Karya: OP
Untuk flora bidadari berselendang ungu
di sebuah sore duduk pinggir redup mentari
terbata-bata anak bajang mengeliat memuntahkan kata-kata manis
dari udara terkirim lembaran-lembaran bertuliskan huruf palawa yang enggan ia baca
menangis merindukan bidadri berselendang ungu kembali berpijak di bumi nan limpah loh jenawi
maraung-raung sehingga petir menyambar sekeras gunung memuntahkan lahar panas
teratap dosa dan luka selalu tarpanjat dari iblis di dalam neraka
memikul segunung-gunung tanggung jawab akan keindahan bumi
asa menangis tanpa air mata
jiwa terobek-robek tanpa bekas
teriris kulit ari bagai tersiram setetes cuka
meski aku di jadikan pilihan terakhir bagi mu dunia aku mau
bidadari hanya menatap tanpa raut wajah terlihat
namun aku sadar bahwa ia enggan menginjak kembali ke bumi ini
ia gundah hingga kacau meradang
teriring kata, selamat jalan. dirimu selalu ada dan tetap membekas di hati ku meski kau telah enggan datang lagi kembali
Banten,30 Agustus 07
Welcome N Join Us
Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda
Kamis, 23 April 2009
ENTAH CINTA MANA YANG KAN AKU PEGANG
Karya: OP
letih rasa menarjang fikiran penuh doa bersambut malam nan bising
kata-kata penuh gusar dalam kepalsuan
manusia itu indah penuh bungga-bunga namun penuh duri-duri tajam
mencari tau akan sebuah jalinan
terjebak dalam riam-riam guratan tanya
mau apa dan harus bagai mana
entah sampai kapan terus tergantung dalam harapan-harapan
atau meski kau ku gantung
aku takkan rela meski aku yang menjadi diri mu
detik-detik berlalu tetap terjebak untuk memilih
dunia ini hanya punya dua kata tidak tiga
hanya kata ya dan tidak
hanya aku yang masih terjebak dalam kata yang tidak ya dan tidak
aku harus meyudahi ini semua atau aku akan terus terjebak dan tarjebak dalam lingkaran Ya dan Tidak
dan apa yang akan aku jawab adalah titah dari TUHAN
letih rasa menarjang fikiran penuh doa bersambut malam nan bising
kata-kata penuh gusar dalam kepalsuan
manusia itu indah penuh bungga-bunga namun penuh duri-duri tajam
mencari tau akan sebuah jalinan
terjebak dalam riam-riam guratan tanya
mau apa dan harus bagai mana
entah sampai kapan terus tergantung dalam harapan-harapan
atau meski kau ku gantung
aku takkan rela meski aku yang menjadi diri mu
detik-detik berlalu tetap terjebak untuk memilih
dunia ini hanya punya dua kata tidak tiga
hanya kata ya dan tidak
hanya aku yang masih terjebak dalam kata yang tidak ya dan tidak
aku harus meyudahi ini semua atau aku akan terus terjebak dan tarjebak dalam lingkaran Ya dan Tidak
dan apa yang akan aku jawab adalah titah dari TUHAN
SASTRA, I LOVE YOU!
Created by, Ressa Novita (Ocha)
“Sastra???” seruku pelan, setelah menemukan nama pengirim di balik bungkusan persegi panjang berbalut kertas kopi. Bungkusan sedikit lecek itu baru saja kutemukan di dalam kotak pos di depan rumahku.
Nama itu bukan nama yang asing bagiku, bahkan itu adalah sebuah nama yang akan selalu mengisi salah satu bilik jantung dan sudut hatiku.
Sastra…
Kurobek kertas kopi pembungkus pada bagian tepinya. Jika ini hari yang sama dengan hari di 5 tahun yang lalu, pasti di balik pembungkus ini ada sesuatu yang sama. Sesuatu yang pernah menjadi awal perubahan jalan hidupku menjadi Wanda yang hari ini berdiri dengan penuh rasa.
“I’m Sorry, My Love!” ucapku spontan membaca judul di cover buku setebal satu setengah sentimeter berwarna biru laut itu. “Enak aja!” caciku kecil.
Kubuka halaman pertama dari buku itu, dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang menarik dari buku berdesain cover amat sederhana itu. Kutemukan selembar kertas berisi sebuah pesan.
For : Wanda
Mungkin sudah terlambat aku mengucapkan kata maaf. Tapi hatiku tak pernah berhenti menyesali. Selama 2 tahun aku menanti maaf darimu. Entah apa lagi yang harus kulakukan untuk bisa mendapatkan kata ajaib itu. Pagi ini, jam ini, menit dan detik ini aku kirimkan sebuah buku sebagai tanda cintaku yang masih sama dengan yang dulu. Wanda, aku tidak pernah berhenti mencintaimu selamanya! Aku harap dengan datangnya buku ini kamu mau menerima hatiku untuk kedua kalinya!
With Love
Sastra
Sastra, nama itu kembali melekat rekat memenuhi benakku. Membawaku kembali ke masa lalu, ke masa saat aku hanyalah Wanda yang tak mengenal Sastra.
Saat itu aku duduk di SMU kelas 2. Teman-teman sekelasku bilang aku bintang kelas yang paling malas. Maksud mereka malas membaca. Dan aku akui kebenaran sempurna dari julukan yang mereka berikan padaku. Di sekolah selalu dengan mudah aku meraih gelar juara kelas, tapi itu semua kudapatkan bukan karena aku rajin belajar, melainkan daya tangkap otakku yang lumayan cemerlang. Cukup hadir di kelas dan mendengarkan penjelasan guru, aku akan mengingat setiap kalimat yang kudengar tanpa bantuan buku atau apapun.
Ketika semua remaja gemar membaca apapun yang berhubungan dengan dunia remaja, aku akan memainkan kaki-kakiku untuk berlari. Yah, aku suka berlari. Aku adalah salah satu atlit lari berprestasi di tingkat SMU. Selain lari, aku juga gemar olahraga jenis yang lainnya. Sebutkan salah satu, dan aku akan memainkannya dengan cukup mahir. Tapi jangan sodorkan buku padaku, karena judul dan pengarangnya saja tidak akan aku baca dengan serius.
Pikirku, peduli amat dengan buku dan apapun yang berisi tulisan-tulisan mesin cetak. Mataku lebih berguna jika digunakan untuk menatap lurus ke depan saat berlari.
Pemikiran itu segera berubah, tak perlu menunggu lama. Dimulai dari suatu pagi dengan kiriman buku dari seorang pria bernama Sastra. Buku kumpulan syair Kahlil Gibran. Luar biasa bahagianya aku ketika mendapatkan kiriman buku itu. Tentu saja rasa bahagia itu bukan karena aku menyukai buku itu, tapi karena buku itu kiriman dari seorang pria yang pernah aku kagumi di masa SMP dulu. Sastra adalah seniorku di SMP, ia tinggal tidak jauh dari kompleks dekat rumahku. Meskipun demikian tidak pernah berhasil aku mendekatkan diri dengannya. Dibilang kurang agresif, ya cukuplah untuk ukuran seorang cewek SMP yang masih lugu. Mungkin kesempatan untuk bersama belum diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Setelah aku lulus SMP sudah tidak lagi aku berpikir untuk mendekatinya. Aku sudah terlanjur yakin kalau kita memang tidak berjodoh. Aku hanya bisa sesekali menanti kemunculannya setiap berjalan pulang ke rumah. Untuk sekedar menghapus kerinduanku padanya.
Lalu akupun tergelitik untuk membaca buku itu sampai selesai. Ajaib, tiap bait kata indah yang diciptakan Kahlil Gibran begitu mendalam dan dapat menggambarkan apa yang ia pikirkan. Dan ternyata buku itu bukan yang pertama dan yang terakhir yang pernah kubaca. Malah buku itu adalah awal dari puluhan bahkan ratusan buku lainnya yang akan aku baca.
Dunia sedikit kacau menyaksikan perubahanku. Aku ketagihan membaca apapun terutama yang berhubungan dengan sastra. Dan aku mulai melupakan olahraga yang biasanya menjadi image ku. Tapi aku senang karena aku mengarungi dunia Sastra bersama Sastra yang aku cintai.
“Hei, buku apa itu?!”
Yang bertanya itu temanku, Yana. Semalam ia menginap di rumahku dengan alasan ingin membongkar dan merampas semua buku-buku menarik yang kumiliki. Saat ini kami sama-sama sedang menyelesaikan kuliah di salah satu fakultas sastra di kota ini. Jadi buku-buku itu menjadi begitu berharga bagi kami. Termasuk buku yang baru saja kudapatkan pagi ini.
“Ehm, bahan pembelajaran baru! Baru kutemukan di kotak pos. Lumayan, dari ringkasan ceritanya sepertinya isinya menarik”
“Kiriman siapa?!”
“Sastra”
“Wah!!!” serunya riang saat pertanyaannya terjawab seperti yang ia harapkan.
Yana sahabatku sejak kecil, ia tinggal tepat di sebelah rumahku. Ia tau bagaimana hubunganku dengan Sastra, berapa lama kami bertahan, dan kenapa kami berpisah. Ia salah satu saksi hidup perubahanku. Dia sama seperti remaja-remaja pada umumnya, gemar membaca buku-buku sastra terutama yang berhubungan dengan cerita cinta. Bahkan dia mendalami dunia itu. Betapa senangnya Yana ketika ia melihatku membaca buku kumpulan syair pemberian Sastra itu.
“Apanya yang WAH?!” keluhku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat wajah puas Yana.
“Wah!!! Ada sinyal untuk bersama lagi, nich
“Sastra???” seruku pelan, setelah menemukan nama pengirim di balik bungkusan persegi panjang berbalut kertas kopi. Bungkusan sedikit lecek itu baru saja kutemukan di dalam kotak pos di depan rumahku.
Nama itu bukan nama yang asing bagiku, bahkan itu adalah sebuah nama yang akan selalu mengisi salah satu bilik jantung dan sudut hatiku.
Sastra…
Kurobek kertas kopi pembungkus pada bagian tepinya. Jika ini hari yang sama dengan hari di 5 tahun yang lalu, pasti di balik pembungkus ini ada sesuatu yang sama. Sesuatu yang pernah menjadi awal perubahan jalan hidupku menjadi Wanda yang hari ini berdiri dengan penuh rasa.
“I’m Sorry, My Love!” ucapku spontan membaca judul di cover buku setebal satu setengah sentimeter berwarna biru laut itu. “Enak aja!” caciku kecil.
Kubuka halaman pertama dari buku itu, dengan harapan akan mendapatkan sesuatu yang menarik dari buku berdesain cover amat sederhana itu. Kutemukan selembar kertas berisi sebuah pesan.
For : Wanda
Mungkin sudah terlambat aku mengucapkan kata maaf. Tapi hatiku tak pernah berhenti menyesali. Selama 2 tahun aku menanti maaf darimu. Entah apa lagi yang harus kulakukan untuk bisa mendapatkan kata ajaib itu. Pagi ini, jam ini, menit dan detik ini aku kirimkan sebuah buku sebagai tanda cintaku yang masih sama dengan yang dulu. Wanda, aku tidak pernah berhenti mencintaimu selamanya! Aku harap dengan datangnya buku ini kamu mau menerima hatiku untuk kedua kalinya!
With Love
Sastra
Sastra, nama itu kembali melekat rekat memenuhi benakku. Membawaku kembali ke masa lalu, ke masa saat aku hanyalah Wanda yang tak mengenal Sastra.
Saat itu aku duduk di SMU kelas 2. Teman-teman sekelasku bilang aku bintang kelas yang paling malas. Maksud mereka malas membaca. Dan aku akui kebenaran sempurna dari julukan yang mereka berikan padaku. Di sekolah selalu dengan mudah aku meraih gelar juara kelas, tapi itu semua kudapatkan bukan karena aku rajin belajar, melainkan daya tangkap otakku yang lumayan cemerlang. Cukup hadir di kelas dan mendengarkan penjelasan guru, aku akan mengingat setiap kalimat yang kudengar tanpa bantuan buku atau apapun.
Ketika semua remaja gemar membaca apapun yang berhubungan dengan dunia remaja, aku akan memainkan kaki-kakiku untuk berlari. Yah, aku suka berlari. Aku adalah salah satu atlit lari berprestasi di tingkat SMU. Selain lari, aku juga gemar olahraga jenis yang lainnya. Sebutkan salah satu, dan aku akan memainkannya dengan cukup mahir. Tapi jangan sodorkan buku padaku, karena judul dan pengarangnya saja tidak akan aku baca dengan serius.
Pikirku, peduli amat dengan buku dan apapun yang berisi tulisan-tulisan mesin cetak. Mataku lebih berguna jika digunakan untuk menatap lurus ke depan saat berlari.
Pemikiran itu segera berubah, tak perlu menunggu lama. Dimulai dari suatu pagi dengan kiriman buku dari seorang pria bernama Sastra. Buku kumpulan syair Kahlil Gibran. Luar biasa bahagianya aku ketika mendapatkan kiriman buku itu. Tentu saja rasa bahagia itu bukan karena aku menyukai buku itu, tapi karena buku itu kiriman dari seorang pria yang pernah aku kagumi di masa SMP dulu. Sastra adalah seniorku di SMP, ia tinggal tidak jauh dari kompleks dekat rumahku. Meskipun demikian tidak pernah berhasil aku mendekatkan diri dengannya. Dibilang kurang agresif, ya cukuplah untuk ukuran seorang cewek SMP yang masih lugu. Mungkin kesempatan untuk bersama belum diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Setelah aku lulus SMP sudah tidak lagi aku berpikir untuk mendekatinya. Aku sudah terlanjur yakin kalau kita memang tidak berjodoh. Aku hanya bisa sesekali menanti kemunculannya setiap berjalan pulang ke rumah. Untuk sekedar menghapus kerinduanku padanya.
Lalu akupun tergelitik untuk membaca buku itu sampai selesai. Ajaib, tiap bait kata indah yang diciptakan Kahlil Gibran begitu mendalam dan dapat menggambarkan apa yang ia pikirkan. Dan ternyata buku itu bukan yang pertama dan yang terakhir yang pernah kubaca. Malah buku itu adalah awal dari puluhan bahkan ratusan buku lainnya yang akan aku baca.
Dunia sedikit kacau menyaksikan perubahanku. Aku ketagihan membaca apapun terutama yang berhubungan dengan sastra. Dan aku mulai melupakan olahraga yang biasanya menjadi image ku. Tapi aku senang karena aku mengarungi dunia Sastra bersama Sastra yang aku cintai.
“Hei, buku apa itu?!”
Yang bertanya itu temanku, Yana. Semalam ia menginap di rumahku dengan alasan ingin membongkar dan merampas semua buku-buku menarik yang kumiliki. Saat ini kami sama-sama sedang menyelesaikan kuliah di salah satu fakultas sastra di kota ini. Jadi buku-buku itu menjadi begitu berharga bagi kami. Termasuk buku yang baru saja kudapatkan pagi ini.
“Ehm, bahan pembelajaran baru! Baru kutemukan di kotak pos. Lumayan, dari ringkasan ceritanya sepertinya isinya menarik”
“Kiriman siapa?!”
“Sastra”
“Wah!!!” serunya riang saat pertanyaannya terjawab seperti yang ia harapkan.
Yana sahabatku sejak kecil, ia tinggal tepat di sebelah rumahku. Ia tau bagaimana hubunganku dengan Sastra, berapa lama kami bertahan, dan kenapa kami berpisah. Ia salah satu saksi hidup perubahanku. Dia sama seperti remaja-remaja pada umumnya, gemar membaca buku-buku sastra terutama yang berhubungan dengan cerita cinta. Bahkan dia mendalami dunia itu. Betapa senangnya Yana ketika ia melihatku membaca buku kumpulan syair pemberian Sastra itu.
“Apanya yang WAH?!” keluhku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat wajah puas Yana.
“Wah!!! Ada sinyal untuk bersama lagi, nich
Kamis, 16 April 2009
Siap-siap
Buat seluruh simpatisan dan para penggiat sastra... siapa-siap, Komunitas Penulis Jakarta akan melakukan pembaruan.... doakan semoga Komunitas Penulis Jakarta bisa memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi pengembangan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di Indonesia
Ohya, Komunitas Penulis Jakarta hadir di facebook, mampir ya
Ohya, Komunitas Penulis Jakarta hadir di facebook, mampir ya
Langganan:
Postingan (Atom)