun
Aku melayang....terawang...ah nikmatnya bukan main
Dan ketika ayat-ayat aLqur’an mengecup lembut bibirku
Aku pun mendesah tak tertahankan...aku benar-benar pasrah
Malam pun merelakan aku bercinta dengan Tuhan
Bintang dan bulan seakan cemburu ketika melihat permainan ini
Sehingga sampai di ujung kenikmatan yang luar biasa
Aku menjerit kecil memanggil nama-Nya dari dalam hati
ALLAHU AKBAR...
Aku merintih...
Nafasku tersengal-sengal...
Dadaku kembang kempis...
Keringatku mengalir deras...
Sekali lagi aku sebut nama-Nya dengan penuh cinta
ALLAHU AKBAR...
Ku pejamkan mata...
Tak terasa air matapun tertumpah...
Aku menangis....
Menangis karena indahnya BERCINTA dengan-Mu ya Rabbi....
Welcome N Join Us
Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda
Sabtu, 19 Maret 2011
Jumat, 18 Maret 2011
Prieboemie Seboeah Kebetoelan
Jati Mahatmaji
Pernah suatu siang temanku bilang kalau hidup adalah sebuah lelucon yang bisa saja membuat manusianya tertawa, atau bahkan tersenyum dalam kehancuran. Masa senang sering mengayunkan kita begitu menyenyakan, menidurkan mata serta menenggelamkan tubuh ini berenang ke dalam harapan-harapan. Kemudian masa sulit, akan secepatnya membangunkanmu, walau sesungguhnya kau masih terlalu kantuk, karena usaha mengejar harapan belum juga usai. Akh! Harapan...di masa sulit hanyalah sebuah omong kosong! Suara yang menjengkelkan apa yang manusia hingga Tuhan katakan atau perdengarkan melalui kitabnya, semuanya dihadirkan masa sulit dengan bertubi-tubi. Mengahantam tubuh mu mendorong masuk ke dalam liang lahat penuh derita, tanpa daya apalagi doa.
Semoga keyakinan dalam hatiku ini benar adanya.
Karena hatiku berkata: Semua Terjadi Kebetulan.
Rasanya sulit untuk menuliskan cerita ini, tetapi apa boleh buat, tokh sekarang aku akan menceritakannya kepada kalian. Mungkin seseorang yang pernah menceritakan hal ini padaku akan mengatakan bahwa diriku ini dungu, atau terlalu tolol untuk mewartakannya kepada yang lain, tetapi lihatkan, akhirnya aku akan menceritakannya, dan beginilah ceritanya.
Semoga Tuhan bersama kita semua.....
Semuanya bermula dari sebuah catatan kesehatan di Rumah Sakita Batavia, bahwa angka kematian di Oud Batavia, pada kisaran waktu 1733-1738, sekitar 50 persen penduduk Batavia tewas akibat malaria-tropica yang timbulkan oleh Plasmodium Falciparum. Sedangakan 50 persen lainnya terjangkit malaria-cachxie sebuah gejala bagi seseorang yang belum kebal dan mudah terinfeksi malaria kembali. Jumlah yang mampus karena malaria tidak tanggung-tanggung, sekitar 87.000-an!, dan jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai angka 1.119.375 pada akhir Agustus 1752. Hingga akhirnya pada permulaan tahun 1809, Daendels memindahkan pusat pemerintahan Batavia yang semula berada di Oud Batavia (sekarang kawasan sekitar Pasar Ikan) ke Weltevreden (sekarang Gambir) yang kemudian disebut Nieuw Batavia
Menjadi budak bagi Eropa bukanlah pilihan yang bijak, walau terkadang hanya itu satu-satunya pilihan melanjutkan hidup bagi seonggok daging yang disebut pribumi, di tanah pribumi. Tidak bagi Lamin. Gubernur Daendles yang kejam, telah memberikan secercah harapan di tanah yang baru, tanah yang menjadi tempatnya para pembesar Belanda meniduri istri palsunya, menikah lebih dari dua istri, dan tempat beberapa pembesar pribumi mengumpulkan gundik. Tempat itu, surga di pulau Jawa itu adalah Weltevreden! Kota Taman! sebelah selatan Oud Batavia yang KOTOR!
Weltevreden, Tanah Taman ini akhirnya menjadi awal dari nutfah bagi Lamin berkembang biak, beranak pinak, dan membesarkan keluarganya yang miskin. Waktu itu batas abad 18 sudah hampir habis.
1898 Belanda memberikan sebuah pengunguman yang lumayan menggiurkan, mereka membutuhkan beberapa centeng dan budak yang mau dipekerjakan diperkebunan di Sumatera dan sekitaran Borneo. Lamin memang tidak tahu caranya membaca latin, namun ia mengerti saat orang memperbincangkan Rawa Senajan sebagai tempat ujian untuk menjadi centeng bagi perkebunan milik Belanda.
”Namanya nasib siapa tahu.......nasib ini harus berubah, atau aku akan mati dimakan nasib....” dan berangkatlah Lamin menjauhi tempat leluhurnya, kampung aslinya, tanah tempat nenek moyangnya berkembang biak.!
Entah apa yang dipikirkan Tuhan saat mahlukNYA meminta pertolonganNYA. Apa yang hendak dikatakanNYA, dan apa yang hendak direncanakanNYA. Begitupun Lamin, saat tahu kalau dirinya terlalu pendek, dan jelek, untuk menjadi centeng.
”Hei...kami orang butuh orang seram...netjes...bukan kowe....kowe terlalu buduk...tapi kalo kowe mau jadi budak...itu bagus? Hei bagaiamana?” ahk...ucapan Meneer itu begitu tajam menusuk hatinya, namun apa hendak mau dikata? Gagal ya gagal....menjadi budak bukanlah keinginannya, dia tidak ingin mati sia-sia seperti beberapa saudaranya yang mati di Anyer atau sepanjang Jalan Raya Pos, dimakan kelaparan serta penyiksaan tanpa pernah istirahat.
Pernah dengar janji Tuhan tentang penghapusan budak semenjak Agama datang menuntun manusia keluar dari kegelapan dunia? Lalu kenapa mesti ada budak, sampai VOC digantikan Hindia-Belanda? Di tanah Batavia ini? Rencana Tuhan tidak masuk akal, atau mungkin suatu saat nanti akan terjawab? Entah? Memusingkan, Lamin punya pendirian, ia katakan langsung pada Meneer yang mengujinya,
”Tidak Meneer, maaf saya tidak mau jadi budak....”
”Baik...kowe bisa pergi, dan cari penghidupan yang benar...”
Hingga akhirnya semua manusia tahu, seringkali harapan hanya tinggal harapan tidak lebih dari omong kosong!, dan selamat tinggal Harapan! Selamat Datang Kenyataan!
Aih Weltevreden terlalu kejam bagi seorang Lamin. Dan selama lebih dari sepuluh tahun dirinya hanya bekerja sebagai buruh batu bata di Pasa Ikan. Sudah dan tidak ada salahnya menerima takdir, walaupun kejam, setidaknya ia tidak menjadi budak, Nieuw Batavia walau ramai dan indah, ia terlalu kejam untuk seorang Lamin, seorang manusia yang lahir dan besar di Batavia.
”Akh...pulang udik....”
Dalam perjalanan pulang menuju Oud Batavia sepanjang jalan raya Weltevreden, Lamin sesekali melihat beberapa Meneer yang santai dan ngantuk layaknya seorang pekerja keras, duduk manis di atas sado, juga di bangku goyang dengan perut buncit yang menutupi tubuh mereka. Lebih busuknya, buncit bukan karena makanan Halal, sebagian dari yang membuat buncit adalah Haram, itu darah manusia! Tidak semuanya memang. Apa yang terjadi dengan dunia? Inikah yang namanya Adil? Aih.....Lamin bisa apa?? Sejak kecil dan mungkin nanti sampai Mati...yang ia tahu hanya ikhlas...ikhlas dan serahkan semuanya kepada ALLAH.
Batavia ini, Nieuw Batavia ini begitu ramai, lihat pohon-pohon besar pelindung jalan raya, dan pemberi udara itu...berdiri mengagkang kokoh dan sulit di robohkan. Lihat juga pembesar-pembesar yang duduk santai di rumah mereka yang luas itu...menghisap tembakau..minum anggur...dan.....dan....hei lihat pria berkumis lebat dengan perut buncit itu.
Bibir juga tangannya dari kejauhan seperti memanggil Lamin untuk masuk ke daam pekarangannya...orangnya putih, badannya besar, juga lihat pakaiannya....semakin dekat Lamin memasuki halaman rumah, semakin terlihat oleh Lamin, kalau yang dipegang Meneer di tangan kirinya itu adalah Arloji Saku. Kumisnya baplang melintang, gagah, sepatunya juga mengkilat, jauh berbeda dengan Lamin yang mirip kutu buduk! Tidak bersepatu juga tidak pernah sekalipun menggosok giginya. Kelas manusia yang berbeda!
Dan manusia yang berbeda itupun bertemu muka, di jenjang tangga yang hanya ada dua anak tangga. Dengan sedikit angkuh, dan suara berat, pria itu berkata
”Hei..kowe duduk sini hah...” dan Lamin pun duduk di bawah seperti anjing kebanyakan. Dari penglihatan sederhana seorang Lamin ia mengira bahwa Meener ini usianya tidak jauh dari sekitar 35-40 tahun-an.
”Iya meneer..” jawabnya sambil sesekali menggaruk koreng disekitaran mata kakinya.
”Kowe dari mana?.....Kowe kelihatan kotor begitu...gatal tubuhmu?” Lamin menggaguk, menghentikan garukannya. Meneer itu pun duduk mengamti setiap lekuk tubuh pribumi yang memelas, gagal ikut tes jadi centeng. Mengambil sebatang rokok, dan kemudian menghisapnya, mengepulkannya ke udara, dan kemudian menyilangkan kakinya.
”Rawa Senajan Meneer...ikut ujian buat jadi centeng di Toba.....Meneer...”
”Hah? Centeng? Kowe punya tampang tidak pantas jadi centeng....dari mana asal kowe?”
”Pasar Ikan Meneer...”
”Pantas....” balas Meneer sambil menelanjangi tubuh Lamin dengan bola matanya yang biru itu...dan Lamin bukan main malunya. Harga dirinya terbang, dan menghilang!..”Kowe mau kerja dengan ik?”
”Kerja?......Jadi apa Meneer?”
”Kacung....nanti kowe dapat upah cukup, …kowe bisa tinggal di belakang rumah...kowe juga dapat makan, beras....beras dari Bangil...bagiamana? kowe mau? Kowe juga tidak kerja penuh...kowe bisa istirahat kalau semua kerja rumah selesai, kowe bisa jalan-jalan kalau semua yang ik dan istri ik mau sudah beres.......bagaimana?” tanyanya sambil duduk, menyilangkan kaki kanannya, memilin kumis yang tidak mau jatuh itu, dan kemudian merokok tembakau kembali.
Namanya rejeki tidak jauh kemana, dan Lamin tahu itu dari emaknya yang sudah mati. Dengan kepala menunduk seperti menghadap seorang raja, Lamin pun menjawab dalam kepastian.
”Ya...saya mau jadi kacung” kenyataan itu datang tanpa pernah mengetuk.
”Goed...” dan artinya bagus....” oh ya... ini saya punya bini, Ema, kowe boleh panggil dia Mevrouw Ema” dan wanita itu tersenyum, meminum secangkir air putih, dan kemudian memalingkan kepalanya, melihat suaminya lagi
”Dan nama saya sendiri Baron van Huys...kowe bisa panggil saya Tuan Baron.... tidak usah pakai Meneer....” semakin lama didengar semakin jelas suaranya yang besar dan menggelegar. Wajah kompeni yang berdiri mengangkang di depan muka pribumi.
”Baik Tuan Baron...” langit Batavia seakan berjalan beriring berbaris berdansa mengiringi kebahagian seorang pribumi yang ingin kerja, ingin cari makan.
Pekerjaan menjadi kacung bukanlah hal yang hina...menjadi budak tanpa upah, memeras tenaga membangun Jalan Raya Pos tanpa upah..itu baru Hina! Dan lamin jauh dari pekerjaan yang menurutnya akan meruntuhkan harga diri manusia.... Tokh bekerja dengan seorang Belanda, setidaknya menjaga dirinya dari pemerasan, dan ketakutan akan hantaman tinju Mersose, juga tuan tanah yang sering memakan daging saudaranya sendiri.
Tutup minggu pertama di bulan Agustus 1898, saat-saat menjelang Saat Ratu naik Tahta, dan banyak pembesar Pribumi yang diundang menikmati Eropa.....saat itu juga, Lamin menetap dan menikmati hidup menjadi kacung di Weltevreden...menjadi Kacung bagi keluarga Baron van Buys. Kenaikan Ratu juga kenaikan hidup Lamin, walau secuil.
”Hei hidup kau akan ku jelang! Ini aku Lamin, kacung Baron van Huys, mari-mari akan aku jelang hidup ini!” begini hidup pribumi di tanah pribumi, nenek moyang pribumi kebanyakan.
Pernah suatu siang temanku bilang kalau hidup adalah sebuah lelucon yang bisa saja membuat manusianya tertawa, atau bahkan tersenyum dalam kehancuran. Masa senang sering mengayunkan kita begitu menyenyakan, menidurkan mata serta menenggelamkan tubuh ini berenang ke dalam harapan-harapan. Kemudian masa sulit, akan secepatnya membangunkanmu, walau sesungguhnya kau masih terlalu kantuk, karena usaha mengejar harapan belum juga usai. Akh! Harapan...di masa sulit hanyalah sebuah omong kosong! Suara yang menjengkelkan apa yang manusia hingga Tuhan katakan atau perdengarkan melalui kitabnya, semuanya dihadirkan masa sulit dengan bertubi-tubi. Mengahantam tubuh mu mendorong masuk ke dalam liang lahat penuh derita, tanpa daya apalagi doa.
Semoga keyakinan dalam hatiku ini benar adanya.
Karena hatiku berkata: Semua Terjadi Kebetulan.
Rasanya sulit untuk menuliskan cerita ini, tetapi apa boleh buat, tokh sekarang aku akan menceritakannya kepada kalian. Mungkin seseorang yang pernah menceritakan hal ini padaku akan mengatakan bahwa diriku ini dungu, atau terlalu tolol untuk mewartakannya kepada yang lain, tetapi lihatkan, akhirnya aku akan menceritakannya, dan beginilah ceritanya.
Semoga Tuhan bersama kita semua.....
Semuanya bermula dari sebuah catatan kesehatan di Rumah Sakita Batavia, bahwa angka kematian di Oud Batavia, pada kisaran waktu 1733-1738, sekitar 50 persen penduduk Batavia tewas akibat malaria-tropica yang timbulkan oleh Plasmodium Falciparum. Sedangakan 50 persen lainnya terjangkit malaria-cachxie sebuah gejala bagi seseorang yang belum kebal dan mudah terinfeksi malaria kembali. Jumlah yang mampus karena malaria tidak tanggung-tanggung, sekitar 87.000-an!, dan jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai angka 1.119.375 pada akhir Agustus 1752. Hingga akhirnya pada permulaan tahun 1809, Daendels memindahkan pusat pemerintahan Batavia yang semula berada di Oud Batavia (sekarang kawasan sekitar Pasar Ikan) ke Weltevreden (sekarang Gambir) yang kemudian disebut Nieuw Batavia
Menjadi budak bagi Eropa bukanlah pilihan yang bijak, walau terkadang hanya itu satu-satunya pilihan melanjutkan hidup bagi seonggok daging yang disebut pribumi, di tanah pribumi. Tidak bagi Lamin. Gubernur Daendles yang kejam, telah memberikan secercah harapan di tanah yang baru, tanah yang menjadi tempatnya para pembesar Belanda meniduri istri palsunya, menikah lebih dari dua istri, dan tempat beberapa pembesar pribumi mengumpulkan gundik. Tempat itu, surga di pulau Jawa itu adalah Weltevreden! Kota Taman! sebelah selatan Oud Batavia yang KOTOR!
Weltevreden, Tanah Taman ini akhirnya menjadi awal dari nutfah bagi Lamin berkembang biak, beranak pinak, dan membesarkan keluarganya yang miskin. Waktu itu batas abad 18 sudah hampir habis.
1898 Belanda memberikan sebuah pengunguman yang lumayan menggiurkan, mereka membutuhkan beberapa centeng dan budak yang mau dipekerjakan diperkebunan di Sumatera dan sekitaran Borneo. Lamin memang tidak tahu caranya membaca latin, namun ia mengerti saat orang memperbincangkan Rawa Senajan sebagai tempat ujian untuk menjadi centeng bagi perkebunan milik Belanda.
”Namanya nasib siapa tahu.......nasib ini harus berubah, atau aku akan mati dimakan nasib....” dan berangkatlah Lamin menjauhi tempat leluhurnya, kampung aslinya, tanah tempat nenek moyangnya berkembang biak.!
Entah apa yang dipikirkan Tuhan saat mahlukNYA meminta pertolonganNYA. Apa yang hendak dikatakanNYA, dan apa yang hendak direncanakanNYA. Begitupun Lamin, saat tahu kalau dirinya terlalu pendek, dan jelek, untuk menjadi centeng.
”Hei...kami orang butuh orang seram...netjes...bukan kowe....kowe terlalu buduk...tapi kalo kowe mau jadi budak...itu bagus? Hei bagaiamana?” ahk...ucapan Meneer itu begitu tajam menusuk hatinya, namun apa hendak mau dikata? Gagal ya gagal....menjadi budak bukanlah keinginannya, dia tidak ingin mati sia-sia seperti beberapa saudaranya yang mati di Anyer atau sepanjang Jalan Raya Pos, dimakan kelaparan serta penyiksaan tanpa pernah istirahat.
Pernah dengar janji Tuhan tentang penghapusan budak semenjak Agama datang menuntun manusia keluar dari kegelapan dunia? Lalu kenapa mesti ada budak, sampai VOC digantikan Hindia-Belanda? Di tanah Batavia ini? Rencana Tuhan tidak masuk akal, atau mungkin suatu saat nanti akan terjawab? Entah? Memusingkan, Lamin punya pendirian, ia katakan langsung pada Meneer yang mengujinya,
”Tidak Meneer, maaf saya tidak mau jadi budak....”
”Baik...kowe bisa pergi, dan cari penghidupan yang benar...”
Hingga akhirnya semua manusia tahu, seringkali harapan hanya tinggal harapan tidak lebih dari omong kosong!, dan selamat tinggal Harapan! Selamat Datang Kenyataan!
Aih Weltevreden terlalu kejam bagi seorang Lamin. Dan selama lebih dari sepuluh tahun dirinya hanya bekerja sebagai buruh batu bata di Pasa Ikan. Sudah dan tidak ada salahnya menerima takdir, walaupun kejam, setidaknya ia tidak menjadi budak, Nieuw Batavia walau ramai dan indah, ia terlalu kejam untuk seorang Lamin, seorang manusia yang lahir dan besar di Batavia.
”Akh...pulang udik....”
Dalam perjalanan pulang menuju Oud Batavia sepanjang jalan raya Weltevreden, Lamin sesekali melihat beberapa Meneer yang santai dan ngantuk layaknya seorang pekerja keras, duduk manis di atas sado, juga di bangku goyang dengan perut buncit yang menutupi tubuh mereka. Lebih busuknya, buncit bukan karena makanan Halal, sebagian dari yang membuat buncit adalah Haram, itu darah manusia! Tidak semuanya memang. Apa yang terjadi dengan dunia? Inikah yang namanya Adil? Aih.....Lamin bisa apa?? Sejak kecil dan mungkin nanti sampai Mati...yang ia tahu hanya ikhlas...ikhlas dan serahkan semuanya kepada ALLAH.
Batavia ini, Nieuw Batavia ini begitu ramai, lihat pohon-pohon besar pelindung jalan raya, dan pemberi udara itu...berdiri mengagkang kokoh dan sulit di robohkan. Lihat juga pembesar-pembesar yang duduk santai di rumah mereka yang luas itu...menghisap tembakau..minum anggur...dan.....dan....hei lihat pria berkumis lebat dengan perut buncit itu.
Bibir juga tangannya dari kejauhan seperti memanggil Lamin untuk masuk ke daam pekarangannya...orangnya putih, badannya besar, juga lihat pakaiannya....semakin dekat Lamin memasuki halaman rumah, semakin terlihat oleh Lamin, kalau yang dipegang Meneer di tangan kirinya itu adalah Arloji Saku. Kumisnya baplang melintang, gagah, sepatunya juga mengkilat, jauh berbeda dengan Lamin yang mirip kutu buduk! Tidak bersepatu juga tidak pernah sekalipun menggosok giginya. Kelas manusia yang berbeda!
Dan manusia yang berbeda itupun bertemu muka, di jenjang tangga yang hanya ada dua anak tangga. Dengan sedikit angkuh, dan suara berat, pria itu berkata
”Hei..kowe duduk sini hah...” dan Lamin pun duduk di bawah seperti anjing kebanyakan. Dari penglihatan sederhana seorang Lamin ia mengira bahwa Meener ini usianya tidak jauh dari sekitar 35-40 tahun-an.
”Iya meneer..” jawabnya sambil sesekali menggaruk koreng disekitaran mata kakinya.
”Kowe dari mana?.....Kowe kelihatan kotor begitu...gatal tubuhmu?” Lamin menggaguk, menghentikan garukannya. Meneer itu pun duduk mengamti setiap lekuk tubuh pribumi yang memelas, gagal ikut tes jadi centeng. Mengambil sebatang rokok, dan kemudian menghisapnya, mengepulkannya ke udara, dan kemudian menyilangkan kakinya.
”Rawa Senajan Meneer...ikut ujian buat jadi centeng di Toba.....Meneer...”
”Hah? Centeng? Kowe punya tampang tidak pantas jadi centeng....dari mana asal kowe?”
”Pasar Ikan Meneer...”
”Pantas....” balas Meneer sambil menelanjangi tubuh Lamin dengan bola matanya yang biru itu...dan Lamin bukan main malunya. Harga dirinya terbang, dan menghilang!..”Kowe mau kerja dengan ik?”
”Kerja?......Jadi apa Meneer?”
”Kacung....nanti kowe dapat upah cukup, …kowe bisa tinggal di belakang rumah...kowe juga dapat makan, beras....beras dari Bangil...bagiamana? kowe mau? Kowe juga tidak kerja penuh...kowe bisa istirahat kalau semua kerja rumah selesai, kowe bisa jalan-jalan kalau semua yang ik dan istri ik mau sudah beres.......bagaimana?” tanyanya sambil duduk, menyilangkan kaki kanannya, memilin kumis yang tidak mau jatuh itu, dan kemudian merokok tembakau kembali.
Namanya rejeki tidak jauh kemana, dan Lamin tahu itu dari emaknya yang sudah mati. Dengan kepala menunduk seperti menghadap seorang raja, Lamin pun menjawab dalam kepastian.
”Ya...saya mau jadi kacung” kenyataan itu datang tanpa pernah mengetuk.
”Goed...” dan artinya bagus....” oh ya... ini saya punya bini, Ema, kowe boleh panggil dia Mevrouw Ema” dan wanita itu tersenyum, meminum secangkir air putih, dan kemudian memalingkan kepalanya, melihat suaminya lagi
”Dan nama saya sendiri Baron van Huys...kowe bisa panggil saya Tuan Baron.... tidak usah pakai Meneer....” semakin lama didengar semakin jelas suaranya yang besar dan menggelegar. Wajah kompeni yang berdiri mengangkang di depan muka pribumi.
”Baik Tuan Baron...” langit Batavia seakan berjalan beriring berbaris berdansa mengiringi kebahagian seorang pribumi yang ingin kerja, ingin cari makan.
Pekerjaan menjadi kacung bukanlah hal yang hina...menjadi budak tanpa upah, memeras tenaga membangun Jalan Raya Pos tanpa upah..itu baru Hina! Dan lamin jauh dari pekerjaan yang menurutnya akan meruntuhkan harga diri manusia.... Tokh bekerja dengan seorang Belanda, setidaknya menjaga dirinya dari pemerasan, dan ketakutan akan hantaman tinju Mersose, juga tuan tanah yang sering memakan daging saudaranya sendiri.
Tutup minggu pertama di bulan Agustus 1898, saat-saat menjelang Saat Ratu naik Tahta, dan banyak pembesar Pribumi yang diundang menikmati Eropa.....saat itu juga, Lamin menetap dan menikmati hidup menjadi kacung di Weltevreden...menjadi Kacung bagi keluarga Baron van Buys. Kenaikan Ratu juga kenaikan hidup Lamin, walau secuil.
”Hei hidup kau akan ku jelang! Ini aku Lamin, kacung Baron van Huys, mari-mari akan aku jelang hidup ini!” begini hidup pribumi di tanah pribumi, nenek moyang pribumi kebanyakan.
Langganan:
Postingan (Atom)