Tak Kan Kulakukan Segalanya Untuk Cinta !
Oleh : Ressa Novita (Ocha)
“Rose, aku cuma mau kasih tau kamu kalau Pak Ricky baru aja jadian sama….”
Suara dari speaker telepon genggamku tak lagi terdengar. Sesaat. Hening.
“Merliana. Ehm… Maaf, Rose! Tapi semenjak kamu lulus Merliana tak henti-hentinya mendekati Pak Ricky. Aku ga tau jelas apa penyebab hubungan mereka bisa sampai sejauh ini. Mungkin Pak Ricky…. Halo?! Rose?! Kamu masih disana kan?! Halo?! Rose?!”
Braakkk!!! Sekuat tenaga kulemparkan telepon genggamku ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Kenapa?! Entahlah! Kabar yang baru saja kudengar membuat darah di seluruh tubuhku serasa mendidih dan memenuhi kepalaku. Panas. Sangat panas. Selanjutnya aku tidak dapat mengendalikan diriku lagi. Ricky. Merliana. Hanya 2 nama itu yang terus bergantian menggema di rongga kepalaku.
Tanpa sadar aku berlari, berlari dengan cepat, dan terus berlari. Berlari ke Gedung SMU lamaku yang letaknya lumayan jauh dari kampusku. Aku tak peduli apapun. Aku hanya ingin bertemu Ricky. Saat ini juga. Dan memperingatkannya untuk menjauhi Merliana. Karena gadis itu yang dengan cara liciknya telah memisahkan aku dan Ricky.
* * *
Aku mengenal Ricky 5 tahun yang lalu, saat ia memaksaku membantunya membersihkan Laboratorium Biologi. Ya. Dia adalah guru yang mengajar pelajaran Biologi di SMU ku. Meskipun guru usianya hanya 4 tahun lebih tua dariku dan masih sendiri. Awalnya aku tidak menyukainya, sama seperti murid-muridnya yang lain. Murid-murid men-capnya sebagai guru paling tampan saat pertama kali bertemu, tapi setelah itu tidak ada satupun pujian baik untuknya. Dingin, galak, kejam, dan tidak mau berkomunikasi dengan siapapun di sekolah itu, termasuk rekan seprofesinya. Tapi ternyata sikapnya tidak seperti itu padaku, malah sebaliknya.
Hari berganti hari keakraban pun tumbuh diantara kami. Hanya sebatas akrab. Berawal dari keakrabannya denganku, aku berusaha merubah image nya di depan semua orang dan berhasil. Haha, ternyata dia hanya grogi karena belum terbiasa menghadapi orang banyak yang tidak dikenalnya.
Ditahun kedua keakraban kami, dia bukan lagi guru yang dibenci. Malah begitu banyak gadis yang mengelilinginya, Murid perempuan maupun guru perempuan yang masih lajang. Hubungan kami pun tak lagi sekedar keakraban antara guru dan murid tapi sepasang kekasih. Meskipun kami tidak saling mengungkapkan perasaan kami, tapi kami tahu perasaan kami masing-masing.
Hubungan ini kami jaga rapat-rapat, jangan sampai pihak sekolah mengetahui. Karena statusnya sebagai guru dan statusku sebagai murid dengan prestasi cukup memuaskan. Jika ketahuan terlibat hubungan percintaan, resikonya berat. Dia bisa dipecat sebagai guru, dan bukan tidak mungkin aku pun dikeluarkan.
Ditahun terakhirku sebagai murid SMU, muncul seorang murid baru yang sepertinya mencium rahasia kami. Dialah Merliana, gadis dengan sorot mata yang tajam dipadukan dengan senyuman yang manis. Dia begitu lihai memainkan lidahnya. Sangat menarik. Sampai-sampai ia bisa berada diantara aku dan Ricky tanpa membuat kami curiga. Dalam pikiranku ia hanya seorang gadis yang butuh teman, mungkin Ricky juga berpikir seperti itu.
Tapi ternyata perkiraanku salah. Saat waktuku bersama Ricky menipis karena kesibukanku menjelang ujian akhir. Ricky lebih sering menghabiskan waktunya bersama Merliana. Dan entah apa yang mereka obrolkan setiap saat, berdua. Tapi yang aku tahu perlahan hubunganku dan Ricky merenggang tanpa alasan yang jelas. Dia seringkali melemparkan tatapan benci padaku, bahkan tidak lagi membiarkanku masuk keruangannya. Sampai masa sekolahku ditempat itu berakhir, ia tidak sekalipun menghiraukanku.
Beberapa waktu kemudian aku bertemu Arindi. Gadis hitam manis berambut ikal itu, meminta maaf padaku. Ternyata dia adalah sahabat Merliana yang juga satu kelas dengan Merliana. Arindi tidak suka dengan perbuatan Merliana tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menceritakan semua siasat Merliana untuk memisahkanku dan Ricky dari awal sampai akhir. Sampai saat ini kabar tentang Ricky yang disampaikan Arindi menjadi pelepas rindu setiap kali aku teringat kenanganku bersama Ricky. Dan akan terus seperti itu sampai Arindi menyelesaikan sekolahnya.
Tapi kali ini, tidak cukup hanya dengan berdiam diri setelah mendengar kabar Ricky yang baru saja disampaikan Arindi. Aku harus menemui Ricky. Pertemuan pertama setelah hampir 2 tahun aku meninggalkan sekolah itu.
* * *
“Kamu mau apa kesini?!” Arindi menghadangku di depan pintu gerbang sekolah dengan wajah memerah karena marah.
“Menemui Ricky! Minggir!”
“Aku kasitau kamu bukan untuk mengganggu hubungan mereka!”
“Ndi, aku pernah bersumpah. Siapapun boleh, asal jangan dia! Ga boleh dia! Dia yang telah menghancurkan hubunganku dan Ricky. Dan kamu juga kan yang bilang kalo pacar Meliana tuch dimana-mana. Sedikitpun dia bukan gadis yang baik buat Ricky. Aku ga rela kalo mereka jadian!”
“Kamu ga boleh menemui Pak Ricky! Bagaimanapun juga Meliana sahabatku, dan aku ga akan mengkhianatinya lebih jauh lagi!”
“Kamu ga mau melihat sahabatmu membuat kesalahan kan?! Kamu tahu kan maksud Meliana membina hubungan itu bersama Ricky. Dan tidak perlu dijelaskan lagi kalo Ricky hanya menjadi korban kebenciannya padaku. Aku tidak ingin Ricky terluka! Aku harus menyadarkannya!”
“Apapun alasan kamu, kamu tetap ga berhak mengganggu hubungan mereka!”
“Begitupun dengan Meliana, 2 tahun yang lalu dia juga ga berhak memisahkanku dengan Ricky. Apa salahnya jika sekarang aku sedikit membalas perbuatannya?! Aku ingin yang terbaik buat Ricky meskipun yang terbaik itu bukan aku. Jangan halangi aku!”
Aku mendorong tubuh Arindi sampai nyaris terjatuh dan dengan cepat melangkah masuk ke gedung sekolah.
* * *
Aku masuk tanpa permisi ke ruang Lab. Biologi tempatnya menghabiskan waktu. Tak peduli meskipun saat itu ia sedang sibuk mengajar murid-muridnya.
“Apa yang kamu lakukan disini?!”
Setelah melihat kemunculanku yang tiba-tiba, dengan sigap Ricky berdiri dari bangkunya dan menarik tanganku untuk segera keluar.
“A… aku ga mau kamu terluka! Ja… jadi tolong akhiri hubungan kalian!” ucapku terbata-bata. Ternyata setelah hampir 2 tahun tidak bertemu hati ini tetap berdebar-debar saat berbicara dengannya. Bahkan lebih dari yang pernah kurasakan saat menghabiskan waktu bersamanya dulu.
“Hubungan apa???” tanya Ricky sambil menahan tawanya dengan tampang serius.
“Lho?! Kok malah tanya hubungan apa?! Ya, hubunganmu dengan Meliana!” tegasku kesal.
“Huahahahhahaha….”
Tawa Ricky tiba-tiba meledak. Tawa seperti tawa yang selalu kulihat saat masih bersamanya. Tawa apa adanya yang dulu hanya diperlihatkannya padaku. Sejenak aku terbuai dengannya. Ada rasa ingin memeluknya. Tapi, ini ga lucu!
“Cukup!!! Jangan tertawa lagi!!!” teriakku marah.
Kemarahanku seketika menghentikan tawanya dan wajahnya kembali terlihat serius.
“Aku datang kesini bukan untuk melihatmu mentertawaiku! Aku cuma mau kamu tahu siapa Meliana yang sebenarnya. Dia adalah orang yang….”
“Membuatku melakukan kesalahan terbesar dengan meninggalkanmu tanpa alasan. Aku tahu itu!”
“Kalau kamu sudah tahu kenapa kamu tetap menjalin hubungan dengannya?!”
“Hubungan apa?!” tanya Ricky sambil kembali tertawa. “Aku tidak pernah mengganti posisimu dihatiku dengan gadis manapun!”
“Jadi yang dikatakan Arindi padaku?!”
“Selama ini aku mendekati semua murid satu persatu hanya untuk mencari tahu tentang kamu yang selama 2 tahun tidak bisa aku temui, yang suaranya saja tidak bisa aku dengar. Akhirnya aku menemukan kabar tentangmu dari Arindi. Aku tahu semuanya dari awal kejadian 2 tahun yang lalu sampai keadaanmu sekarang dari Arindi. Awalnya aku cukup senang, kerinduanmu padamu cukup terobati. Tapi aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku sudah berusaha menemuimu, menghubungimu, tapi kamu tidak pernah sekalipun menghiraukanku. Karena itu aku minta pertolongan Arindi untuk mencari cara agar kamu datang padaku”
“Jadi kamu dan Arindi menjebakku?! Iya?!”
“Kalo tidak dengan cara ini apa kamu mau datang padaku seperti ini?! Kalo tidak dengan cara ini apa kamu mau sekali saja mendengar penjelasanku?! Kalo tidak dengan cara ini mengangkat telepon dariku saja kamu tidak akan sudi kan?! Iya kan?!”
Aku tersenyum puas. Lega. Aku tahu aku baru saja dibohongi. Tapi ini berita baik buat ku. Kenyataannya tidak seperti yang sejak tadi kubayangkan. Tidak ada Merliana. Tidak ada siapapun. Aku senang.
“Jadi kamu dan Meliana ga ada hubungan apa-apa?!” tanyaku sambil tersenyum.
“Lebih dari itu. Bahkan aku sudah tidak pernah melihatnya lagi. Dia sudah lama pindah sekolah, entah kemana. Arindi, sahabatnya pun tidak tahu dimana dia sekarang. Karena itu, Rose, temani aku mengajar disini seperti dulu lagi. Menghabiskan waktu berdua, hanya kita berdua”
Aku menunduk diam. Kenyataan bahwa tak sekalipun ia melupakanku membuatku sedikit tersentuh. Aku merasakan airmataku mulai membasahi pipiku ketika aku sadari pelukannya mendarat di tubuhku. Dia memelukku. Pelukan yang sangat kurindukan bersamaku sekarang.
“Maafkan aku, Rose! Aku memang bodoh! Aku sangat bodoh! Bisa-bisanya aku mempercayai ucapan Meliana tentang kamu. Padahal seharusnya aku mempercayaimu. Seharusnya aku percaya kalo kamu tidak seperti yang ia katakan. Rose, aku memang ga pantas mendapatkan kata maaf darimu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa selama ini aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.
Didalam pelukannya yang begitu hangat, untuk pertama kalinya aku mendengar kata cinta darinya. Kata yang selalu aku nantikan dalam setiap detik waktu yang kulalui bersamanya. Tapi itu dulu, saat aku masih meyakini dia tidak akan meninggalkanku apapun yang terjadi.
Segera aku mendorong tubuh Ricky agar melepaskan pelukannya.
“Maaf, Ricky! Tapi seharusnya kamu katakan itu 2 tahun yang lalu. Bukan sekarang! Kamu tinggal kenangan untukku. Aku ingin melihatmu bahagia. Tapi tidak denganku”
“Kamu ngomong apa sih, Rose?!”
“Aku juga mencintaimu, Ricky. 2 tahun aku mencoba melupakan rasa itu, tapi rasa itu tidak juga hilang. Sampai saat ini aku tetap mencintaimu. Tapi aku bukan pejuang cinta. Cintaku memang tidak pernah mati, mungkin akan ada untuk selamanya. Sayangnya aku sudah lama membunuhmu dalam hatiku. Tidak lagi aku mengharapkan keajaiban untuk dapat kembali padamu. Maaf, Ricky! Seberapapun inginnya kamu kembali padaku, itu sudah tidak mungkin. Karena disini, dihatiku sudah tidak ada lagi tempat untukmu”
“Tapi, Rose….”
“Rose!!!”
Seorang pria berlari kearah kami. Tangannya menenteng tas ransel cantik berwarna hitam. Tas ransel milikku yang kutinggalkan di taman kampus setelah menerima telepon dari Arindi.
“Steve! Kamu kok bisa tau aku ada disini?!” tanyaku sambil tersenyum sumringah menyambut kedatangannya.
“Kamu kemana aja sih?! Aku kan sudah bilang, tunggu aku di taman! Saat aku sampai disana yang tersisa tinggal tas dan serpihan hand phone kamu ini” protes Steve sambil menunjukan serpihan hand phone Nokia kepadaku.
Aku membalas ocehannya dengan senyum nakal tanpa dosa sambil mengambil kembali tas ranselku yang bertengger manis dibahunya.
“Rose, 1 jam lagi kita harus berangkat. Kamu masih lama?”
Tiba-tiba Steve melirik ke arah Ricky yang berada di belakangku.
“Dia….”
“Oh, Steve! Dia Ricky, mantan guru Biologi ku disini” ucapku basa-basi, padahal aku tahu Steve pasti bisa menebak siapa dia dari ceritaku selama ini. Yah, entah kenapa aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya, termasuk masalahku dan Ricky. “Ricky, ini Steve, dia….”
Bibirku kelu. Sanggupkah aku berpisah dengan cara ini. Ricky, baru saja aku mengucap ingin melihatmu bahagia. Tapi apa dengan cara ini kamu akan tersenyum bahagia. Oh, aku ragu. Padahal aku telah memutuskan untuk menanggalkan cinta ku pada Ricky, beberapa menit yang lalu. Tapi kenapa tiba-tiba aku ragu.
“Rose, tidak ada kata terlambat untuk memilih! Hanya kamu yang berhak menentukan jalan hidupmu sendiri! Jika pilihan terakhirmu bukan aku. Aku rela melepaskanmu. Demi cintaku padamu”
Demi cintamu padaku?! Kamu rela melepaskan aku?! Kamu rela aku memilih Ricky?! Benarkah?! Steve?! Apa aku tidak salah dengar?!
Aku menatap wajah Steve. Air mukanya begitu cerah namun sekilas ada kesenduan dibalik senyumannya. Tak dapat kutahan lagi air mataku, saat melihat ketulusan itu. Cinta yang tulus di wajah Steve.
“Terima kasih, Steve!”
Kubelai rambut pirang kecoklatannya. Kukecup kedua belah pipi Steve. Hangat. Namun saat itu pula kulihat airmata membasahi pipi lembut itu. Airmata yang keluar dari bola mata biru miliknya yang telah bercampur dengan airmataku.
Setelah kukeringkan airmatanya dengan jemariku. Aku menghampiri Ricky yang sejak tadi membisu, namun terukir jelas kemenangan diwajahnya. Ia tahu aku akan berubah pikiran. Tapi tidak!
Aku meraih kedua tangan Ricky, menggenggamnya dengan erat. Seerat mungkin.
“Ricky, aku tidak akan pernah bisa melupakan hari ini. Kata cinta darimu. Juga kebohongan yang membuatku berada disampingmu sekarang. tapi, bersediakah kamu mengucapkan apa yang baru saja Steve ucapkan?!”
“Aku ga akan lepasin kamu lagi, Rose! Ga akan pernah!” tegas Ricky yakin.
Segera aku menarik Ricky ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan pelukan terhangat dari semua pelukan yang pernah aku berikan padanya.
“Aku mencintaimu Ricky!”
Aku mempererat pelukanku. Karena ini pelukan terakhir dariku.
“Aku sangat mencintaimu Ricky!”
Dan ini adalah kata cinta terakhir dariku.
“Aku juga, Rose! Mencintaimu lebih, lebih dari segala-galanya di dunia ini!” balas Ricky.
“Tapi aku ingin hidup bersama Steve. Selamanya. Dia calon suamiku, Ricky. Dia menjagaku dengan cintanya selama ini. Meskipun dia ingin menyerahkanku padamu, tapi aku tidak akan meninggalkannya. Karena aku yakin, hanya bersamanya aku akan hidup bahagia. Relakan aku, Ricky!” ucapku sambil melepaskan pelukanku.
“Rose, kamu pasti bercanda kan?! Aku yakin kamu hanya mencintaiku. Dan kamu tidak mencintainya. Kamu ga mungkin bahagia hidup bersamanya!”
“Jangan bicara lagi, Ricky! Bukannya aku ingin membalas perbuatanmu padaku 2 tahun yang lalu. Bukan! Aku memang tidak mencintai Steve. Tapi aku yakin, Steve tidak akan membuangku hanya karena hasutan gadis lain. Seperti yang kamu lakukan padaku. Saat ini aku tak punya hati untuk meninggalkannya hanya untuk memilihmu”
“Rose….”
“Hari ini aku akan ikut Steve ke Inggris. Minggu depan kami akan resmi menjadi suami istri. Setelah itu kamu tidak akan menemukanku lagi di Indonesia. Jadi lupakan aku. Seperti aku yang akan melupakan rasa cintaku padamu mulai detik ini. Selamat tinggal, Ricky!”
* * *
“Rose….”
Steve menarik tanganku dan berusaha menghentikan langkahku yang hendak menuju sedan milik Steve yang terparkir dekat gerbang sekolah.
“Tadi kan kamu bilang kalo 1 jam lagi kita berangkat. Ini udah lewat 1 jam lho!”
“Kamu serius ga mau kembali sama dia?!”
“Jadi kamu ga mau nikah sama aku?!” protesku sambil cemberut. “Ya udah, pulang sana ke Inggris! Dan jangan cari aku lagi!”
Aku melangkah melewati mobilnya menuju jalan raya.
“Rose, kamu mau kemana?!”
“Kemana aja!”
“Tapi kamu kan ga punya siapa-siapa lagi disini!”
“Makanya jangan buang aku! Aku kan sudah meninggalkan cintaku hanya demi kamu!”
“Aneh! Ya udah, ayo masuk ke mobil!”
Aku tidak aneh. Hanya saja aku tidak akan melakukan segalanya untuk cinta. Karena apa?! Karena Steve adalah jawaban dari doaku pada Sang Pencipta. 3 tahun yang lalu, saat Ricky meninggalkanku dan aku merasa aku tak lagi punya harapan untuk kembali bersamanya, aku berdoa pada Tuhan.
“Tuhan, aku mohon turunkanlah malaikat yang paling mencintaiku dalam wujud yang nyata! Maka apapun yang terjadi, aku tidak akan lagi mengharapkan cinta dari seorang pria bernama Ricky”
Dalam doa itu aku bersumpah, jika terkabul aku akan melupakan Ricky. Dan ternyata dalam waktu singkat doa itu terkabul, atau memang Tuhan telah menyiapkannya untukku. Entahlah. Yang kutahu dan kuyakini. Steve adalah malaikat yang Tuhan turunkan untukku. Malaikat yang paling mencintaiku. Bahkan rela berkorban demi kebahagiaanku. Dan aku tidak boleh mengecewakannya.
“Kalo memang kamu memilihku, kenapa harus melakukan adegan seperti tadi?! Atau kamu sengaja ingin membuatku menangis?!”
“Diam! Ga usah dibahas!”
Suatu hari, entah kapan?! Aku yakin. Aku pasti jatuh cinta padanya.
~ TamaT ~
Welcome N Join Us
Selamat datang di situs kami. semoga tulisan-tulisan kami dapat bermanfaat untuk anda
Kamis, 09 Agustus 2007
SURAT CINTA ALICE
Surat Cinta Alice
Ketika kabar cinta tersampai lewat kata-kata…
Kertas putih sebagai saksi…
Cinta didalam sana yang terindah…
OLEH : RESSA NOVITA (OCHA)
Goreskan pena mu di atas selembar kertas biru… Layangkan untukku bersama namamu… Maka aku akan merasakan… Keindahan cinta yang kini melekat di hidupmu…
“Pos!!!”
“Terima kasih, pak!”
Minggu pagiku yang cerah diawali dengan datangnya surat cinta dari sahabatku, Alice, yang saat ini berada jauh di Biak.
Sambil berjalan masuk ke teras rumah, aku merobek amplop putih itu dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas tipis itu dan membaca tulisan berpena biru itu dengan seksama.
Dear Ariessa,
Akhirnya hari ini datang juga. Ini adalah surat cinta yang pernah kita sepakati 5 tahun yang lalu…
Yup! Ini bukan sembarang surat cinta. Kesepakatan yang pernah aku buat bersama sahabatku 5 tahun yang lalu, surat cinta adalah surat yang akan mengabarkan satu sama lain tentang cinta yang kami rasakan dan kami yakinkan untuk selamanya.Keyakinan besar akan cinta yang sulit untuk didapatkan. Tapi hari ini untuk pertama kalinya surat itu datang diantara kami.
…tapi sebelum itu bagaimana kabarmu, Ka Ardon dan teman-teman yang lain, Floren, Febrian, Aldi, Anne, Erick, my sweet brother Ka Ajie, Ka Hedy, Ka Iyos, Ka Beni, Ka Reki, dan Ka Odie? Kalian pasti baik-baik saja kan? Aku sangat merindukan kalian semua. Oh iya, bagaimana keadaan my prince Gama…
Aku melipat kembali surat yang belum selesai kubaca itu setelah membaca nama Gama menghiasi kalimat di kertas itu. Nama itu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku bersama sahabatku.
Alicia Martina Leva, yang biasa kupanggil Alice adalah seorang gadis yang terlihat begitu dewasa, anggun, penuh percaya diri dan selalu menginginkan kesempurnaan. Ia baru merasakan kenyamanan di sekolahnya sendiri, ketika ia bertemu denganku dan orang-orang yang namanya disebutkan di surat itu. Tapi paling membuatnya mengagumi bahkan memuja SMU Gaeshiera adalah seseorang yang bernama Gama Abife Farghesa.
Di tahun keduanya di sekolah swasta itu, Alice yang saat itu menjabat sebagai ketua klub Tari bertemu dengan Gama salah seorang anggota klub basket.
Biasanya Alice senang menghabiskan waktunya di sekret klub tari bersamaku, Anne dan Floren yang sama-sama bergelut di klub yang sama. Tapi, siang itu Anne dan Floren tidak menampakkan batang hidung mereka dan karena bosan aku mengajaknya ke sekret klub Basket yang letaknya tepat disebelah sekret klub tari. Aku punya banyak teman di klub ini, selain itu kakakku adalah kapten klub Basket ini, namanya Ka Ardon. Di sanalah untuk pertama kalinya Alice bertemu dengan Gama.
Kembali ke masa lalu…
“Alice, kita duduk disini aja!” pintaku sambil menarik Alice dengan sedikit memaksa untuk bergabung bersama beberapa anggota klub Basket. ”Ehm… Boleh ga kami numpang duduk disini?” tanyaku basa-basi pada Erick yang saat itu sedang santai-santai sambil mendengar musik.
“Tentu saja! Masa sih adik kesayangan pak kapten tidak boleh main disini! Duduk disebelahku, Rica sayang!” jawabnya ramah sambil membetulkan kursi disebelahnya.
“Ariessa Rislany! Bukan Rica! Emangnya makanan!” protesku sambil menggeser kursi yang tersedia untuk…
“Riessa!!! Jauh-jauh dari Erick!!! Pria itu beracun!!!” teriak Ka Ardon yang suaranya menggema dari ruangan bagian dalam. (Warning : Riessa panggilan sayang My Sweet Brother, Ka Ardon). Tentunya aku menggeser kursi untuk mencegah teriakan tadi, tapi…ya sudahlah…
Berusaha untuk tidak menghiraukan teriakan kakakku, seketika aku pun asik berbincang dengan pria tampan yang selalu berjaket biru itu. Dan Alice.
Lho?! Kenapa suara Alice tiba-tiba menghilang dari peredaran telingaku?! Menyadari hal itu aku memutar badanku kesegala arah untuk menemukan di mana Alice duduk. Dan aku segera menemukannya asik berbincang dengan seorang anggota klub basket bernama Gama.
Selama ini aku selalu tak sungkan bergabung dengan teman-teman kakak di klub Basket, karena aku akrab dengan mereka semua. Tapi Gama, aku tidak terlalu mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Gama terlihat dingin, pendiam dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Aku jadi malas mendekatinya. Karena itu aku sedikit terkagum-kagum melihat kedua orang itu tiba-tiba ngobrol asik tanpa memperdulikan apapun disekitar mereka.
Kembali ke masa kini…
Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu aku masih melihat kewajaran dalam diri Alice. Si Miss Pe-De ini terus menggoda Gama dengan daya tariknya. Alice yang biasanya, memang seperti itu bila sudah menangkap kelebihan tampang seorang pria. Dan aku akui komentar Alice benar, Gama punya wajah yang sangat manis apalagi dipadukan dengan kulit gelap dan matanya yang indah.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama. Kira-kira satu bulan kemudian, aku mulai melihat gelagat aneh Alice didepan pria itu. Ia menunduk malu dan tak jarang salah tingkah setiap kali bertemu dengan Gama. Bahkan setiap Alice melihatnya dari kejauhan, ia selalu histeris malu-malu.
Kembali ke masa lalu…
“Gama?! Oh, my God! Oh, my God! He’s so sweet!”
Kembali ke masa kini…
Komentar manis yang disertai dengan wajah memerah tentunya.
Perlahan tapi pasti, Alice mengakui bahwa ia menyukai Gama, bahkan perasaannya mungkin lebih dari sekedar suka.
Kembali ke masa lalu…
“Ariessa!!!”
Alice berlari cepat kearahku yang sedang asik melamun sendirian di sekret klub Tari.
“Kenapa sih?” tanyaku bingung.
“Gama! Gama!” Alice mendesahkan nama pria itu pelan sambil mengatur nafasnya. “Manis! Manis banget! Dipadukan dengan topi dan jaket hitamnya. Hari ini dia manis banget!”
“Yee… Kirain kenapa” jawabku kecewa.
“Ar, kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia!”
“Udah tau tuh!” kataku santai tak menghiraukan.
“Lho?! Kok reaksi kamu gitu sih?!”
“Ga usah kamu kasih tau, aku juga udah tau, Ne!”
“Aku kan baru kasih tau kamu hari ini, kenapa kamu bisa tau duluan?”
“Seorang Alice yang penuh percaya diri, riang, yang selalu mudah beradaptasi dengan siapapun, yang pintar, dewasa, bijaksana dan penuh wibawa. Dalam hitungan detik berubah menjadi Alice yang tidak aku kenal, yang pemalu, mudah gugup, selalu kehilangan kata-kata dan bertindak ceroboh setiap kali bertemu dengan manusia bernama Gama. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang terjadi didalam dirimu?! Kalau bukan cinta, apalagi?!”
“Ariessa, terus aku harus gimana?” rengeknya cemas.
“Ya, ga harus gimana gimana! Tapi cuma satu hal yang bikin aku bingung. Apa kamu sudah tidak mencintai Arga lagi?!”
Alice terdiam, seolah tak ada kata yang dapat menjawab pertanyaan itu.
Kembali ke masa kini…
Arga, teman cowok Alice sejak Alice masih duduk di bangku SMP. Sebelum dilanda virus Gama, aku masih mendengar Alice bercerita tentang pria yang belum lama ini kembali dekat dengannya dan Alice pun mengaku sangat mencintainya. Namun semakin sering mereka bersama, semakin tidak jelas hubungan mereka. Alice yakin Arga juga mencintainya dari perhatian dan pengorbanan yang diberikannya selama ini, tapi Alice tidak pernah berhasil membuat Arga mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya Alice mengeluh bosan.
Dan sejak kemunculan Gama, aku merasa perlahan sosok Arga mulai menghilang dari ingatan Alice, terlihat dari frekuensi Alice menyebutkan nama Arga yang kalah rekornya dengan nama pria pendatang baru itu (Gama pendatang baru didunia Alice, maksudku) . Bahkan tanpa ragu Alice meninggalkannya cinta yang tak pasti itu. Dengan kata lain, kali ini Alice benar-benar serius dengan perasaannya.
Kembali ke masa lalu…
“Ka, Gama itu orangnya seperti apa sih? Baik ga? Dia udah punya pacar belum?”
“Riessa!!!” melongo aneh.
Reaksi kakakku sedikit membuatku tersentak kaget. Sedikit.
“Enggak! Kakak ga ijinin kamu jadian sama anak itu. Ga cocok tau! Kakak malah lebih setuju kalo kamu jadian sama Samuel, dia tuh baik, romantis, perhatian dan penyabar, cocok banget deh sama kamu”
Samuel?! Siapa?! Ga kenal!
Ah, sudahlah! Ga penting!
“Kakak, bukan aku tapi Alice”
Ka Ardon terdiam mendengar kata-kataku.
Aku mengerti dan memaklumi reaksinya kali ini, karena kakakku sempat mengagumi seorang Alice, tapi dia sudah punya Rini, apapun yang terjadi Ka Ardon tidak boleh melukai gadis pilihannya itu.
“Ka…” panggilku untuk menghentikan keheningan yang dibuatnya.
“Gama itu pria yang baik tapi dia sangat tertutup pada orang lain. Dia sudah punya pacar atau belum? kakak ga tau, karena seperti yang kakak bilang, dia sangat tertutup. Kayaknya sih belum. Tapi satu hal yang menarik dari Gama, sampai-sampai kakak ga bisa tidur dibuatnya, dia itu terlalu manis. Gama…Oooh…Gama…”
“Kakak… masih normal kan???”
Kembali ke masa kini…
Rasa suka Alice terhadap Gama membawa kebaikan lain, ia pun bertambah akrab dengan sebagian anggota klub basket. Mereka adalah nama-nama yang disebutkan Alice dalam suratnya. Bahkan Ka Ajie salah seorang alumni klub basket yang semula tidak dikenalnya sekarang sudah seperti kakaknya sendiri. Ini terjadi karena keinginan Alice sendiri yang awalnya berharap akan dapat mengorek keterangan tentang Gama dari mereka. Beberapa dari mereka setelah tahu hal itu tidak berdiam diri, mereka melakukan berbagai macam cara untuk memperdekat Alice dan Gama.
Salah satunya yaitu ketika suatu hari dari kejauhan aku menyaksikan Alice duduk berdua dengan Gama. Saat itu aku tersenyum bangga, aku pikir Alice ada sedikit kemajuan. Tapi tiba-tiba dari belakangku muncul Ka Ajie dengan senyum nakalnya yang ditujukan ke arah mereka. Entah apa yang telah dilakukan Ka Ajie, tapi aku sangat berterimakasih atas usahanya sehingga seorang Gama yang sangat disukai Alice saat itu juga duduk dan tersenyum manis didekatnya.
Semakin hari baik sengaja maupun tidak disengaja, keajaiban selalu datang mempertemukan Gama dan Alice. Alhasil, hubungan mereka berdua semakin dekat. Tapi satu hal yang tidak pernah sekalipun berhasil diatasinya adalah bersikap tenang didepan Gama.
Dengan dukunganku dan yang lain, Alice menumbuhkan tekad suatu saat akan menyatakan perasaannya pada Gama. Selain itu Alice selalu mewujudkan perasaan sayang dan perhatiannya kepada Gama tanpa henti. Sekaleng Pocari yang selalu diberikannya sehabis latihan rutin adalah salah satunya. Itulah yang membuat kami bangga. Alice selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Aku semakin semangat membantu Alice.
Kembali ke masa lalu…
“Satu tiket aku hadiahkan untukmu. Filmnya bagus lho!”
“Malas ah, nonton sendirian”
“Ya, enggaklah. Aku, Floren, Febrian dan Ka Ardon juga ikut. Kita ketemuan jam 7 di depan Mc D. Oke!”
Kembali ke masa kini…
Tiket itu hanya alasan agar Alice dapat kencan berdua dengan Gama. Dengan bantuan Ka Ardon, satu tiket lagi sudah berada ditangan Gama. Dan aku yakin Alice tidak akan mengecewakan pengorbanan kami. Dia pasti menyatakan perasaannya malam itu.
Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu juga Alice kehilangan semangat dan tekadnya. Alice merasa tidak lagi memiliki harapan untuk meraih cintanya itu.
Kembali ke masa lalu…
“Apa?! Jadi semalam kamu ga ngomong apa-apa ke dia?” marah Ka Ardon.
Alice hanya menggeleng pelan dengan penuh penyesalan.
“Biar aku pergi tanpa pernah dia tahu perasaanku” ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” tanya Ka Ardon kesal.
“Pergi?! Pergi kemana maksudmu?!” tanyaku melanjutkan pertanyaan Ka Ardon.
“Aku harus meninggalkan kota ini, selamanya”
Pernyataan Alice saat itu juga membuatku dan Ka Ardon tak sanggup berkata-kata.
Kembali ke masa kini…
Karena beberapa hal, orangtua Alice memutuskan untuk kembali ke kota asal mereka di Manado dan meninggalkan kota yang telah menghidupi mereka selama 6 tahun ini. Alice tidak dapat menolak keputusan itu, karena bagaimana mungkin Alice dapat tinggal di kota ini tanpa kedua orangtuanya.
Kembali ke masa lalu…
“Tapi kamu harus menyatakan perasaanmu!”
“Buat apa?! Toh aku akan pergi!”
Kembali ke masa kini…
Rencana keberangkatan Alice membuat semuanya berakhir. Hari-harinya menjelang keberangkatannya pun diwarnai dengan kesedihan. Dan Alice memutuskan untuk mundur sebelum sempat maju ke garis start. Teman-teman pun tidak dapat berbuat apa-apa setelah mendengar rencana kepergiannya itu. Tapi tidak bagiku.
Kembali ke masa lalu…
Aku akan membuktikan bahwa masih ada harapan.
“Dibalik kisah ini tersimpan sebuah harapan dari sebait doa tulusku. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi sekalipun itu hanya sebuah kisah dongeng. Nah, gimana kalau novel itu kamu baca dulu sebelum kamu berangkat!”
Sedikit malas ia membuka lembaran pertama. Tentu saja, karena membaca bukanlah salah satu dari hobinya. Tapi yang satu ini dia pasti suka.
Aku terus memperhatikannya membaca dengan serius, sesekali ia tersenyum, sesekali ia menatapku kesal. Tak sabar ingin mengetahui akhir kisah itu, ia tiba-tiba menutup buku itu dan membukanya kembali dari belakang. Di tariknya nafas dalam-dalam dan dibacanya halaman terakhir dengan penuh harap.
Di depan gerbang sekolah.
Setelah Alice menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam kepada pria manis bernama Gama. Alice akhirnya melangkahkan kakinya pelan kearah Taksi Bandara yang menjemputnya tanpa berani mengharapkan jawaban dari Gama. Tiba-tiba langkah Alice bertambah berat. Ia tahu alasannya, hatinya butuh jawaban namun ia tak berani kembali untuk bertanya, ia pun tak sanggup berhenti sesaat untuk menunggu.
“Gama, seandainya kamu berkata ‘iya’ tanpa ku bertanya. Aku akan melangkah kembali dan membatalkan keberangkatanku saat ini juga sekalipun tanpa seizin Mama” tekad Alice dalam batinnya.
Tapi sekali lagi dan mungkin untuk yang terakhir kalinya Alice mengubah tekad dalam batinnya.
“Ah, sudahlah! Mungkin ini jalan yang memang harus aku pilih, yaitu meninggalkanmu”
Alice menatap pintu taksi yang terbuka lebar tepat didepannya. Ditariknya nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam taksi. “Selamat tinggal, Jakarta!”
“Alice!!! Kembali!!!”
Perintah tegas yang tiba-tiba keluar dari mulut Gama seketika membuat Alice menghentikan gerak tubuhnya. Namun Alice tidak membalikkan tubuhnya, ia hanya terdiam kaget, tak percaya dengan suara yang baru saja didengarnya. Gama memintanya kembali.
“Alice… Aku akan mengatakan ‘aku mencintaimu’ jika itu dapat membuatmu tidak meninggalkan Jakarta selangkahpun! Kamu harus tetap disini! Alice… Jangan pergi! Aku tidak ingin kehilangan kamu!”
Tanpa disadari, airmata Alice telah mengalir melewati bibirnya.
“ALICE…. AKU JUGA MENCINTAIMU…. AKU SANGAT MENCINTAIMU….”
Tiba-tiba pelukan hangat mendarat ditubuh Alice. Alice menemukan wajah cantik mamanya yang memeluknya dengan mata berlinang.
“Nak, jangan pernah melakukan sesuatu dengan keraguan! Tentukan pilihanmu sekarang! Tinggallah disini, jika menurutmu itu yang terbaik!”
Alice tersenyum bahagia menatap sang mama yang akhirnya mengizinkannya tinggal di Jakarta lebih lama lagi.
“Pergilah, Nak!!! Temui pangeranmu!”
Segera, Alice membalikkan badannya, menatap lekat kearah Gama yang berdiri membelakangi teman-temannya yang lain. Dilihatnya kedua tangan Gama bergerak terbuka lebar, seolah mengundang Alice untuk segera mengisi pelukannya. Dan Alice mengerti isyarat itu. Gama bersedia membalas cintanya.
Berlari, Alice menghampiri pria yang tersenyum manis itu dan meraih uluran tangannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan.
Ia menutup buku itu setelah selesai membaca akhirnya. Tanpa ia sadari airmata telah memenuhi wajahnya yang putih bersih. Ia menatapku dengan senyum haru dan menarikku kepelukannya, sesaat namun erat.
“Seandainya saja kisah itu dapat terwujud”
“Karena itu, jangan katakan tidak. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya! Karena tidak ada yang tidak mungkin” aku mendorong Alice masuk ke ruang klub Basket. “Katakan sekarang juga! Aku tahu kamu bukan gadis lemah yang gampang menyerah pada keadaan, Alice”
“Tapi, Ar, aku takut, bagaimana kalau dia…”
“Alice. Now or never!”
Alice dengan wajahnya yang pucat memasuki ruangan. Sesaat kemudian semua penghuni ruangan kecuali Gama meninggalkan ruangan itu, sebagian dari mereka yang tah permasalahannya menemaniku diluar. Aku berdiri cemas didepan pintu ruangan itu, sesekali kupekakan telinga agar terdengar pembicaraan mereka.
“Hei, kenapa kalian berdiri di depan pintu? Ayo kita ma…”
Aku menarik tubuh Ka Ardon menjauhi pintu masuk ruangan itu.
“Ka, Gama dan Alice didalam” bisikku.
“Berarti, novel yang kamu buat berhasil meyakinkan Alice untuk mengungkapkan perasaannya?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Kamu memang adikku yang paling hebat!” pujinya sambil mengelus rambut panjangku.
Pujian Ka Ardon mengakhiri kebisingan tempat itu, sesayup kalimat terdengar dari dalam ruangan. Kalimat yang membuat kami semua tercengang kaget.
“Aku sangat senang mendapatkan perhatianmu selama ini, tapi saat ini bukan kamu gadis yang aku sukai. Aku tidak bisa membalas rasa sukamu”
Jawaban Gama atas pernyataan Alice.
Sesaat kemudian Alice berlari keluar dari ruangan klub sambil menangis.
Kembali ke masa kini…
Sebuah kisah yang telah menumbuhkan kembali semangat Alice, ternyata hanya sebatas goresan pena. Kenyataannya tidaklah seindah itu. Keadaan saat itu malah semakin memburuk dan semuanya karena aku, karena semangat salah yang telah aku berikan. Keputusan semula Alice benar, sebaiknya tak usah dikatakan, dan aku telah menghancurkan segalanya. Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.
Kembali ke masa lalu…
“Sudahlah, Ariessa, jangan menangis!”
“Tapi ini semua gara-gara aku!”
“Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Kamu benar karena telah membuatku kuat. Apapun yang terjadi, aku tidak peduli, yang penting kini aku merasa lega, aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, dan aku berhasil melakukannya karena kamu”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, jangan buat aku semakin sedih”
Kembali ke masa kini…
Alice pun meninggalkan Jakarta dengan membawa luka hatinya. Tak seorang pun dari kami diijinkannya untuk mengantar sampai bandara, dia tidak ingin kami melihatnya menangis.
Tapi kami yakin suatu hari nanti Alice mampu melupakan Gama dan menyimpannya hanya sebagai kenangan. Sekaranglah bukti nyata Alice telah mendapatkan seseorang pengganti Gama dihatinya.
Tersenyum sejenak, aku kembali membuka lipatan surat itu dan melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Dan aku dikejutkan dengan kata-kata lanjutannya.
Tentu saja kamu tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Karena dia ada disini bersamaku.
“Apa?! Tidak mungkin!!!”
Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi mendengar kabar Gama. Yang terakhir kudengar dari Ka Ardon, sekarang ia sudah menyelesaikan kuliah S1 nya dan bekerja berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Tapi, apa ini jawaban atas ketulusan cinta Alice untuknya selama ini?
Setibanya aku di Biak, aku bekerja di toko roti milik mamaku. Dalam waktu singkat toko roti itu mempunyai banyak pelanggan dan kelezatannya terkenal diseluruh pelosok kota ini. Toko roti ini pula yang 4 tahun kemudian mempertemukan aku dengan Gama. Gama dipindah tugaskan ke Biak, suatu hari dia melihatku didepan toko dan tanpa ragu menemuiku. Alhasil, perasaan ini dimulai kembali. Tapi kali ini bukan hanya perasaan sepihak, karena kami sudah bertunangan.
Semua ini juga karena kamu, Ariessa. Harapan yang kamu goreskan dalam kisah itu, memberikanku kekuatan untuk tidak berputus asa. Karena tidak ada yang tidak mungkin.
Nah, bagaimana dengan kamu? Kapan aku akan membaca surat cintamu? Aku sangat menantikannya.
Surat cintaku?! Aku sendiri tidak tahu kapan akan kukirimkan. Karena aku belum merasakan cinta seindah yang kau rasakan saat ini, Alice.
“Hiks hiks hiks… Gama dan Alice sudah bertunangan. Lalu bagaimana denganku. Huaaaaa…Alice…”
Lho?! Ternyata kakakku ikut membaca dibelakangku dan dia berteriak histeris setelah mengetahui kabar bahagia itu.
Setelah pisah dari Rini dua tahun yang lalu sepertinya Ka Ardon berharap suatu saat akan mendapatkan cinta Alice, tapi sayang sudah terlambat.
“Riessa… tinggal kamu seorang yang bisa mendampingi kakakmu yang malang ini! Jangan tinggalkan kakak ya, sayang!” pintanya sambil memelukku erat-erat.
“Pos!!!”
Kami terhentak kaget mendengar suara pak pos yang kali ini melengking aneh.
Aku segera menghampiri si tukang pos yang datang untuk kedua kalinya itu.
“Lho, pak?! Kok datang lagi?! Ada yang tertinggal?”
“Ada satu surat lagi untuk Nona Ariessa! Ditambah dengan setangkai mawar merah ini” jawab pria itu sambil menyerahkan surat beramplop merah muda serta setangkai mawar merah.
“Dari siapa, pak? Kok ga ada perangkonya?”
“Dari aku!”
Seorang pria berpakaian rapi dengan jaket birunya tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Masih ada kesempatan untukku mencintaimu, Rica?”
“Erick?!”
“Didalam surat itu aku mengabadikan cintaku dan menunggu balasan darimu…”
Aku menatap Erick sedikit bimbang. Berawal dari kebetulan kami melanjutkan di universitas yang sama hubungan kami semakin dekat. Sampai saat ini aku sangat mencintainya tapi dia tidak pernah memberiku kepastian tentang ungkapan perasaanku selama ini.
Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk melupakannya. Karena aku pikir selama 5 tahun ini aku hanya terlalu melebih-lebihkan sikap manisnya padaku. Tapi sekarang dia tiba-tiba datang padaku. Mengucap kata yang selama ini aku nantikan. Apa aku punya keberanian untuk menolaknya?
“Ariessa Rislany! Bukan daging Rica-Rica! Tapi aku senang hanya kamu yang memanggilku seperti itu” senyumku penuh arti. “Masuk! Kita ngobrol didalam”
Alice, mungkin pria ini yang suatu saat nanti akan kutuliskan namanya didalam surat cintaku untukmu.
Mengiringi langkah Erick memasuki ruang tamu, aku tersenyum nakal penuh arti kepada pria sister complex (pecinta adik sendiri) itu.
“Oh, tidak!!! Erick, sekali lagi aku peringatkan!!! Jangan rebut adikku!!!”
“Siapa elu nyuruh-nyuruh gua?!” balas Erick tersenyum riang.
♥ TaMaT ♥
Ketika kabar cinta tersampai lewat kata-kata…
Kertas putih sebagai saksi…
Cinta didalam sana yang terindah…
OLEH : RESSA NOVITA (OCHA)
Goreskan pena mu di atas selembar kertas biru… Layangkan untukku bersama namamu… Maka aku akan merasakan… Keindahan cinta yang kini melekat di hidupmu…
“Pos!!!”
“Terima kasih, pak!”
Minggu pagiku yang cerah diawali dengan datangnya surat cinta dari sahabatku, Alice, yang saat ini berada jauh di Biak.
Sambil berjalan masuk ke teras rumah, aku merobek amplop putih itu dan mengeluarkan selembar kertas putih dari dalamnya. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas tipis itu dan membaca tulisan berpena biru itu dengan seksama.
Dear Ariessa,
Akhirnya hari ini datang juga. Ini adalah surat cinta yang pernah kita sepakati 5 tahun yang lalu…
Yup! Ini bukan sembarang surat cinta. Kesepakatan yang pernah aku buat bersama sahabatku 5 tahun yang lalu, surat cinta adalah surat yang akan mengabarkan satu sama lain tentang cinta yang kami rasakan dan kami yakinkan untuk selamanya.Keyakinan besar akan cinta yang sulit untuk didapatkan. Tapi hari ini untuk pertama kalinya surat itu datang diantara kami.
…tapi sebelum itu bagaimana kabarmu, Ka Ardon dan teman-teman yang lain, Floren, Febrian, Aldi, Anne, Erick, my sweet brother Ka Ajie, Ka Hedy, Ka Iyos, Ka Beni, Ka Reki, dan Ka Odie? Kalian pasti baik-baik saja kan? Aku sangat merindukan kalian semua. Oh iya, bagaimana keadaan my prince Gama…
Aku melipat kembali surat yang belum selesai kubaca itu setelah membaca nama Gama menghiasi kalimat di kertas itu. Nama itu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku bersama sahabatku.
Alicia Martina Leva, yang biasa kupanggil Alice adalah seorang gadis yang terlihat begitu dewasa, anggun, penuh percaya diri dan selalu menginginkan kesempurnaan. Ia baru merasakan kenyamanan di sekolahnya sendiri, ketika ia bertemu denganku dan orang-orang yang namanya disebutkan di surat itu. Tapi paling membuatnya mengagumi bahkan memuja SMU Gaeshiera adalah seseorang yang bernama Gama Abife Farghesa.
Di tahun keduanya di sekolah swasta itu, Alice yang saat itu menjabat sebagai ketua klub Tari bertemu dengan Gama salah seorang anggota klub basket.
Biasanya Alice senang menghabiskan waktunya di sekret klub tari bersamaku, Anne dan Floren yang sama-sama bergelut di klub yang sama. Tapi, siang itu Anne dan Floren tidak menampakkan batang hidung mereka dan karena bosan aku mengajaknya ke sekret klub Basket yang letaknya tepat disebelah sekret klub tari. Aku punya banyak teman di klub ini, selain itu kakakku adalah kapten klub Basket ini, namanya Ka Ardon. Di sanalah untuk pertama kalinya Alice bertemu dengan Gama.
Kembali ke masa lalu…
“Alice, kita duduk disini aja!” pintaku sambil menarik Alice dengan sedikit memaksa untuk bergabung bersama beberapa anggota klub Basket. ”Ehm… Boleh ga kami numpang duduk disini?” tanyaku basa-basi pada Erick yang saat itu sedang santai-santai sambil mendengar musik.
“Tentu saja! Masa sih adik kesayangan pak kapten tidak boleh main disini! Duduk disebelahku, Rica sayang!” jawabnya ramah sambil membetulkan kursi disebelahnya.
“Ariessa Rislany! Bukan Rica! Emangnya makanan!” protesku sambil menggeser kursi yang tersedia untuk…
“Riessa!!! Jauh-jauh dari Erick!!! Pria itu beracun!!!” teriak Ka Ardon yang suaranya menggema dari ruangan bagian dalam. (Warning : Riessa panggilan sayang My Sweet Brother, Ka Ardon). Tentunya aku menggeser kursi untuk mencegah teriakan tadi, tapi…ya sudahlah…
Berusaha untuk tidak menghiraukan teriakan kakakku, seketika aku pun asik berbincang dengan pria tampan yang selalu berjaket biru itu. Dan Alice.
Lho?! Kenapa suara Alice tiba-tiba menghilang dari peredaran telingaku?! Menyadari hal itu aku memutar badanku kesegala arah untuk menemukan di mana Alice duduk. Dan aku segera menemukannya asik berbincang dengan seorang anggota klub basket bernama Gama.
Selama ini aku selalu tak sungkan bergabung dengan teman-teman kakak di klub Basket, karena aku akrab dengan mereka semua. Tapi Gama, aku tidak terlalu mengenalnya, bahkan aku belum pernah bertegur sapa dengannya. Gama terlihat dingin, pendiam dan tidak mudah akrab dengan orang lain. Aku jadi malas mendekatinya. Karena itu aku sedikit terkagum-kagum melihat kedua orang itu tiba-tiba ngobrol asik tanpa memperdulikan apapun disekitar mereka.
Kembali ke masa kini…
Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu aku masih melihat kewajaran dalam diri Alice. Si Miss Pe-De ini terus menggoda Gama dengan daya tariknya. Alice yang biasanya, memang seperti itu bila sudah menangkap kelebihan tampang seorang pria. Dan aku akui komentar Alice benar, Gama punya wajah yang sangat manis apalagi dipadukan dengan kulit gelap dan matanya yang indah.
Tapi keadaan itu tak bertahan lama. Kira-kira satu bulan kemudian, aku mulai melihat gelagat aneh Alice didepan pria itu. Ia menunduk malu dan tak jarang salah tingkah setiap kali bertemu dengan Gama. Bahkan setiap Alice melihatnya dari kejauhan, ia selalu histeris malu-malu.
Kembali ke masa lalu…
“Gama?! Oh, my God! Oh, my God! He’s so sweet!”
Kembali ke masa kini…
Komentar manis yang disertai dengan wajah memerah tentunya.
Perlahan tapi pasti, Alice mengakui bahwa ia menyukai Gama, bahkan perasaannya mungkin lebih dari sekedar suka.
Kembali ke masa lalu…
“Ariessa!!!”
Alice berlari cepat kearahku yang sedang asik melamun sendirian di sekret klub Tari.
“Kenapa sih?” tanyaku bingung.
“Gama! Gama!” Alice mendesahkan nama pria itu pelan sambil mengatur nafasnya. “Manis! Manis banget! Dipadukan dengan topi dan jaket hitamnya. Hari ini dia manis banget!”
“Yee… Kirain kenapa” jawabku kecewa.
“Ar, kayaknya aku jatuh cinta deh sama dia!”
“Udah tau tuh!” kataku santai tak menghiraukan.
“Lho?! Kok reaksi kamu gitu sih?!”
“Ga usah kamu kasih tau, aku juga udah tau, Ne!”
“Aku kan baru kasih tau kamu hari ini, kenapa kamu bisa tau duluan?”
“Seorang Alice yang penuh percaya diri, riang, yang selalu mudah beradaptasi dengan siapapun, yang pintar, dewasa, bijaksana dan penuh wibawa. Dalam hitungan detik berubah menjadi Alice yang tidak aku kenal, yang pemalu, mudah gugup, selalu kehilangan kata-kata dan bertindak ceroboh setiap kali bertemu dengan manusia bernama Gama. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang terjadi didalam dirimu?! Kalau bukan cinta, apalagi?!”
“Ariessa, terus aku harus gimana?” rengeknya cemas.
“Ya, ga harus gimana gimana! Tapi cuma satu hal yang bikin aku bingung. Apa kamu sudah tidak mencintai Arga lagi?!”
Alice terdiam, seolah tak ada kata yang dapat menjawab pertanyaan itu.
Kembali ke masa kini…
Arga, teman cowok Alice sejak Alice masih duduk di bangku SMP. Sebelum dilanda virus Gama, aku masih mendengar Alice bercerita tentang pria yang belum lama ini kembali dekat dengannya dan Alice pun mengaku sangat mencintainya. Namun semakin sering mereka bersama, semakin tidak jelas hubungan mereka. Alice yakin Arga juga mencintainya dari perhatian dan pengorbanan yang diberikannya selama ini, tapi Alice tidak pernah berhasil membuat Arga mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya Alice mengeluh bosan.
Dan sejak kemunculan Gama, aku merasa perlahan sosok Arga mulai menghilang dari ingatan Alice, terlihat dari frekuensi Alice menyebutkan nama Arga yang kalah rekornya dengan nama pria pendatang baru itu (Gama pendatang baru didunia Alice, maksudku) . Bahkan tanpa ragu Alice meninggalkannya cinta yang tak pasti itu. Dengan kata lain, kali ini Alice benar-benar serius dengan perasaannya.
Kembali ke masa lalu…
“Ka, Gama itu orangnya seperti apa sih? Baik ga? Dia udah punya pacar belum?”
“Riessa!!!” melongo aneh.
Reaksi kakakku sedikit membuatku tersentak kaget. Sedikit.
“Enggak! Kakak ga ijinin kamu jadian sama anak itu. Ga cocok tau! Kakak malah lebih setuju kalo kamu jadian sama Samuel, dia tuh baik, romantis, perhatian dan penyabar, cocok banget deh sama kamu”
Samuel?! Siapa?! Ga kenal!
Ah, sudahlah! Ga penting!
“Kakak, bukan aku tapi Alice”
Ka Ardon terdiam mendengar kata-kataku.
Aku mengerti dan memaklumi reaksinya kali ini, karena kakakku sempat mengagumi seorang Alice, tapi dia sudah punya Rini, apapun yang terjadi Ka Ardon tidak boleh melukai gadis pilihannya itu.
“Ka…” panggilku untuk menghentikan keheningan yang dibuatnya.
“Gama itu pria yang baik tapi dia sangat tertutup pada orang lain. Dia sudah punya pacar atau belum? kakak ga tau, karena seperti yang kakak bilang, dia sangat tertutup. Kayaknya sih belum. Tapi satu hal yang menarik dari Gama, sampai-sampai kakak ga bisa tidur dibuatnya, dia itu terlalu manis. Gama…Oooh…Gama…”
“Kakak… masih normal kan???”
Kembali ke masa kini…
Rasa suka Alice terhadap Gama membawa kebaikan lain, ia pun bertambah akrab dengan sebagian anggota klub basket. Mereka adalah nama-nama yang disebutkan Alice dalam suratnya. Bahkan Ka Ajie salah seorang alumni klub basket yang semula tidak dikenalnya sekarang sudah seperti kakaknya sendiri. Ini terjadi karena keinginan Alice sendiri yang awalnya berharap akan dapat mengorek keterangan tentang Gama dari mereka. Beberapa dari mereka setelah tahu hal itu tidak berdiam diri, mereka melakukan berbagai macam cara untuk memperdekat Alice dan Gama.
Salah satunya yaitu ketika suatu hari dari kejauhan aku menyaksikan Alice duduk berdua dengan Gama. Saat itu aku tersenyum bangga, aku pikir Alice ada sedikit kemajuan. Tapi tiba-tiba dari belakangku muncul Ka Ajie dengan senyum nakalnya yang ditujukan ke arah mereka. Entah apa yang telah dilakukan Ka Ajie, tapi aku sangat berterimakasih atas usahanya sehingga seorang Gama yang sangat disukai Alice saat itu juga duduk dan tersenyum manis didekatnya.
Semakin hari baik sengaja maupun tidak disengaja, keajaiban selalu datang mempertemukan Gama dan Alice. Alhasil, hubungan mereka berdua semakin dekat. Tapi satu hal yang tidak pernah sekalipun berhasil diatasinya adalah bersikap tenang didepan Gama.
Dengan dukunganku dan yang lain, Alice menumbuhkan tekad suatu saat akan menyatakan perasaannya pada Gama. Selain itu Alice selalu mewujudkan perasaan sayang dan perhatiannya kepada Gama tanpa henti. Sekaleng Pocari yang selalu diberikannya sehabis latihan rutin adalah salah satunya. Itulah yang membuat kami bangga. Alice selalu berusaha dan tidak pernah menyerah. Aku semakin semangat membantu Alice.
Kembali ke masa lalu…
“Satu tiket aku hadiahkan untukmu. Filmnya bagus lho!”
“Malas ah, nonton sendirian”
“Ya, enggaklah. Aku, Floren, Febrian dan Ka Ardon juga ikut. Kita ketemuan jam 7 di depan Mc D. Oke!”
Kembali ke masa kini…
Tiket itu hanya alasan agar Alice dapat kencan berdua dengan Gama. Dengan bantuan Ka Ardon, satu tiket lagi sudah berada ditangan Gama. Dan aku yakin Alice tidak akan mengecewakan pengorbanan kami. Dia pasti menyatakan perasaannya malam itu.
Tapi kenyataan berkata lain. Hari itu juga Alice kehilangan semangat dan tekadnya. Alice merasa tidak lagi memiliki harapan untuk meraih cintanya itu.
Kembali ke masa lalu…
“Apa?! Jadi semalam kamu ga ngomong apa-apa ke dia?” marah Ka Ardon.
Alice hanya menggeleng pelan dengan penuh penyesalan.
“Biar aku pergi tanpa pernah dia tahu perasaanku” ucapnya sendu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?!” tanya Ka Ardon kesal.
“Pergi?! Pergi kemana maksudmu?!” tanyaku melanjutkan pertanyaan Ka Ardon.
“Aku harus meninggalkan kota ini, selamanya”
Pernyataan Alice saat itu juga membuatku dan Ka Ardon tak sanggup berkata-kata.
Kembali ke masa kini…
Karena beberapa hal, orangtua Alice memutuskan untuk kembali ke kota asal mereka di Manado dan meninggalkan kota yang telah menghidupi mereka selama 6 tahun ini. Alice tidak dapat menolak keputusan itu, karena bagaimana mungkin Alice dapat tinggal di kota ini tanpa kedua orangtuanya.
Kembali ke masa lalu…
“Tapi kamu harus menyatakan perasaanmu!”
“Buat apa?! Toh aku akan pergi!”
Kembali ke masa kini…
Rencana keberangkatan Alice membuat semuanya berakhir. Hari-harinya menjelang keberangkatannya pun diwarnai dengan kesedihan. Dan Alice memutuskan untuk mundur sebelum sempat maju ke garis start. Teman-teman pun tidak dapat berbuat apa-apa setelah mendengar rencana kepergiannya itu. Tapi tidak bagiku.
Kembali ke masa lalu…
Aku akan membuktikan bahwa masih ada harapan.
“Dibalik kisah ini tersimpan sebuah harapan dari sebait doa tulusku. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi sekalipun itu hanya sebuah kisah dongeng. Nah, gimana kalau novel itu kamu baca dulu sebelum kamu berangkat!”
Sedikit malas ia membuka lembaran pertama. Tentu saja, karena membaca bukanlah salah satu dari hobinya. Tapi yang satu ini dia pasti suka.
Aku terus memperhatikannya membaca dengan serius, sesekali ia tersenyum, sesekali ia menatapku kesal. Tak sabar ingin mengetahui akhir kisah itu, ia tiba-tiba menutup buku itu dan membukanya kembali dari belakang. Di tariknya nafas dalam-dalam dan dibacanya halaman terakhir dengan penuh harap.
Di depan gerbang sekolah.
Setelah Alice menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam-dalam kepada pria manis bernama Gama. Alice akhirnya melangkahkan kakinya pelan kearah Taksi Bandara yang menjemputnya tanpa berani mengharapkan jawaban dari Gama. Tiba-tiba langkah Alice bertambah berat. Ia tahu alasannya, hatinya butuh jawaban namun ia tak berani kembali untuk bertanya, ia pun tak sanggup berhenti sesaat untuk menunggu.
“Gama, seandainya kamu berkata ‘iya’ tanpa ku bertanya. Aku akan melangkah kembali dan membatalkan keberangkatanku saat ini juga sekalipun tanpa seizin Mama” tekad Alice dalam batinnya.
Tapi sekali lagi dan mungkin untuk yang terakhir kalinya Alice mengubah tekad dalam batinnya.
“Ah, sudahlah! Mungkin ini jalan yang memang harus aku pilih, yaitu meninggalkanmu”
Alice menatap pintu taksi yang terbuka lebar tepat didepannya. Ditariknya nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam taksi. “Selamat tinggal, Jakarta!”
“Alice!!! Kembali!!!”
Perintah tegas yang tiba-tiba keluar dari mulut Gama seketika membuat Alice menghentikan gerak tubuhnya. Namun Alice tidak membalikkan tubuhnya, ia hanya terdiam kaget, tak percaya dengan suara yang baru saja didengarnya. Gama memintanya kembali.
“Alice… Aku akan mengatakan ‘aku mencintaimu’ jika itu dapat membuatmu tidak meninggalkan Jakarta selangkahpun! Kamu harus tetap disini! Alice… Jangan pergi! Aku tidak ingin kehilangan kamu!”
Tanpa disadari, airmata Alice telah mengalir melewati bibirnya.
“ALICE…. AKU JUGA MENCINTAIMU…. AKU SANGAT MENCINTAIMU….”
Tiba-tiba pelukan hangat mendarat ditubuh Alice. Alice menemukan wajah cantik mamanya yang memeluknya dengan mata berlinang.
“Nak, jangan pernah melakukan sesuatu dengan keraguan! Tentukan pilihanmu sekarang! Tinggallah disini, jika menurutmu itu yang terbaik!”
Alice tersenyum bahagia menatap sang mama yang akhirnya mengizinkannya tinggal di Jakarta lebih lama lagi.
“Pergilah, Nak!!! Temui pangeranmu!”
Segera, Alice membalikkan badannya, menatap lekat kearah Gama yang berdiri membelakangi teman-temannya yang lain. Dilihatnya kedua tangan Gama bergerak terbuka lebar, seolah mengundang Alice untuk segera mengisi pelukannya. Dan Alice mengerti isyarat itu. Gama bersedia membalas cintanya.
Berlari, Alice menghampiri pria yang tersenyum manis itu dan meraih uluran tangannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan.
Ia menutup buku itu setelah selesai membaca akhirnya. Tanpa ia sadari airmata telah memenuhi wajahnya yang putih bersih. Ia menatapku dengan senyum haru dan menarikku kepelukannya, sesaat namun erat.
“Seandainya saja kisah itu dapat terwujud”
“Karena itu, jangan katakan tidak. Kamu harus menyatakan perasaanmu padanya! Karena tidak ada yang tidak mungkin” aku mendorong Alice masuk ke ruang klub Basket. “Katakan sekarang juga! Aku tahu kamu bukan gadis lemah yang gampang menyerah pada keadaan, Alice”
“Tapi, Ar, aku takut, bagaimana kalau dia…”
“Alice. Now or never!”
Alice dengan wajahnya yang pucat memasuki ruangan. Sesaat kemudian semua penghuni ruangan kecuali Gama meninggalkan ruangan itu, sebagian dari mereka yang tah permasalahannya menemaniku diluar. Aku berdiri cemas didepan pintu ruangan itu, sesekali kupekakan telinga agar terdengar pembicaraan mereka.
“Hei, kenapa kalian berdiri di depan pintu? Ayo kita ma…”
Aku menarik tubuh Ka Ardon menjauhi pintu masuk ruangan itu.
“Ka, Gama dan Alice didalam” bisikku.
“Berarti, novel yang kamu buat berhasil meyakinkan Alice untuk mengungkapkan perasaannya?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“Kamu memang adikku yang paling hebat!” pujinya sambil mengelus rambut panjangku.
Pujian Ka Ardon mengakhiri kebisingan tempat itu, sesayup kalimat terdengar dari dalam ruangan. Kalimat yang membuat kami semua tercengang kaget.
“Aku sangat senang mendapatkan perhatianmu selama ini, tapi saat ini bukan kamu gadis yang aku sukai. Aku tidak bisa membalas rasa sukamu”
Jawaban Gama atas pernyataan Alice.
Sesaat kemudian Alice berlari keluar dari ruangan klub sambil menangis.
Kembali ke masa kini…
Sebuah kisah yang telah menumbuhkan kembali semangat Alice, ternyata hanya sebatas goresan pena. Kenyataannya tidaklah seindah itu. Keadaan saat itu malah semakin memburuk dan semuanya karena aku, karena semangat salah yang telah aku berikan. Keputusan semula Alice benar, sebaiknya tak usah dikatakan, dan aku telah menghancurkan segalanya. Bahkan sampai saat ini aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.
Kembali ke masa lalu…
“Sudahlah, Ariessa, jangan menangis!”
“Tapi ini semua gara-gara aku!”
“Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Kamu benar karena telah membuatku kuat. Apapun yang terjadi, aku tidak peduli, yang penting kini aku merasa lega, aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, dan aku berhasil melakukannya karena kamu”
“Tapi kan…”
“Sudahlah, jangan buat aku semakin sedih”
Kembali ke masa kini…
Alice pun meninggalkan Jakarta dengan membawa luka hatinya. Tak seorang pun dari kami diijinkannya untuk mengantar sampai bandara, dia tidak ingin kami melihatnya menangis.
Tapi kami yakin suatu hari nanti Alice mampu melupakan Gama dan menyimpannya hanya sebagai kenangan. Sekaranglah bukti nyata Alice telah mendapatkan seseorang pengganti Gama dihatinya.
Tersenyum sejenak, aku kembali membuka lipatan surat itu dan melanjutkan membaca kalimat selanjutnya. Dan aku dikejutkan dengan kata-kata lanjutannya.
Tentu saja kamu tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Karena dia ada disini bersamaku.
“Apa?! Tidak mungkin!!!”
Akhir-akhir ini aku memang tidak lagi mendengar kabar Gama. Yang terakhir kudengar dari Ka Ardon, sekarang ia sudah menyelesaikan kuliah S1 nya dan bekerja berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lain. Tapi, apa ini jawaban atas ketulusan cinta Alice untuknya selama ini?
Setibanya aku di Biak, aku bekerja di toko roti milik mamaku. Dalam waktu singkat toko roti itu mempunyai banyak pelanggan dan kelezatannya terkenal diseluruh pelosok kota ini. Toko roti ini pula yang 4 tahun kemudian mempertemukan aku dengan Gama. Gama dipindah tugaskan ke Biak, suatu hari dia melihatku didepan toko dan tanpa ragu menemuiku. Alhasil, perasaan ini dimulai kembali. Tapi kali ini bukan hanya perasaan sepihak, karena kami sudah bertunangan.
Semua ini juga karena kamu, Ariessa. Harapan yang kamu goreskan dalam kisah itu, memberikanku kekuatan untuk tidak berputus asa. Karena tidak ada yang tidak mungkin.
Nah, bagaimana dengan kamu? Kapan aku akan membaca surat cintamu? Aku sangat menantikannya.
Surat cintaku?! Aku sendiri tidak tahu kapan akan kukirimkan. Karena aku belum merasakan cinta seindah yang kau rasakan saat ini, Alice.
“Hiks hiks hiks… Gama dan Alice sudah bertunangan. Lalu bagaimana denganku. Huaaaaa…Alice…”
Lho?! Ternyata kakakku ikut membaca dibelakangku dan dia berteriak histeris setelah mengetahui kabar bahagia itu.
Setelah pisah dari Rini dua tahun yang lalu sepertinya Ka Ardon berharap suatu saat akan mendapatkan cinta Alice, tapi sayang sudah terlambat.
“Riessa… tinggal kamu seorang yang bisa mendampingi kakakmu yang malang ini! Jangan tinggalkan kakak ya, sayang!” pintanya sambil memelukku erat-erat.
“Pos!!!”
Kami terhentak kaget mendengar suara pak pos yang kali ini melengking aneh.
Aku segera menghampiri si tukang pos yang datang untuk kedua kalinya itu.
“Lho, pak?! Kok datang lagi?! Ada yang tertinggal?”
“Ada satu surat lagi untuk Nona Ariessa! Ditambah dengan setangkai mawar merah ini” jawab pria itu sambil menyerahkan surat beramplop merah muda serta setangkai mawar merah.
“Dari siapa, pak? Kok ga ada perangkonya?”
“Dari aku!”
Seorang pria berpakaian rapi dengan jaket birunya tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Masih ada kesempatan untukku mencintaimu, Rica?”
“Erick?!”
“Didalam surat itu aku mengabadikan cintaku dan menunggu balasan darimu…”
Aku menatap Erick sedikit bimbang. Berawal dari kebetulan kami melanjutkan di universitas yang sama hubungan kami semakin dekat. Sampai saat ini aku sangat mencintainya tapi dia tidak pernah memberiku kepastian tentang ungkapan perasaanku selama ini.
Beberapa minggu yang lalu aku memutuskan untuk melupakannya. Karena aku pikir selama 5 tahun ini aku hanya terlalu melebih-lebihkan sikap manisnya padaku. Tapi sekarang dia tiba-tiba datang padaku. Mengucap kata yang selama ini aku nantikan. Apa aku punya keberanian untuk menolaknya?
“Ariessa Rislany! Bukan daging Rica-Rica! Tapi aku senang hanya kamu yang memanggilku seperti itu” senyumku penuh arti. “Masuk! Kita ngobrol didalam”
Alice, mungkin pria ini yang suatu saat nanti akan kutuliskan namanya didalam surat cintaku untukmu.
Mengiringi langkah Erick memasuki ruang tamu, aku tersenyum nakal penuh arti kepada pria sister complex (pecinta adik sendiri) itu.
“Oh, tidak!!! Erick, sekali lagi aku peringatkan!!! Jangan rebut adikku!!!”
“Siapa elu nyuruh-nyuruh gua?!” balas Erick tersenyum riang.
♥ TaMaT ♥
REMBULAN DI PAGI MATAHARI (PART 1)
Ia datang setiap saat langit berganti
Ketika semua nafas kembali dalam sadar
Ia serukan kekalahannya pada dunia
Dan membangunkan lawannya
Bukan untuk mengeluh atau memaki penuh benci
Tapi untuk berikan semangat dan kekuatan
Pada lawan yang begitu bersinar baginya
Demikianlah yang dilakukan Rembulan di pagi Matahari
Di setiap hari yang mereka lalui
Di atas langit yang sama
Juni 2007
By, Ressa Novita (Ocha)
Pukul 6 sore, pada jam-jam itulah Matahari merasakan kantuk menyerangnya dengan begitu dashyat. Saat itu tanpa berpikir panjang ia segera mengucap salam perpisahan pada sahabatnya, para awan, melambaikan tangan pada kawan-kawan burung yang hendak kembali ke sarang, setelah itu meredupkan sedikit sinarnya kemudian menutup mata dari indahnya dunia. Dan semua itu berulang setiap hari yang ia lalui.
Ia sadar tak akan selalu semudah itu ia terlelap, karena itu seringkali ia memanggil sekelompok Angin untuk menyejukkan tubuhnya dan tak lupa meminta beberapa Bintang yang lebih dahulu datang untuk menyanyikan sebuah lagu tidur dengan melodi nan lembut untuknya. Maka ia pun akan benar-benar pulas dalam peraduannya yang mulai mendingin.
Matahari tidak pernah memikirkan ataupun perduli pada dunia yang baru saja ia sembunyikan cahayanya. Ia tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu, bahwa ketika ia bernafas lega dalam tidur nyenyaknya, dunia lemah, begitu juga dengan segala isi yang ada di dalamnya.
Saat itulah Rembulan datang, mencoba berdiri menggantikan posisi Matahari. Tapi sayangnya Rembulan begitu dingin, tak sedikitpun kehangatan Matahari yang ada padanya. Lalu bagaimana ia dapat menghangatkan dunia? Bagaimana pula ia dapat memberikan cahaya untuk mengusir kegelapan ini? Dalam lamunannya Rembulan putus asa. Ia sadar, ia tak sehebat Matahari. Ia pun tak akan mendapat pujian sebanyak yang didapat Matahari. Matahari hanyalah angan-angan bagi Rembulan.
“Jangan sedih!” suatu hari sebuah Bintang berbisik padanya.
Saat itu Rembulan melemparkan tatapan sinis pada si Bintang.
Ia begitu mungil, seratus bintang macam ia pun tak akan mengalahkan ukuran tubuhku. Tapi ia memiliki apa yang selama ini aku inginkan, cahaya. Ia bahkan memiliki cahaya yang amat terang. Dunia dan isinya pasti akan sangat menikmati keindahannya. Jujur, aku iri padanya. Batin Rembulan.
“Ambillah cahaya Matahari sebanyak yang kamu mau!”
Mendengar lanjutan kata-kata Bintang, Rembulan segera menghilangkan pemikirannya tentang Bintang yang semula membuatnya terlihat sedikit tidak ramah.
“Tapi, bagaimana dengan Matahari?! Apa dia akan baik-baik saja jika aku mengambil cahayanya?!” Tanya Rembulan gelisah.
“Hahaha…” Bintang tertawa kecil.
Bagi Bintang baru kali ini ia melihat mahluk langit yang sedemikian polos dan bodohnya. Apakah mahkluk langit memiliki perasaan sepeka manusia?! Mengkhawatirkan mahkluk lain! Apa mungkin?! Batin Bintang.
“Kita mahkluk langit, bukan manusia atau sejenisnya yang hidup dan melangkah secara horizontal. Memiliki apa yang kita inginkan lebih penting dari apapun. Kenapa kamu harus memikirkan yang akan terjadi pada Matahari?! Toh, ia tidak akan tahu. Ia tak akan terbangun sebelum Ayam-ayam di bumi berkokok. Lagipula kamu kan tahu sendiri, cahayanya tidak akan pernah habis. Tuhan memberinya kepercayaan untuk menyinari seluruh Bima Sakti ini. Ia dianugrahi cahaya abadi yang tak akan redup sekalipun kiamat datang berulangkali dan menghancurkan kita semua”
“Tapi…”
“Tapi apalagi?! Maksud kamu kan baik, ingin memberi kebahagiaan pada dunia di saat Matahari tidak memperdulikan mereka lagi. Ambillah sebanyak mungkin cahayanya! Maka dunia akan mencintai kamu seperti dunia mencintai Matahari”
Bintang berhenti bicara. Membiarkan Rembulan larut dalam pikirannya untuk mempertimbangkan saran Bintang.
Satu hari, satu minggu, satu bulan. Akhirnya Rembulan bertekad bulat untuk mengambil cahaya Matahari. Lebih tepatnya mencuri. Tapi, sungguh Rembulan tidak ingin melebihi Matahari, karena ia sangat mengagumi kehangatan tunggal yang dimilikinya.
Lahirlah Rembulan sebagai sosok yang baru. Dengan cahaya redup yang indah. Cahaya yang menyelimuti tubuhnya bahkan tak setengah dari yang dimiliki Matahari. Ruang kehidupan ini tetap gelap, namun semua makhluk akan merasakan cahayanya setiap kali menatap langit. Dan sejak saat itu ia begitu dikagumi kala Matahari meninggalkan dunia dalam keadaan gelap tanpa cahaya.
Bintang-bintang menjadi mahluk langit yang paling bahagia, kini mereka dapat menikmati cahaya yang begitu hebat, harapan yang tak akan terwujud jika mereka terus menanti keajaiban datang dan membangunkan Matahari sebelum waktunya.
Para Awan menari kegirangan, mereka senang karena selama 24 jam mereka bermandikan cahaya. Makhluk bumi tak akan menganggap mereka hilang bersama Matahari lagi. Biar mahluk bumi tahu, ada atau tidak Matahari, para Awan tak pernah meninggalkan mereka.
Burung-burung malam menyerukan puji-pujian kepada Rembulan. Akhirnya mereka tak lagi kesulitan mencari mangsa. Cahaya Rembulan bagi mereka sangat cukup untuk membantu mereka. Terang namun dingin. Itu lebih baik dibandingkan Matahari yang akan membunuh mereka dengan cahaya panasnya.
Serangga-serangga malam tak henti-hentinya bernyanyi. Mereka menghabiskan waktu sambil menikmati keindahan langit dengan cahaya redup Rembulan dipadu dengan kilauan Bintang-bintang dan tarian Awan nan lembut. Mereka sangat menyukai kehadiran Rembulan. Dan berharap untuk selamanya akan terus seperti ini.
Kebanggaan terbesar dirasakan Rembulan ketika semua manusia mengelu-elukan keindahan cahayanya. Mereka tak sekalipun melupakan kehangatan redup yang mengantar mereka memasuki gerbang di alam yang berbeda, alam mimpi yang penuh dengan keajaiban dan harapan.
Rembulan bagaikan surga bagi mereka semua yang dianugrahi penglihatan sempurna, kecuali Matahari. Si pemilik cahaya Rembulan.
* * *
Ketidaktahuan menaungi cahaya indah Matahari di pagi hari. Seperti biasa ia akan terbangun dengan keengganan menyapa dunia. Biasanya ia akan bergumam barang sejenak setelah ia merasa mual untuk terus menutup mata. Kadang mengeluh akan jenuhnya hidup, kadang berkomentar tentang ketidakadilan dunia yang seringkali dilihatnya, bahkan kadang ia mencibir pelan kepada makhluk-makhluk di sekitarnya yang menurutnya janggal atau terlihat menyebalkan. Setelah selesai dengan rutinitas demikian, ia akan kembali kepada dirinya semula. Yang setiap kali menatap luasnya langit, birunya laut, tingginya gunung dan megahnya kota-kota ciptaan manusia , dengan riang ia akan berseru “Oh, alangkah indahnya dunia!”
Suatu pagi, ia terbangun sebelum Ayam-ayam milik Manusia-manusia di bumi membangunkannya. Sapaan hangat dengan suara yang begitu merdu melintasi pendengarannya.
“Selamat pagi, Matahari!” untuk ke tiga kalinya suara itu datang, membuat Matahari benar-benar harus membeningkan pandangannya yang masih terasa berat.
Segera Matahari menatap ke atas langit. Saat ia berhasil menajamkan mata, ia menemukan bola angkasa yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Bola itu mengeluarkan cahaya, sedikit redup, dan jika terus diperhatikan cahaya itu terus meredup.
Saat melihat cahaya bola itu terus meredup, ia teringat dengan kata-kata Tuhan yang diucapkan padanya milyaran tahun yang lalu, ketika Ia selesai menciptakan bumi.
“Tidak ada cahaya yang dapat menandingi cahaya tubuhmu, kecuali cahaya tunggal Ku. Cahaya apapun akan terus meredup dan mati tanpa sisa, jika bertemu dengan cahayamu. Termasuk bintang, pelangi maupun cahaya-cahaya hebat buatan manusia”
Ah, benar. Dia meredup karena aku terbangun. Mungkin dia akan bersinar lebih lama seandainya saja ia tidak membangunkanku. Padahal dia memiliki cahaya yang sangat cantik, meskipun tidak banyak. Batin Matahari.
Dan dia sangat ramah. Dia tak henti tersenyum padaku.
“Selamat pagi!” Matahari membalas sapaan bola cantik yang tak dikenalnya itu dan tak lupa melemparkan senyuman tanda bahwa Matahari amat senang bertemu dengannya.
Setelah itu Matahari tak lepas memandangnya. Ia bahkan melupakan rutinitasnya di setiap pagi. Dan tidak menyerukan keindahan dunia. Ia terbuai keindahan sesosok cahaya yang sama sekali tidak dikenalnya. Mendengar perihal keberadaannya pun tidak.
* * *
“Ada apa dengan mu, Matahari?! Kamu lupa menyapaku pagi ini! Beberapa pagi sebelumnya juga! Kamu bahkan tidak menghiraukan kedatanganku!” tanya seekor kelelawar dengan nada sedikit meninggi. Maklum, sejak tadi Kelelawar sengaja berdiri di depan Matahari, namun sedikitpun Matahari tidak menyadari kehadirannya. Dan ini bukan untuk yang pertama kalinya bagi Kelelawar.
“Matahari!” ulang Kelelawar.
“Ah, pagi Kelelawar!” sapa Matahari singkat.
Setelah itu ia kembali menghiraukan Kelelawar dan melanjutkan rutinitas barunya yang sama sekali belum dimengerti teman-temannya, tak terkecuali Kelelawar.
“Matahari!” panggil Kelelawar dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Ehm?!” sahut Matahari ringan. Dan ia masih belum benar-benar menghiraukan Kelelawar.
“Apa sih yang kamu lihat sampai-sampai kamu melupakan segalanya?!”
“Aku tidak melupakan apapun!”
Kelelawar mencoba mengikuti arah pandangan Matahari. Dan ia tak melihat apapun yang menarik kecuali langit yang hampir seluruhnya bermandikan cahaya Matahari.
“Ah, sudahlah! Kamu semakin panas dan membuat pandanganku semakin gelap. Kalau aku harus menunggumu menjawab pertanyaan sederhanaku. Bisa-bisa aku mati terbakar disini”
Tanpa memperdulikan Matahari yang juga tidak memperdulikannya, Kelelawar mulai mengepakkan sayap-sayap tipisnya untuk terbang kembali ke pohon tempat tinggalnya.
“Eh, tunggu!”
Tahan Matahari, tiba-tiba. Hampir saja Kelelawar hilang keseimbangan mendengar perintah Matahari.
“Apa?!” tanya Kelelawar, judes.
“Apa ada bola angkasa bercahaya yang menyerupai aku di malam hari?”
“Maksudmu Rembulan?!”
“Oh, jadi namanya Rembulan. Berarti sekarang dunia tidak lagi gelap saat aku tertidur?”
“Kamu salah! Dunia selalu gelap saat kamu tertidur, sekalipun ada 100 Rembulan yang menggantikanmu. Dia begitu kecil dan redup, bahkan aku tidak yakin kalau cahaya yang dimilikinya alami. Tidak seperti kamu. Duh, aku pulang dulu ya! Panas nih!”
“Dan dia akan pergi saat aku terbangun?!”
“Bukannya pergi, tapi tak terlihat. Seperti kamu membuat bintang-bintang tak terlihat. Sudah ah! Jangan tanya lagi!”
“Dan dia tidak terdengar lagi suaranya?!”
“Itu karena kamu berotasi menjauhinya!”
Setelah Kelelawar berlalu, Matahari kembali menatap ke arah bola angkasa yang kini dia kenal sebagai Rembulan. Tapi, terlambat, ia sama sekali tidak dapat melihatnya lagi.
“Oh, padahal aku ingin terus melihatmu di langit ini, Rembulan!”
* * *
Pagi ini Matahari terbangun oleh sapaan Rembulan, sama seperti 100 pagi yang ia lalui sejak kehadiran Rembulan di langit fajar yang seharusnya hanya miliknya. Matahari rela berbagi dengannya, toh ia tidak bertahan lebih dari 30 menit. Lagipula Matahari merasa teramat lebih baik setiap kali terbangun dengan sapaan Rembulan. Membuka mata disertai senyuman bagi Matahari sudah sangat mewakili kalimat yang biasa diucapkannya sebelum kehadiran Rembulan “Oh, indahnya dunia!”.
100 hari berlalu hanya dengan sapaan selamat pagi dari kedua belah pihak, dan keadaan itu terlihat sangat membosankan bagi setaman bunga matahari yang setiap saat mengikuti gerak-gerik Matahari. Mereka sepakat mendorong Matahari untuk memulai pembicaraan.
“Tanyakan padanya, apa yang dia lakukan dihari sepagi ini?” saran setangkai bunga matahari.
“Jangan! Jangan! Mulailah pembicaraan dengan memuji keindahannya!” saran setangkai bunga matahari yang lainnya.
“Bukan begitu! Berbasa-basilah! Tanyakan, apa kamu tidak lelah membangunkanku setiap pagi?”
“Sudah-sudah! Biar aku bertanya sendiri, kalian tidak usah mengajariku!”
Pagi-pagi dengan menghemat kata telah berakhir. Matahari tak lagi sungkan meneriakkan nama Rembulan. Rembulan pun dengan senang hati menceritakan kisah-kisah lucu karangannya sendiri dan membuat pagi Matahari penuh tawa.
“Terimakasih, Rembulan! Kamu selalu ada setiap kali aku membuka mata!”
“Jangan sungkan, apa yang aku lakukan tidak seberapa dibandingkan pengorbananmu pada dunia dan seluruh isi bima sakti ini”
“Ah, apa benar? Mahluk bumi bermimpi saat tidur di malam hari”
“Yah, dan mereka menikmati mimpi mereka”
“Seberapa banyak Bintang yang menemanimu? Oh, senangnya! Mereka begitu indah. Tapi mereka tidak bisa menemaniku. Aku terlalu silau dan panas”
Jika bukan karena bujukan setaman bunga matahari mungkin Matahari tidak akan mengenal Rembulan lebih dari kekaguman akan keindahannya. Begitu juga dengan Rembulan.
Kini, pagi adalah 30 menit penuh arti bagi mereka berdua. Menit berikutnya menjadi lebih berarti bagi Matahari, karena ia percaya Rembulan tak akan pergi meninggalkan pagi miliknya. Sekarang, esok, ataupun lusa. Akan mereka rajut cinta, bersama. Untuk persembahkan kehangatan cahaya pada dunia di dua waktu yang berbeda.
Ketika semua nafas kembali dalam sadar
Ia serukan kekalahannya pada dunia
Dan membangunkan lawannya
Bukan untuk mengeluh atau memaki penuh benci
Tapi untuk berikan semangat dan kekuatan
Pada lawan yang begitu bersinar baginya
Demikianlah yang dilakukan Rembulan di pagi Matahari
Di setiap hari yang mereka lalui
Di atas langit yang sama
Juni 2007
By, Ressa Novita (Ocha)
Pukul 6 sore, pada jam-jam itulah Matahari merasakan kantuk menyerangnya dengan begitu dashyat. Saat itu tanpa berpikir panjang ia segera mengucap salam perpisahan pada sahabatnya, para awan, melambaikan tangan pada kawan-kawan burung yang hendak kembali ke sarang, setelah itu meredupkan sedikit sinarnya kemudian menutup mata dari indahnya dunia. Dan semua itu berulang setiap hari yang ia lalui.
Ia sadar tak akan selalu semudah itu ia terlelap, karena itu seringkali ia memanggil sekelompok Angin untuk menyejukkan tubuhnya dan tak lupa meminta beberapa Bintang yang lebih dahulu datang untuk menyanyikan sebuah lagu tidur dengan melodi nan lembut untuknya. Maka ia pun akan benar-benar pulas dalam peraduannya yang mulai mendingin.
Matahari tidak pernah memikirkan ataupun perduli pada dunia yang baru saja ia sembunyikan cahayanya. Ia tak pernah tahu dan tak pernah mau tahu, bahwa ketika ia bernafas lega dalam tidur nyenyaknya, dunia lemah, begitu juga dengan segala isi yang ada di dalamnya.
Saat itulah Rembulan datang, mencoba berdiri menggantikan posisi Matahari. Tapi sayangnya Rembulan begitu dingin, tak sedikitpun kehangatan Matahari yang ada padanya. Lalu bagaimana ia dapat menghangatkan dunia? Bagaimana pula ia dapat memberikan cahaya untuk mengusir kegelapan ini? Dalam lamunannya Rembulan putus asa. Ia sadar, ia tak sehebat Matahari. Ia pun tak akan mendapat pujian sebanyak yang didapat Matahari. Matahari hanyalah angan-angan bagi Rembulan.
“Jangan sedih!” suatu hari sebuah Bintang berbisik padanya.
Saat itu Rembulan melemparkan tatapan sinis pada si Bintang.
Ia begitu mungil, seratus bintang macam ia pun tak akan mengalahkan ukuran tubuhku. Tapi ia memiliki apa yang selama ini aku inginkan, cahaya. Ia bahkan memiliki cahaya yang amat terang. Dunia dan isinya pasti akan sangat menikmati keindahannya. Jujur, aku iri padanya. Batin Rembulan.
“Ambillah cahaya Matahari sebanyak yang kamu mau!”
Mendengar lanjutan kata-kata Bintang, Rembulan segera menghilangkan pemikirannya tentang Bintang yang semula membuatnya terlihat sedikit tidak ramah.
“Tapi, bagaimana dengan Matahari?! Apa dia akan baik-baik saja jika aku mengambil cahayanya?!” Tanya Rembulan gelisah.
“Hahaha…” Bintang tertawa kecil.
Bagi Bintang baru kali ini ia melihat mahluk langit yang sedemikian polos dan bodohnya. Apakah mahkluk langit memiliki perasaan sepeka manusia?! Mengkhawatirkan mahkluk lain! Apa mungkin?! Batin Bintang.
“Kita mahkluk langit, bukan manusia atau sejenisnya yang hidup dan melangkah secara horizontal. Memiliki apa yang kita inginkan lebih penting dari apapun. Kenapa kamu harus memikirkan yang akan terjadi pada Matahari?! Toh, ia tidak akan tahu. Ia tak akan terbangun sebelum Ayam-ayam di bumi berkokok. Lagipula kamu kan tahu sendiri, cahayanya tidak akan pernah habis. Tuhan memberinya kepercayaan untuk menyinari seluruh Bima Sakti ini. Ia dianugrahi cahaya abadi yang tak akan redup sekalipun kiamat datang berulangkali dan menghancurkan kita semua”
“Tapi…”
“Tapi apalagi?! Maksud kamu kan baik, ingin memberi kebahagiaan pada dunia di saat Matahari tidak memperdulikan mereka lagi. Ambillah sebanyak mungkin cahayanya! Maka dunia akan mencintai kamu seperti dunia mencintai Matahari”
Bintang berhenti bicara. Membiarkan Rembulan larut dalam pikirannya untuk mempertimbangkan saran Bintang.
Satu hari, satu minggu, satu bulan. Akhirnya Rembulan bertekad bulat untuk mengambil cahaya Matahari. Lebih tepatnya mencuri. Tapi, sungguh Rembulan tidak ingin melebihi Matahari, karena ia sangat mengagumi kehangatan tunggal yang dimilikinya.
Lahirlah Rembulan sebagai sosok yang baru. Dengan cahaya redup yang indah. Cahaya yang menyelimuti tubuhnya bahkan tak setengah dari yang dimiliki Matahari. Ruang kehidupan ini tetap gelap, namun semua makhluk akan merasakan cahayanya setiap kali menatap langit. Dan sejak saat itu ia begitu dikagumi kala Matahari meninggalkan dunia dalam keadaan gelap tanpa cahaya.
Bintang-bintang menjadi mahluk langit yang paling bahagia, kini mereka dapat menikmati cahaya yang begitu hebat, harapan yang tak akan terwujud jika mereka terus menanti keajaiban datang dan membangunkan Matahari sebelum waktunya.
Para Awan menari kegirangan, mereka senang karena selama 24 jam mereka bermandikan cahaya. Makhluk bumi tak akan menganggap mereka hilang bersama Matahari lagi. Biar mahluk bumi tahu, ada atau tidak Matahari, para Awan tak pernah meninggalkan mereka.
Burung-burung malam menyerukan puji-pujian kepada Rembulan. Akhirnya mereka tak lagi kesulitan mencari mangsa. Cahaya Rembulan bagi mereka sangat cukup untuk membantu mereka. Terang namun dingin. Itu lebih baik dibandingkan Matahari yang akan membunuh mereka dengan cahaya panasnya.
Serangga-serangga malam tak henti-hentinya bernyanyi. Mereka menghabiskan waktu sambil menikmati keindahan langit dengan cahaya redup Rembulan dipadu dengan kilauan Bintang-bintang dan tarian Awan nan lembut. Mereka sangat menyukai kehadiran Rembulan. Dan berharap untuk selamanya akan terus seperti ini.
Kebanggaan terbesar dirasakan Rembulan ketika semua manusia mengelu-elukan keindahan cahayanya. Mereka tak sekalipun melupakan kehangatan redup yang mengantar mereka memasuki gerbang di alam yang berbeda, alam mimpi yang penuh dengan keajaiban dan harapan.
Rembulan bagaikan surga bagi mereka semua yang dianugrahi penglihatan sempurna, kecuali Matahari. Si pemilik cahaya Rembulan.
* * *
Ketidaktahuan menaungi cahaya indah Matahari di pagi hari. Seperti biasa ia akan terbangun dengan keengganan menyapa dunia. Biasanya ia akan bergumam barang sejenak setelah ia merasa mual untuk terus menutup mata. Kadang mengeluh akan jenuhnya hidup, kadang berkomentar tentang ketidakadilan dunia yang seringkali dilihatnya, bahkan kadang ia mencibir pelan kepada makhluk-makhluk di sekitarnya yang menurutnya janggal atau terlihat menyebalkan. Setelah selesai dengan rutinitas demikian, ia akan kembali kepada dirinya semula. Yang setiap kali menatap luasnya langit, birunya laut, tingginya gunung dan megahnya kota-kota ciptaan manusia , dengan riang ia akan berseru “Oh, alangkah indahnya dunia!”
Suatu pagi, ia terbangun sebelum Ayam-ayam milik Manusia-manusia di bumi membangunkannya. Sapaan hangat dengan suara yang begitu merdu melintasi pendengarannya.
“Selamat pagi, Matahari!” untuk ke tiga kalinya suara itu datang, membuat Matahari benar-benar harus membeningkan pandangannya yang masih terasa berat.
Segera Matahari menatap ke atas langit. Saat ia berhasil menajamkan mata, ia menemukan bola angkasa yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Bola itu mengeluarkan cahaya, sedikit redup, dan jika terus diperhatikan cahaya itu terus meredup.
Saat melihat cahaya bola itu terus meredup, ia teringat dengan kata-kata Tuhan yang diucapkan padanya milyaran tahun yang lalu, ketika Ia selesai menciptakan bumi.
“Tidak ada cahaya yang dapat menandingi cahaya tubuhmu, kecuali cahaya tunggal Ku. Cahaya apapun akan terus meredup dan mati tanpa sisa, jika bertemu dengan cahayamu. Termasuk bintang, pelangi maupun cahaya-cahaya hebat buatan manusia”
Ah, benar. Dia meredup karena aku terbangun. Mungkin dia akan bersinar lebih lama seandainya saja ia tidak membangunkanku. Padahal dia memiliki cahaya yang sangat cantik, meskipun tidak banyak. Batin Matahari.
Dan dia sangat ramah. Dia tak henti tersenyum padaku.
“Selamat pagi!” Matahari membalas sapaan bola cantik yang tak dikenalnya itu dan tak lupa melemparkan senyuman tanda bahwa Matahari amat senang bertemu dengannya.
Setelah itu Matahari tak lepas memandangnya. Ia bahkan melupakan rutinitasnya di setiap pagi. Dan tidak menyerukan keindahan dunia. Ia terbuai keindahan sesosok cahaya yang sama sekali tidak dikenalnya. Mendengar perihal keberadaannya pun tidak.
* * *
“Ada apa dengan mu, Matahari?! Kamu lupa menyapaku pagi ini! Beberapa pagi sebelumnya juga! Kamu bahkan tidak menghiraukan kedatanganku!” tanya seekor kelelawar dengan nada sedikit meninggi. Maklum, sejak tadi Kelelawar sengaja berdiri di depan Matahari, namun sedikitpun Matahari tidak menyadari kehadirannya. Dan ini bukan untuk yang pertama kalinya bagi Kelelawar.
“Matahari!” ulang Kelelawar.
“Ah, pagi Kelelawar!” sapa Matahari singkat.
Setelah itu ia kembali menghiraukan Kelelawar dan melanjutkan rutinitas barunya yang sama sekali belum dimengerti teman-temannya, tak terkecuali Kelelawar.
“Matahari!” panggil Kelelawar dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Ehm?!” sahut Matahari ringan. Dan ia masih belum benar-benar menghiraukan Kelelawar.
“Apa sih yang kamu lihat sampai-sampai kamu melupakan segalanya?!”
“Aku tidak melupakan apapun!”
Kelelawar mencoba mengikuti arah pandangan Matahari. Dan ia tak melihat apapun yang menarik kecuali langit yang hampir seluruhnya bermandikan cahaya Matahari.
“Ah, sudahlah! Kamu semakin panas dan membuat pandanganku semakin gelap. Kalau aku harus menunggumu menjawab pertanyaan sederhanaku. Bisa-bisa aku mati terbakar disini”
Tanpa memperdulikan Matahari yang juga tidak memperdulikannya, Kelelawar mulai mengepakkan sayap-sayap tipisnya untuk terbang kembali ke pohon tempat tinggalnya.
“Eh, tunggu!”
Tahan Matahari, tiba-tiba. Hampir saja Kelelawar hilang keseimbangan mendengar perintah Matahari.
“Apa?!” tanya Kelelawar, judes.
“Apa ada bola angkasa bercahaya yang menyerupai aku di malam hari?”
“Maksudmu Rembulan?!”
“Oh, jadi namanya Rembulan. Berarti sekarang dunia tidak lagi gelap saat aku tertidur?”
“Kamu salah! Dunia selalu gelap saat kamu tertidur, sekalipun ada 100 Rembulan yang menggantikanmu. Dia begitu kecil dan redup, bahkan aku tidak yakin kalau cahaya yang dimilikinya alami. Tidak seperti kamu. Duh, aku pulang dulu ya! Panas nih!”
“Dan dia akan pergi saat aku terbangun?!”
“Bukannya pergi, tapi tak terlihat. Seperti kamu membuat bintang-bintang tak terlihat. Sudah ah! Jangan tanya lagi!”
“Dan dia tidak terdengar lagi suaranya?!”
“Itu karena kamu berotasi menjauhinya!”
Setelah Kelelawar berlalu, Matahari kembali menatap ke arah bola angkasa yang kini dia kenal sebagai Rembulan. Tapi, terlambat, ia sama sekali tidak dapat melihatnya lagi.
“Oh, padahal aku ingin terus melihatmu di langit ini, Rembulan!”
* * *
Pagi ini Matahari terbangun oleh sapaan Rembulan, sama seperti 100 pagi yang ia lalui sejak kehadiran Rembulan di langit fajar yang seharusnya hanya miliknya. Matahari rela berbagi dengannya, toh ia tidak bertahan lebih dari 30 menit. Lagipula Matahari merasa teramat lebih baik setiap kali terbangun dengan sapaan Rembulan. Membuka mata disertai senyuman bagi Matahari sudah sangat mewakili kalimat yang biasa diucapkannya sebelum kehadiran Rembulan “Oh, indahnya dunia!”.
100 hari berlalu hanya dengan sapaan selamat pagi dari kedua belah pihak, dan keadaan itu terlihat sangat membosankan bagi setaman bunga matahari yang setiap saat mengikuti gerak-gerik Matahari. Mereka sepakat mendorong Matahari untuk memulai pembicaraan.
“Tanyakan padanya, apa yang dia lakukan dihari sepagi ini?” saran setangkai bunga matahari.
“Jangan! Jangan! Mulailah pembicaraan dengan memuji keindahannya!” saran setangkai bunga matahari yang lainnya.
“Bukan begitu! Berbasa-basilah! Tanyakan, apa kamu tidak lelah membangunkanku setiap pagi?”
“Sudah-sudah! Biar aku bertanya sendiri, kalian tidak usah mengajariku!”
Pagi-pagi dengan menghemat kata telah berakhir. Matahari tak lagi sungkan meneriakkan nama Rembulan. Rembulan pun dengan senang hati menceritakan kisah-kisah lucu karangannya sendiri dan membuat pagi Matahari penuh tawa.
“Terimakasih, Rembulan! Kamu selalu ada setiap kali aku membuka mata!”
“Jangan sungkan, apa yang aku lakukan tidak seberapa dibandingkan pengorbananmu pada dunia dan seluruh isi bima sakti ini”
“Ah, apa benar? Mahluk bumi bermimpi saat tidur di malam hari”
“Yah, dan mereka menikmati mimpi mereka”
“Seberapa banyak Bintang yang menemanimu? Oh, senangnya! Mereka begitu indah. Tapi mereka tidak bisa menemaniku. Aku terlalu silau dan panas”
Jika bukan karena bujukan setaman bunga matahari mungkin Matahari tidak akan mengenal Rembulan lebih dari kekaguman akan keindahannya. Begitu juga dengan Rembulan.
Kini, pagi adalah 30 menit penuh arti bagi mereka berdua. Menit berikutnya menjadi lebih berarti bagi Matahari, karena ia percaya Rembulan tak akan pergi meninggalkan pagi miliknya. Sekarang, esok, ataupun lusa. Akan mereka rajut cinta, bersama. Untuk persembahkan kehangatan cahaya pada dunia di dua waktu yang berbeda.
AYAM KAMPUS
AYAM KAMPUS
Oleh : Rachmat Nugraha
Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”
****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.
****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.
****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.
****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”
****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.
****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”
--Tamat--
Oleh : Rachmat Nugraha
Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”
****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.
****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.
****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.
****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”
****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.
****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”
--Tamat--
Aku Tunggu Di Tepi Anyer!
Aku Tunggu Di Tepi Anyer!
Oleh : Ressa Novita (Ocha)
Aku berdiri tegak di depan meja riasku. Kursi cantik berwarna biru muda yang tergeletak menyertai meja rias ini, aku biarkan kosong tanpa guna. Kutatap wajah putihku yang terlihat segar tanpa dihiasi sedikitpun bercak noda. Lalu kucoba tersenyum.
Yah, inilah aku! Apa ada yang salah?!
Sekilas wajah ini terlihat seperti bukan wajah milik seorang gadis yang ramah. Memang benar. Banyak orang yang berkata dengan sinis untuk air muka yang sebenarnya tidak aku buat-buat. Tapi, Tuhan Maha Pengasih. Aku diberikan satu kelebihan dari wajah tidak ramahku ini. Sebuah popularitas. Dan aku bahagia dengan kelebihan itu.
Aku jadi semakin gemar tersenyum pada semua pria yang menyapaku dengan nakal. Dan dapat kumeyakinkan pada siapa saja yang bertanya padaku, aku menyukai mereka. Apalagi jika diantara mereka ada wajah yang terlihat indah untuk dipandang lebih lama dipadu dengan potongan tubuh yang sempurna. Ehm, aku suka sekali. Dan saat memandang mereka aku akan bergumam dalam hati ‘oh, indahnya hidup!’. Maka akupun tak akan ragu untuk balik menggoda pria-pria indah itu.
Yah, sekali lagi aku katakan. Inilah aku! Dan bagiku tidak ada yang salah pada diriku!
Tapi saat ini…
“Dreeet…dreeet…dreeet…”
Getar tanpa nada yang keluar dari telepon genggamku seketika membuyarkan lamunanku.
Tak segera kutekan tombol penjawab pada handphone sony ericson itu. Aku hanya menatap layarnya yang mengeluarkan cahaya terang dengan inisial nama Chayankku yang tak henti berkedap-kedip. Itu inisial pacarku yang tersimpan di memori handphone. Terkadang aku memanggilnya demikian. Dan itu sebuah kemunafikan yang berpadu dengan kebohongan yang manis.
Tiap kali aku melihat nama kebohongan itu menghiasi layar handphoneku. Aku akan teringat sampai hal-hal terkecil yang tersusun dan mengisi kebohongan itu.
Tanpa pikir panjang aku me-reject panggilan itu. Dan segera menon-aktifkan handphoneku.
Maaf, Geral! Tapi hidup ini cuma panggung sandiwara. Begitu juga hubungan kita selama ini. Aku hanya ingin menampilkan sisi romantis dari drama cinta yang kubuat. Aku hanya tinggal menunggu waktu untuk membuat babak penutupnya. Masalah endingnya bahagia atau tidak, itu tergantung kehendakku sebagai sang penulis naskah yang juga merangkap sebagai sutradara dan pemeran utamanya.
“Tok…Tok…Tok…”
Lagi-lagi ada yang membuyarkan lamunanku.
“Devi… Ada telepon dari Geral!”
Mendengar lanjutan ketokan pintu itu, dengan sigap aku meraih handphoneku yang masih dalam keadaan tak bernyawa (non-aktif) dan memasukkannya kedalam tas ranselku.
Aku menenteng tas ranselku dan bergegas keluar kamar. Tapi bukan untuk menjawab telepon dari Geral.
“Mah, udah ga ada waktu lagi nich!” teriakku sambil menunjuk kaca jam tangan hitam yang menghiasi pergelangan tangan kananku.
Mendengar jawaban tidak enak dariku, mama terlihat sedikit terkejut. Tapi akhirnya ia mengangguk tanda setuju saat aku mencium pipi kanannya sebagai permohonan doa restu sebelum pergi untuk menuntut ilmu.
Hah, Geral! Sekali lagi maaf ya! Bukannya aku tidak ingin berbicara denganmu, tapi belum saatnya aku kembali membuka tirai panggung sandiwara ini. Aku masih memikirkan adegan selanjutnya yang harus aku mainkan sebagai babak penutup drama cinta ini.
* * *
“Hei, Dev! Makin cerah aja nih!”
Sapaan seorang mahasiswi membuatku berhenti melangkah dan menyempatkan diri untuk menoleh kearahnya. Sekedar untuk membalas sapaannya dengan senyuman khas ala Devi.
Kampusku pagi ini terlihat lebih ramai. Dan tidak biasanya pemilik suara yang kukenal sudah bertengger manis di depan laboratorium bahasa lantai 4 di jam-jam sepagi ini.
Saat kumenoleh, terlihat 3 orang gadis berpakaian serba modis. Mereka teman-teman sekelasku. Si pemilik suara bernama Fiar, si hitam manis yang selalu ramah terhadap siapapun, tak terkecuali padaku. Disebelahnya berdiri, Reny, gadis yang kecantikannya diakui di seantero kampus namun terkenal dengan mulut pedasnya. Dan yang satu lagi Gemma, satu-satunya gadis di kelasku yang sangat aku sukai namanya, tapi sayang dia salah satu orang yang selalu menatapku dengan pandangan sinis, entah apa alasannya.
“Yo, jelas! Lihat di keningnya kan ada susuk! Jadi dia bisa menggaet puluhan pria sekaligus dengan satu senyumannya. Pasti hidup kamu bahagia sekali ya! Dikelilingi banyak pria! Oh iya, sekarang pacar kamu ada berapa?”
Kata-kata yang dilontarkan Reny seketika merubah mood ku yang semula baik-baik saja. Apalagi ditambah tatapan sinis Gemma yang seolah-olah meng’iya’kan komentar sahabatnya.
Dasar cewek sialan! Kalau aku dilahirkan sebagai ‘Dukun Sunat’. Udah ku sunat tuch lidah yang keliwat kotor! Sayangnya, aku dilahirkan dengan sopan santun yang memadai. Jadi apapun alasannya, aku hanya mampu ‘Tersenyum Manis’ pada cewek yang juga bermulut sangat sangat sangat manis itu.
Ditambah sedikit jawaban yang diucapkan dengan manis juga tentunya.
“Uhm… Aduh, ga keitung tuch berapa banyak pacarku sekarang! Tapi tenang aja! Aku ga pernah lupa kok sama kamu! Aku ga akan tega membiarkanmu ‘Jomblo’ seumur hidup. Jadi kalo aku bosen sama salah satu dari mereka, aku pasti rekomendasiin kamu buat jadi pemilik baru mereka. Fiar, Gemma, kalian juga mau kan? Pokoknya semau kebagian dech! So, jangan sedih ya!”
Setelah insiden ringan tak berarti itu, aku segera melanjutkan langkahku menuju kelas yang pada hari ini akan kupergunakan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu.
“Devi…”
Belum sampai aku ke tempat tujuan, teriakan berat seseorang membuatku berhenti melangkah karena sedikit terkejut. Dia Nuri sahabatku, aku kenal betul tingkahnya yang seringkali memanggil namaku dengan suara yang sengaja diubah supaya mirip dengan suara laki-laki. Dan pastinya dia tak pernah berhasil, karena sejak awal dia berjenis kelamin wanita. Dia mungkin akan berhasil mengelabuiku jika ia juga berinisiatif untuk mengubah jenis kelaminnya.
“Oiy, cerah banget hari ini! Lagi seneng ya!” lanjutnya setelah berhasil menyamai langkahku.
“Jangan ngomong yang macem-macem dech! Nanti aku sunat tuch lidah!”
“Apaan sich?! Kok jawabnya kayak gitu! Aku kira Devi yang aku kenal benar-benar manis. Ga taunya…”
“Eh, enggak! Bukan gitu maksudku. Tadi aku mau ngomong kayak gitu ke mereka, tapi secara aku manis ga mungkin dong aku ngomong sembarangan ke orang sembarangan. Begitcu…” ralatku sambil mencubit sebelah pipinya, setelah itu aku segera nyelonong masuk ke dalam kelas yang sejak tadi sangat aku nantikan (AC-nya).
“Tadi aku ketemu Geral tuch! Dia kayaknya kebingungan nyariin kamu. Emangnya kamu belum nemuain dia buat ceritain yang sebenarnya tentang…”
“Hush!” aku segera membekap mulut Nuri dengan telapak tanganku. Sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimat yang sangat terlarang untuk dikatakan di tempat umum seperti ini. “Aku kan udah bilang, ini rahasia. Kamu kan tau seperti apa imageku di mata anak-anak cewek di kelas ini! Biarkan mereka semua hanya tahu gosip, tapi jangan sampai mereka tahu berita actual apapun tentangku. Bahaya, bisa-bisa aku hilang kendali dan menyunat lidah mereka satu per satu”
“Okey, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Masih aku pikirkan. Aku harus membuat ending yang benar-benar manis untuk hubunganku dan Geral”
“Gila! Kamu pikir semua cowok itu ga punya perasaan! Hampir satu bulan kamu menghindarinya dan sekarang kamu benar-benar ingin meninggalkannya?!”
“Hush! Jangan keras-keras!”
“Biarin! Biar orang semua tahu kejamnya seorang Devina Ekaputri!” teriaknya marah.
“Nuri, dengar dulu!”
“Apalagi yang harus aku dengar. Seorang Devi yang terkenal sebagai pemikat cowok, sekarang melanjutkan aksinya dengan menjelma sebagai cewek buaya darat”
“Nuri, dengar dulu! Aku ga pernah bermaksud seperti itu! Aku memang salah telah membohongi Geral. Tapi itu semua kulakukan semata-mata karena aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin ada seorang pria yang benar-benar mencintaiku dan membuatku berubah menjadi gadis biasa yang tidak lagi disebut sebagai gadis murahan, gadis pemikat, pemakai susuk dan sebagainya. Karena itu aku menerima Geral saat untuk ke 3 kalinya ia mengungkapkan kata yang sama. Aku pikir dia serius menyayangiku. Tapi ternyata enggak. Geral sama seperti pria-pria yang selama ini menggodaku. Dia hanya memandangku dari fisik bukan hati. Dan aku tidak pernah merasa nyaman bersamanya. Aku hanya berusaha bersikap romantis, tapi sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Kebohongan yang aku tata dengan rapi sehingga terlihat begitu manis. Hingga waktunya tiba untuk mengungkapkan semua kebohongan itu”
“Karena alasan itu kamu menduakannya?!”
Aku menundukkan kepalaku, sedikit terpukul dengan kata-kata yang diucapkannya. Aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menduakannya. Tapi keadaan memaksaku melakukan kejahatan ini.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini! Karena kamu sahabatku, aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini. Perasaan yang dirasakan hati kecilku selama aku menjadi seorang Devi yang selalu memikat semua pria dengan senyuman nakalnya”
* * *
Saat pembicaraan dengan Nuri pagi tadi, tanpa sadar aku telah menetapkan ending yang harus aku jalani. Yah, Anyer adalah setting tempat yang aku pilih untuk satu babak terakhir dari sandiwara ini. Bukankah tempat itu indah. Maka endingnya pun akan terlihat sangat indah.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini!”
Pesan singkat lewat sms aku kirimkan ke nomor milik Geral. Satu kalimat itu sudah cukup menegaskan suatu perintah, bukan sekedar permohonan. Dan aku yakin dia pasti datang dan juga Nuri tidak akan menolak perintah itu.
Hari itu masih cukup siang. Tapi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke panggung sandiwaraku.
Yup! Aku kan tokoh paling penting. Aku juga bertindak sebagai sutradara. Jadi aku harus datang paling awal untuk mempelajari kondisi panggung sekaligus beradaptasi agar adegan yang akan aku lakonkan nanti. Supaya benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Ah, mungkin penjelasan ini agak sulit dimengerti. Intinya, aku ingin datang lebih dahulu ke tempat indah itu untuk memikirkan masak-masak apa yang akan aku katakan pada mereka. Sekaligus aku ingin menikmati pemandangan pantai dan merasakan sejuknya udara Anyer agar kepenatan ini sedikit berkurang.
Okey! Semangat Devi!
* * *
Matahari hampir tenggelam saat aku sampai ke tepi pantai Anyer. Satu-satunya yang aku cari setiap kali aku datang ke tempat ini, ya hanya cahaya yang satu itu.
Cahaya redup berwarna oranye berpadu dengan biru pekat air laut, dengan latar belakang langit kelabu yang berhiaskan beberapa bintang senja. Indah. Ciptaan Tuhan yang luar biasa hebatnya. Rasanya tak ingin waktu cepat berlalu. Ingin mengabadikan keindahan itu.
Tapi dalam hitungan menit yang singkat, langit kelabu pun berubah gelap. Rembulan perlahan meninggi dan bintang-bintang terus bertambah. Menjadi kilauan cahaya yang memantul di lautan. Hembusan angin terasa semakin kuat, mendorong ombak semakin mendekati telapak kakiku yang telanjang.
Menguatkan rasa dalam diriku. Dingin. Sepi. Dan semakin ingin lari. Lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan mengakhiri sandiwara ini.
Aku menutup kedua belah mataku. Menghirup segarnya udara pantai. Mencoba kembali menenangkan pikiran yang mulai mengeluh tak mampu. Kutatap satu per satu bintang di langit malam. Kunikmati deburan ombak yang berpadu dengan hembusan angin yang terdengar mendayukan irama alam nan lembut.
“Kalau seperti ini rasanya aku ingin meninggalkan Jakarta dan mencari rumah tinggal untuk menetap di Anyer” gumamku pelan.
“Aku juga mau!”
“Nuri…”
“Kenapa harus di tepi Anyer?”
“Karena… aku pertama kali bertemu dengannya disini. Saat LDO Fakultas. Tapi aku tak pernah tahu namanya. Yang aku tahu dia orang Kepresidenan Mahasiswa di kampus kita. Wajahnya tampan namun terlihat begitu lembut dan senyumannya sangat tulus”
(LDO=Latihan Dasar Organisasi)
“Yah, kamu pernah menyebutnya dalam daftar pria yang menurutmu tampan dan perlu di dekati. Kamu bahkan bertanya namanya padaku. Lalu apa bedanya?! Dia sama seperti Geral. Kamu sama menyukainya seperti rasa sukamu pada Geral. Kamu hanya menyukai ketampanannya!”
“Tidak! Kamu salah! Awalnya aku memang memperlakukannya sama seperti pria-pria tampan yang lain. Aku hanya memuja keindahan wajahnya. Tapi waktu itu aku mulai memperhatikannya ketika aku menyaksikan satu hal yang menurutku sangat ganjil dilakukan pria setampan dia. Aku melihatnya membersihkan lantai di salah satu ruangan kampus”
“Dia membersihkan ruang Kepresidenan, aku pernah melihatnya sekali”
“Yah, mulai saat itu entah kenapa aku terus memperhatikannya. Mataku tak pernah lepas untuk mencari sosoknya. Anehnya apa yang biasa kulakukan terhadap pria-pria tampan yang aku sukai, tidak bisa aku lakukan padanya. Aku tidak punya keberanian secuil pun untuk sekedar berkata ‘hai’ padanya. Aku ga tahu kenapa? Aku ga tahu! Hanya dia pria yang berhasil melumpuhkanku. Dia membuatku tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kamu melihat itu, Nuri. Karena kamu seringkali bersamaku. Seharusnya kamu mengerti apa yang aku rasakan. Aku…aku mencintainya…”
“Devi… Kamu bilang apa?!”
“Aku mencintainya, Nuri! Perasaan yang ada hanya karena dan untuknya! Bukan seperti yang kamu lihat selama ini menghiasi hidupku. Bukan kebohongan. Bukan kemunafikan. Hanya aku miliki disini!”
Sambil menunjukkan jari ke dadaku, aku melangkah pelan mendekati Nuri.
Kulihat Nuri tersenyum manis, seolah memberikan komentar yang menggembirakan. Airmatanya jatuh perlahan dan ia menghapusnya dengan telapak tangannya masih dengan disertai senyuman.
“Haha, aku bego banget ya! Ternyata aku selama ini belum bertindak sebagai sahabatmu. Bahkan aku tidak tahu bahwa selama ini si gadis pemikat memendam perasaannya pada seorang pria!” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku balas tertawa.
“Yah, pada seorang Rivan!”
* * *
“Rivan???” Geral yang saat itu sudah berdiri diantara kami terkejut mendengar nama yang keluar dari bibirku yang telah mengucap yakin.
Kedatangan Nuri yang lebih dulu dari Geral membuatku lebih berani. Yah, cukup berani untuk menyakiti seorang Geral.
“Yah, lengkapnya Rayn Rivanno, kelas sore, tingkat 4”
“Jadi selama ini?!”
Aku mendekati Geral. Sangat dekat. Serasa jiwa nakalku kembali saat melihat wajah tampannya yang cemas.
“Kamu tampan Geral. Manis. Indah. Aku suka sama semua yang terlihat ‘Beauty’. Termasuk kamu. Makanya ketika aku merasa mustahil untuk memiliki Rivan dan mulai putus asa, akhirnya aku menerimamu. Cowok tampan yang menurutku ‘boleh juga’ sekedar untuk mengisi kekosongan. Saat aku mulai terbiasa dengan sandiwaraku bersamamu. Tiba-tiba Rivan datang padaku. Dan dengan caranya ia mengisi hari-hariku yang penuh kepalsuan. 3 bulan aku menduakanmu, dan sekarang waktunya aku bicara jujur. Aku hanya menginginkannya. Tidak yang lain! Jadi…”
Geral menatapku tajam. Wajahnya terlihat sangat kesal. Pastinya dia sudah tahu kelanjutan kata-kataku. Tapi kenapa dia masih diam saja?! Apa masih perlu aku melanjutkan kata-kataku?! Huh…
“Jadi, aku ingin mengakhiri sandiwara ini! Sekarang juga!”
* * *
“Gimana?! Sandiwaraku hebat kan?!” tanyaku sambil merangkul hangat tubuh jangkung Nuri.
Kaki kami melangkah menyusuri tepi Anyer, setelah meninggalkan Geral dan kekesalannya di ujung pantai sana.
“Jadi penjelasan yang kamu berikan pada Geral cuma sandiwara?!”
“Huh, si eNeng lemot! Coba inget-inget, tadi siang aku bicara apa!”
“Apa yah?! Ah, lupakan! Biarlah dia tertelan ombak dan menghilang bersama buih samudera” jawab Nuri tak mau pusing.
“Hei, dia bukan putri duyung!”
“Tapi bukankah dia patah hati seperti kisah putri duyung?!”
“Uhmmm… Hahaha…” tawaku meledak seolah tanpa dosa.
“Eittt…aku lupa belum menanyakan satu hal, hal yang penting banget”
“Apa?”
“Bukankah pacarnya Rivan cewek judes yang namanya Asta?!”
“Dulu. Sekarang Rivan pacarku! Cewek Rivan sekarang ya si manis Devi!”
“Syukurlah! Aku kira sahabatku alih profesi sebagai gadis perusak hubungan sepasang kekasih!”
“Sialan kamu! Aku ini perempuan baik-baik tauuu…”
“Huuu… Dasar… Eh, ngomong-ngomong siapa yang nembak duluan? Rivan atau kamu?”
“Udah aku bilang, aku mati kutu didepan dia. Emang dia yang tiba-tiba deketin aku. Aku sendiri malah bingung kenapa kisahku berbalik seperti ini. Aku pikir selamanya aku tidak akan mengenal Rivan lebih dari tatapan jarak jauh. Tapi ternyata sekarang…”
Aku menatap langit. Bintang-bintang terasa semakin indah untuk dinikmati sinarnya. Seindah perasaanku hari ini.
“Nur, ternyata selain cakep, keren, dia juga baik banget, baik banget… Oh, bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit. Thanks to You God…”
“Heh, udah deh… Lama-lama jijik tau ga liat muka kamu yang kayak gitu!”
Aku tak memperdulikan protesan Nuri. Aku masih tersenyum bahagia sambil terus menatap keindahan langit dengan lekat.
“Cukup Devi! Aku tinggal nih! Kamu bilang Rivan nunggu kamu di seberang jalan sana! Jalannya cepetan donk! Atau kamu mau membagi Rivan untukku?!”
“Enak aja! Rivan hanya milikku!”
Sekarang dan kuharap juga untuk selamanya.
* * * The End * * *
Oleh : Ressa Novita (Ocha)
Aku berdiri tegak di depan meja riasku. Kursi cantik berwarna biru muda yang tergeletak menyertai meja rias ini, aku biarkan kosong tanpa guna. Kutatap wajah putihku yang terlihat segar tanpa dihiasi sedikitpun bercak noda. Lalu kucoba tersenyum.
Yah, inilah aku! Apa ada yang salah?!
Sekilas wajah ini terlihat seperti bukan wajah milik seorang gadis yang ramah. Memang benar. Banyak orang yang berkata dengan sinis untuk air muka yang sebenarnya tidak aku buat-buat. Tapi, Tuhan Maha Pengasih. Aku diberikan satu kelebihan dari wajah tidak ramahku ini. Sebuah popularitas. Dan aku bahagia dengan kelebihan itu.
Aku jadi semakin gemar tersenyum pada semua pria yang menyapaku dengan nakal. Dan dapat kumeyakinkan pada siapa saja yang bertanya padaku, aku menyukai mereka. Apalagi jika diantara mereka ada wajah yang terlihat indah untuk dipandang lebih lama dipadu dengan potongan tubuh yang sempurna. Ehm, aku suka sekali. Dan saat memandang mereka aku akan bergumam dalam hati ‘oh, indahnya hidup!’. Maka akupun tak akan ragu untuk balik menggoda pria-pria indah itu.
Yah, sekali lagi aku katakan. Inilah aku! Dan bagiku tidak ada yang salah pada diriku!
Tapi saat ini…
“Dreeet…dreeet…dreeet…”
Getar tanpa nada yang keluar dari telepon genggamku seketika membuyarkan lamunanku.
Tak segera kutekan tombol penjawab pada handphone sony ericson itu. Aku hanya menatap layarnya yang mengeluarkan cahaya terang dengan inisial nama Chayankku yang tak henti berkedap-kedip. Itu inisial pacarku yang tersimpan di memori handphone. Terkadang aku memanggilnya demikian. Dan itu sebuah kemunafikan yang berpadu dengan kebohongan yang manis.
Tiap kali aku melihat nama kebohongan itu menghiasi layar handphoneku. Aku akan teringat sampai hal-hal terkecil yang tersusun dan mengisi kebohongan itu.
Tanpa pikir panjang aku me-reject panggilan itu. Dan segera menon-aktifkan handphoneku.
Maaf, Geral! Tapi hidup ini cuma panggung sandiwara. Begitu juga hubungan kita selama ini. Aku hanya ingin menampilkan sisi romantis dari drama cinta yang kubuat. Aku hanya tinggal menunggu waktu untuk membuat babak penutupnya. Masalah endingnya bahagia atau tidak, itu tergantung kehendakku sebagai sang penulis naskah yang juga merangkap sebagai sutradara dan pemeran utamanya.
“Tok…Tok…Tok…”
Lagi-lagi ada yang membuyarkan lamunanku.
“Devi… Ada telepon dari Geral!”
Mendengar lanjutan ketokan pintu itu, dengan sigap aku meraih handphoneku yang masih dalam keadaan tak bernyawa (non-aktif) dan memasukkannya kedalam tas ranselku.
Aku menenteng tas ranselku dan bergegas keluar kamar. Tapi bukan untuk menjawab telepon dari Geral.
“Mah, udah ga ada waktu lagi nich!” teriakku sambil menunjuk kaca jam tangan hitam yang menghiasi pergelangan tangan kananku.
Mendengar jawaban tidak enak dariku, mama terlihat sedikit terkejut. Tapi akhirnya ia mengangguk tanda setuju saat aku mencium pipi kanannya sebagai permohonan doa restu sebelum pergi untuk menuntut ilmu.
Hah, Geral! Sekali lagi maaf ya! Bukannya aku tidak ingin berbicara denganmu, tapi belum saatnya aku kembali membuka tirai panggung sandiwara ini. Aku masih memikirkan adegan selanjutnya yang harus aku mainkan sebagai babak penutup drama cinta ini.
* * *
“Hei, Dev! Makin cerah aja nih!”
Sapaan seorang mahasiswi membuatku berhenti melangkah dan menyempatkan diri untuk menoleh kearahnya. Sekedar untuk membalas sapaannya dengan senyuman khas ala Devi.
Kampusku pagi ini terlihat lebih ramai. Dan tidak biasanya pemilik suara yang kukenal sudah bertengger manis di depan laboratorium bahasa lantai 4 di jam-jam sepagi ini.
Saat kumenoleh, terlihat 3 orang gadis berpakaian serba modis. Mereka teman-teman sekelasku. Si pemilik suara bernama Fiar, si hitam manis yang selalu ramah terhadap siapapun, tak terkecuali padaku. Disebelahnya berdiri, Reny, gadis yang kecantikannya diakui di seantero kampus namun terkenal dengan mulut pedasnya. Dan yang satu lagi Gemma, satu-satunya gadis di kelasku yang sangat aku sukai namanya, tapi sayang dia salah satu orang yang selalu menatapku dengan pandangan sinis, entah apa alasannya.
“Yo, jelas! Lihat di keningnya kan ada susuk! Jadi dia bisa menggaet puluhan pria sekaligus dengan satu senyumannya. Pasti hidup kamu bahagia sekali ya! Dikelilingi banyak pria! Oh iya, sekarang pacar kamu ada berapa?”
Kata-kata yang dilontarkan Reny seketika merubah mood ku yang semula baik-baik saja. Apalagi ditambah tatapan sinis Gemma yang seolah-olah meng’iya’kan komentar sahabatnya.
Dasar cewek sialan! Kalau aku dilahirkan sebagai ‘Dukun Sunat’. Udah ku sunat tuch lidah yang keliwat kotor! Sayangnya, aku dilahirkan dengan sopan santun yang memadai. Jadi apapun alasannya, aku hanya mampu ‘Tersenyum Manis’ pada cewek yang juga bermulut sangat sangat sangat manis itu.
Ditambah sedikit jawaban yang diucapkan dengan manis juga tentunya.
“Uhm… Aduh, ga keitung tuch berapa banyak pacarku sekarang! Tapi tenang aja! Aku ga pernah lupa kok sama kamu! Aku ga akan tega membiarkanmu ‘Jomblo’ seumur hidup. Jadi kalo aku bosen sama salah satu dari mereka, aku pasti rekomendasiin kamu buat jadi pemilik baru mereka. Fiar, Gemma, kalian juga mau kan? Pokoknya semau kebagian dech! So, jangan sedih ya!”
Setelah insiden ringan tak berarti itu, aku segera melanjutkan langkahku menuju kelas yang pada hari ini akan kupergunakan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu.
“Devi…”
Belum sampai aku ke tempat tujuan, teriakan berat seseorang membuatku berhenti melangkah karena sedikit terkejut. Dia Nuri sahabatku, aku kenal betul tingkahnya yang seringkali memanggil namaku dengan suara yang sengaja diubah supaya mirip dengan suara laki-laki. Dan pastinya dia tak pernah berhasil, karena sejak awal dia berjenis kelamin wanita. Dia mungkin akan berhasil mengelabuiku jika ia juga berinisiatif untuk mengubah jenis kelaminnya.
“Oiy, cerah banget hari ini! Lagi seneng ya!” lanjutnya setelah berhasil menyamai langkahku.
“Jangan ngomong yang macem-macem dech! Nanti aku sunat tuch lidah!”
“Apaan sich?! Kok jawabnya kayak gitu! Aku kira Devi yang aku kenal benar-benar manis. Ga taunya…”
“Eh, enggak! Bukan gitu maksudku. Tadi aku mau ngomong kayak gitu ke mereka, tapi secara aku manis ga mungkin dong aku ngomong sembarangan ke orang sembarangan. Begitcu…” ralatku sambil mencubit sebelah pipinya, setelah itu aku segera nyelonong masuk ke dalam kelas yang sejak tadi sangat aku nantikan (AC-nya).
“Tadi aku ketemu Geral tuch! Dia kayaknya kebingungan nyariin kamu. Emangnya kamu belum nemuain dia buat ceritain yang sebenarnya tentang…”
“Hush!” aku segera membekap mulut Nuri dengan telapak tanganku. Sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimat yang sangat terlarang untuk dikatakan di tempat umum seperti ini. “Aku kan udah bilang, ini rahasia. Kamu kan tau seperti apa imageku di mata anak-anak cewek di kelas ini! Biarkan mereka semua hanya tahu gosip, tapi jangan sampai mereka tahu berita actual apapun tentangku. Bahaya, bisa-bisa aku hilang kendali dan menyunat lidah mereka satu per satu”
“Okey, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Masih aku pikirkan. Aku harus membuat ending yang benar-benar manis untuk hubunganku dan Geral”
“Gila! Kamu pikir semua cowok itu ga punya perasaan! Hampir satu bulan kamu menghindarinya dan sekarang kamu benar-benar ingin meninggalkannya?!”
“Hush! Jangan keras-keras!”
“Biarin! Biar orang semua tahu kejamnya seorang Devina Ekaputri!” teriaknya marah.
“Nuri, dengar dulu!”
“Apalagi yang harus aku dengar. Seorang Devi yang terkenal sebagai pemikat cowok, sekarang melanjutkan aksinya dengan menjelma sebagai cewek buaya darat”
“Nuri, dengar dulu! Aku ga pernah bermaksud seperti itu! Aku memang salah telah membohongi Geral. Tapi itu semua kulakukan semata-mata karena aku tidak ingin terus seperti ini. Aku ingin ada seorang pria yang benar-benar mencintaiku dan membuatku berubah menjadi gadis biasa yang tidak lagi disebut sebagai gadis murahan, gadis pemikat, pemakai susuk dan sebagainya. Karena itu aku menerima Geral saat untuk ke 3 kalinya ia mengungkapkan kata yang sama. Aku pikir dia serius menyayangiku. Tapi ternyata enggak. Geral sama seperti pria-pria yang selama ini menggodaku. Dia hanya memandangku dari fisik bukan hati. Dan aku tidak pernah merasa nyaman bersamanya. Aku hanya berusaha bersikap romantis, tapi sebenarnya semua itu hanya kebohongan. Kebohongan yang aku tata dengan rapi sehingga terlihat begitu manis. Hingga waktunya tiba untuk mengungkapkan semua kebohongan itu”
“Karena alasan itu kamu menduakannya?!”
Aku menundukkan kepalaku, sedikit terpukul dengan kata-kata yang diucapkannya. Aku tidak pernah sekalipun berniat untuk menduakannya. Tapi keadaan memaksaku melakukan kejahatan ini.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini! Karena kamu sahabatku, aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan selama ini. Perasaan yang dirasakan hati kecilku selama aku menjadi seorang Devi yang selalu memikat semua pria dengan senyuman nakalnya”
* * *
Saat pembicaraan dengan Nuri pagi tadi, tanpa sadar aku telah menetapkan ending yang harus aku jalani. Yah, Anyer adalah setting tempat yang aku pilih untuk satu babak terakhir dari sandiwara ini. Bukankah tempat itu indah. Maka endingnya pun akan terlihat sangat indah.
“Aku tunggu di tepi Anyer malam ini!”
Pesan singkat lewat sms aku kirimkan ke nomor milik Geral. Satu kalimat itu sudah cukup menegaskan suatu perintah, bukan sekedar permohonan. Dan aku yakin dia pasti datang dan juga Nuri tidak akan menolak perintah itu.
Hari itu masih cukup siang. Tapi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke panggung sandiwaraku.
Yup! Aku kan tokoh paling penting. Aku juga bertindak sebagai sutradara. Jadi aku harus datang paling awal untuk mempelajari kondisi panggung sekaligus beradaptasi agar adegan yang akan aku lakonkan nanti. Supaya benar-benar sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Ah, mungkin penjelasan ini agak sulit dimengerti. Intinya, aku ingin datang lebih dahulu ke tempat indah itu untuk memikirkan masak-masak apa yang akan aku katakan pada mereka. Sekaligus aku ingin menikmati pemandangan pantai dan merasakan sejuknya udara Anyer agar kepenatan ini sedikit berkurang.
Okey! Semangat Devi!
* * *
Matahari hampir tenggelam saat aku sampai ke tepi pantai Anyer. Satu-satunya yang aku cari setiap kali aku datang ke tempat ini, ya hanya cahaya yang satu itu.
Cahaya redup berwarna oranye berpadu dengan biru pekat air laut, dengan latar belakang langit kelabu yang berhiaskan beberapa bintang senja. Indah. Ciptaan Tuhan yang luar biasa hebatnya. Rasanya tak ingin waktu cepat berlalu. Ingin mengabadikan keindahan itu.
Tapi dalam hitungan menit yang singkat, langit kelabu pun berubah gelap. Rembulan perlahan meninggi dan bintang-bintang terus bertambah. Menjadi kilauan cahaya yang memantul di lautan. Hembusan angin terasa semakin kuat, mendorong ombak semakin mendekati telapak kakiku yang telanjang.
Menguatkan rasa dalam diriku. Dingin. Sepi. Dan semakin ingin lari. Lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan mengakhiri sandiwara ini.
Aku menutup kedua belah mataku. Menghirup segarnya udara pantai. Mencoba kembali menenangkan pikiran yang mulai mengeluh tak mampu. Kutatap satu per satu bintang di langit malam. Kunikmati deburan ombak yang berpadu dengan hembusan angin yang terdengar mendayukan irama alam nan lembut.
“Kalau seperti ini rasanya aku ingin meninggalkan Jakarta dan mencari rumah tinggal untuk menetap di Anyer” gumamku pelan.
“Aku juga mau!”
“Nuri…”
“Kenapa harus di tepi Anyer?”
“Karena… aku pertama kali bertemu dengannya disini. Saat LDO Fakultas. Tapi aku tak pernah tahu namanya. Yang aku tahu dia orang Kepresidenan Mahasiswa di kampus kita. Wajahnya tampan namun terlihat begitu lembut dan senyumannya sangat tulus”
(LDO=Latihan Dasar Organisasi)
“Yah, kamu pernah menyebutnya dalam daftar pria yang menurutmu tampan dan perlu di dekati. Kamu bahkan bertanya namanya padaku. Lalu apa bedanya?! Dia sama seperti Geral. Kamu sama menyukainya seperti rasa sukamu pada Geral. Kamu hanya menyukai ketampanannya!”
“Tidak! Kamu salah! Awalnya aku memang memperlakukannya sama seperti pria-pria tampan yang lain. Aku hanya memuja keindahan wajahnya. Tapi waktu itu aku mulai memperhatikannya ketika aku menyaksikan satu hal yang menurutku sangat ganjil dilakukan pria setampan dia. Aku melihatnya membersihkan lantai di salah satu ruangan kampus”
“Dia membersihkan ruang Kepresidenan, aku pernah melihatnya sekali”
“Yah, mulai saat itu entah kenapa aku terus memperhatikannya. Mataku tak pernah lepas untuk mencari sosoknya. Anehnya apa yang biasa kulakukan terhadap pria-pria tampan yang aku sukai, tidak bisa aku lakukan padanya. Aku tidak punya keberanian secuil pun untuk sekedar berkata ‘hai’ padanya. Aku ga tahu kenapa? Aku ga tahu! Hanya dia pria yang berhasil melumpuhkanku. Dia membuatku tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kamu melihat itu, Nuri. Karena kamu seringkali bersamaku. Seharusnya kamu mengerti apa yang aku rasakan. Aku…aku mencintainya…”
“Devi… Kamu bilang apa?!”
“Aku mencintainya, Nuri! Perasaan yang ada hanya karena dan untuknya! Bukan seperti yang kamu lihat selama ini menghiasi hidupku. Bukan kebohongan. Bukan kemunafikan. Hanya aku miliki disini!”
Sambil menunjukkan jari ke dadaku, aku melangkah pelan mendekati Nuri.
Kulihat Nuri tersenyum manis, seolah memberikan komentar yang menggembirakan. Airmatanya jatuh perlahan dan ia menghapusnya dengan telapak tangannya masih dengan disertai senyuman.
“Haha, aku bego banget ya! Ternyata aku selama ini belum bertindak sebagai sahabatmu. Bahkan aku tidak tahu bahwa selama ini si gadis pemikat memendam perasaannya pada seorang pria!” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku balas tertawa.
“Yah, pada seorang Rivan!”
* * *
“Rivan???” Geral yang saat itu sudah berdiri diantara kami terkejut mendengar nama yang keluar dari bibirku yang telah mengucap yakin.
Kedatangan Nuri yang lebih dulu dari Geral membuatku lebih berani. Yah, cukup berani untuk menyakiti seorang Geral.
“Yah, lengkapnya Rayn Rivanno, kelas sore, tingkat 4”
“Jadi selama ini?!”
Aku mendekati Geral. Sangat dekat. Serasa jiwa nakalku kembali saat melihat wajah tampannya yang cemas.
“Kamu tampan Geral. Manis. Indah. Aku suka sama semua yang terlihat ‘Beauty’. Termasuk kamu. Makanya ketika aku merasa mustahil untuk memiliki Rivan dan mulai putus asa, akhirnya aku menerimamu. Cowok tampan yang menurutku ‘boleh juga’ sekedar untuk mengisi kekosongan. Saat aku mulai terbiasa dengan sandiwaraku bersamamu. Tiba-tiba Rivan datang padaku. Dan dengan caranya ia mengisi hari-hariku yang penuh kepalsuan. 3 bulan aku menduakanmu, dan sekarang waktunya aku bicara jujur. Aku hanya menginginkannya. Tidak yang lain! Jadi…”
Geral menatapku tajam. Wajahnya terlihat sangat kesal. Pastinya dia sudah tahu kelanjutan kata-kataku. Tapi kenapa dia masih diam saja?! Apa masih perlu aku melanjutkan kata-kataku?! Huh…
“Jadi, aku ingin mengakhiri sandiwara ini! Sekarang juga!”
* * *
“Gimana?! Sandiwaraku hebat kan?!” tanyaku sambil merangkul hangat tubuh jangkung Nuri.
Kaki kami melangkah menyusuri tepi Anyer, setelah meninggalkan Geral dan kekesalannya di ujung pantai sana.
“Jadi penjelasan yang kamu berikan pada Geral cuma sandiwara?!”
“Huh, si eNeng lemot! Coba inget-inget, tadi siang aku bicara apa!”
“Apa yah?! Ah, lupakan! Biarlah dia tertelan ombak dan menghilang bersama buih samudera” jawab Nuri tak mau pusing.
“Hei, dia bukan putri duyung!”
“Tapi bukankah dia patah hati seperti kisah putri duyung?!”
“Uhmmm… Hahaha…” tawaku meledak seolah tanpa dosa.
“Eittt…aku lupa belum menanyakan satu hal, hal yang penting banget”
“Apa?”
“Bukankah pacarnya Rivan cewek judes yang namanya Asta?!”
“Dulu. Sekarang Rivan pacarku! Cewek Rivan sekarang ya si manis Devi!”
“Syukurlah! Aku kira sahabatku alih profesi sebagai gadis perusak hubungan sepasang kekasih!”
“Sialan kamu! Aku ini perempuan baik-baik tauuu…”
“Huuu… Dasar… Eh, ngomong-ngomong siapa yang nembak duluan? Rivan atau kamu?”
“Udah aku bilang, aku mati kutu didepan dia. Emang dia yang tiba-tiba deketin aku. Aku sendiri malah bingung kenapa kisahku berbalik seperti ini. Aku pikir selamanya aku tidak akan mengenal Rivan lebih dari tatapan jarak jauh. Tapi ternyata sekarang…”
Aku menatap langit. Bintang-bintang terasa semakin indah untuk dinikmati sinarnya. Seindah perasaanku hari ini.
“Nur, ternyata selain cakep, keren, dia juga baik banget, baik banget… Oh, bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit. Thanks to You God…”
“Heh, udah deh… Lama-lama jijik tau ga liat muka kamu yang kayak gitu!”
Aku tak memperdulikan protesan Nuri. Aku masih tersenyum bahagia sambil terus menatap keindahan langit dengan lekat.
“Cukup Devi! Aku tinggal nih! Kamu bilang Rivan nunggu kamu di seberang jalan sana! Jalannya cepetan donk! Atau kamu mau membagi Rivan untukku?!”
“Enak aja! Rivan hanya milikku!”
Sekarang dan kuharap juga untuk selamanya.
* * * The End * * *
MINAT BACA DI INDONESIA
MINAT BACA DI INDONESIA
Oleh : redaksi Jendela
Kurangnya kesadaran remaja di Indonesia akan pentingnya sebuah buku bukanlah faktor utama minat baca generasi muda kita rendah.
Ada hal-hal lain yang sangat mempengaruhi minat baca remaja. Salah satunya koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang kurang up to date. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pengelola pendidikan akan arti penting dari sebuah perpustakaan.
Tak heran, ketika siswa datang ke perpustakaan untuk mencari buku terkadang mendapat jawaban, “Maaf, buku yang anda cari tidak ada”.
Tak perlu susah-susah untuk menebak imej perpustakaan dlaam benak umumunya orang Indonesia. Yang terbayangkan adalah kesan sumpek, tidak terawat, sepi, dan membosankan..
Sudah begitu, imej perpustakaan kian buruk karena pelayanan yang tidak professional disebabkan untuk pengelolaannya diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.
Disamping itu, kurangnya produktivitas penulis untuk membuat buku. Bayangkan saja, seorang penulis di Indonesia dalam setahun paling-paling hanya mampu menerbitkan karyanya sekitar 1 – 3 judul.
Hal ini disebabkan, pertama, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar menulis. Kita cukup tahu, di Indonesia, pekerjaan menulis masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum bisa menjamin hidup seseorang secara ekonomi. Sebab, belum tentu bukunya laku. Dari setiap eksemplar buku yang terjual, penulis hanya mendapat 10 persen saja. Itu pun kalau penerbitnya jujur dan memenuhi hak penulis.
Kedua, minimnya kemampuan penerbit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit di Indonesia selalu terbentur dengan masalah ongkos produksi yang sangat besar, seperti harga kertas dan tinta yang kian menggila, media promosi yang cukup besar, hingga bayar honor penulis, editor, layout, dan pajak. Sedangkan, jika mereka mematok
harga tinggi akan mem- persulit masyarakat untuk mendapatkan buku. Dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum stabil benar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sembilan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, harus ada komitmen dari seluruh pihak.
Pertama, pengelola pendidikan harus meng- up to date buku-buku di perpustakaan, membuat nyaman pengujung, dan mengisi dengan orang-orang yang mengerti bagaimana cara mengelola perpustakaan dengan benar.
Oleh : redaksi Jendela
Kurangnya kesadaran remaja di Indonesia akan pentingnya sebuah buku bukanlah faktor utama minat baca generasi muda kita rendah.
Ada hal-hal lain yang sangat mempengaruhi minat baca remaja. Salah satunya koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang kurang up to date. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pengelola pendidikan akan arti penting dari sebuah perpustakaan.
Tak heran, ketika siswa datang ke perpustakaan untuk mencari buku terkadang mendapat jawaban, “Maaf, buku yang anda cari tidak ada”.
Tak perlu susah-susah untuk menebak imej perpustakaan dlaam benak umumunya orang Indonesia. Yang terbayangkan adalah kesan sumpek, tidak terawat, sepi, dan membosankan..
Sudah begitu, imej perpustakaan kian buruk karena pelayanan yang tidak professional disebabkan untuk pengelolaannya diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.
Disamping itu, kurangnya produktivitas penulis untuk membuat buku. Bayangkan saja, seorang penulis di Indonesia dalam setahun paling-paling hanya mampu menerbitkan karyanya sekitar 1 – 3 judul.
Hal ini disebabkan, pertama, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar menulis. Kita cukup tahu, di Indonesia, pekerjaan menulis masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum bisa menjamin hidup seseorang secara ekonomi. Sebab, belum tentu bukunya laku. Dari setiap eksemplar buku yang terjual, penulis hanya mendapat 10 persen saja. Itu pun kalau penerbitnya jujur dan memenuhi hak penulis.
Kedua, minimnya kemampuan penerbit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit di Indonesia selalu terbentur dengan masalah ongkos produksi yang sangat besar, seperti harga kertas dan tinta yang kian menggila, media promosi yang cukup besar, hingga bayar honor penulis, editor, layout, dan pajak. Sedangkan, jika mereka mematok
harga tinggi akan mem- persulit masyarakat untuk mendapatkan buku. Dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum stabil benar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sembilan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, harus ada komitmen dari seluruh pihak.
Pertama, pengelola pendidikan harus meng- up to date buku-buku di perpustakaan, membuat nyaman pengujung, dan mengisi dengan orang-orang yang mengerti bagaimana cara mengelola perpustakaan dengan benar.
Hurt In My Heart
Hurt In My Heart
Oleh : Ressa Novita
Hati ini gelap, aku seolah mencinta, tanpa pernah belajar mencinta. Sebenarnya apa yang aku inginkan?! Kasih sayang? Cinta? Bukan! Yang aku ingin hanya kepuasan batinku. Bayang-bayang semu yang aku anggap nyata dibalik sosoknya.
Hebatnya aku! 5 tahun berlalu dan wajah ini hanya milik seorang actor professional. Kebohongan menjadi penopang utamaku dalam menjalani sandiwara hidup ini. Tapi, apakah panggung kebahagiaan ini dapat kupertahankan untuk selamanya?!
“Alena, maukah kamu menikah dengan ku?”
Ketika apa yang ada didepan mata, adalah kesungguhan. Ketika sang actor lainnya bermain tanpa seolah bermain. Ketika semua actor selain aku menghidupi panggung ini dengan kejujuran dan ketulusan hati.
“Aku…”
Pantaskah aku terus bermanis dengan dusta. Menyakiti hatinya. Lagi dan lagi.
“Alena…”
Geon mengeluarkan kotak kecil cantik berwarna merah dari saku jaketnya. Dan aku dapat menebak apa isinya. Tapi Geon, apa pantas aku menerimanya? Padahal aku belum sedikitpun menerima hatimu dengan ketulusan. Selama ini aku hanya berdusta. Berdusta pada diriku sendiri, padamu, Rena dan pada semua orang. Tidak, aku tidak bisa menerimanya. Tapi bagaimana aku menolaknya?!
Geon hendak membuka kotak kecil itu untuk menunjukan isinya.
“Uhm, Geon… Aku belum siap!” jawabku segera, sambil meraih tangannya yang hampir saja membuka kotak itu.
Mendengar jawabanku yang mungkin sedikit membingungkan untuknya, ia memasukkan kembali kotak kecil itu ke saku jaketnya. Wajahnya berubah sendu. Seolah baru saja kehilangan semangat hidup yang semula tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampan itu.
“Maafkan aku Geon, tapi aku belum siap!” ucapku sekali lagi.
Geon tersenyum lembut setelah mencerna kata-kataku dengan lebih bijaksana. Kesenduannya pun hilang seketika. Kembali menjadi Geon yang aku kenal.
“Tak apa, sayang! Asalkan kamu tidak memintaku pergi dari sisimu. Coz, I love you!”
Geon mengecup keningku dengan lembut. Kecupan yang hanya dapat kubalas dengan satu senyuman tanpa rasa.
* * *
“Apa? Geon melamarmu?! Bagus donk kalo gitu! Selamat ya!”
Aku menggelengkan kepalaku tanda tak setuju dengan pendapat yang baru saja dilontarkan Rena. Uluran tangannya untuk menyelamati ku tidak kuraih. Yah, pikirku untuk apa kata selamat. Ini bukan sesuatu yang pantas dirayakan. Karena ini luka baru untukku.
“Maaf, Rena! Tapi aku menolak lamarannya!” ucapku pelan.
“Apa?!”
Keterkejutan Rena membuatku sepuluh kali lebih terkejut. Jantungku hampir saja terpisah dari tubuhku. Memang Rena pantas terkejut dan dia pantas marah jika ia tahu alasan apa yang membuatku menolak lamaran seorang pria yang selama ini semua orang tahu sangat aku cintai melebihi apapun.
“Alena! Jadi tebakanku selama ini benar?! Kamu mengejarnya, kamu membuatnya mencintaimu, kamu menerima cintanya, dan menjalani hubungan selama 5 tahun, hanya untuk menutupi luka dihatimu. Menggantikan Rion mengisi hari-harimu. Berkhayal kalo kamu ada disamping Rion, dan kamu akan terus disamping Rion. Benar kan?!”
Aku mengangguk pelan mengiyakan kata-kata yang tanpa disangka keluar begitu saja dari mulut Rena. Padahal aku baru saja ingin mengakui semua itu, tapi ternyata ia sudah tahu, bahkan ia lebih tahu.
“Braakkk!!!”
Meja kayu tempatku menyanggahkan kedua tanganku bergetar bersamaan dengan tangan Rena yang dibenturkan sangat keras ke muka meja.
“Rion sudah mati! Dan luka di hati kamu tak akan pernah terhapus selama kamu belum menghapus kemelekatan kamu terhadap Rion. Lupakan Rion! Sejak dulu aku sudah bilang, lupakan Rion! Kamu memang cinta mati sama dia, tapi bukan berarti saat Rion mati kamu menganggap semua pria itu Rion. Karena Rion tidak bisa disamakan dengan pria manapun. Rion hanya satu Rion. Dan dia tidak akan kembali apapun yang kamu lakukan, dia tidak akan kembali. Dia sudah mati!”
“Cukup! Rion ga pernah mati! Aku percaya kalo dia sudah mati! Tapi dia masih hidup! Dan dia sekarang hidup dalam diri Geon!”
“Rion sudah mati, Alena! Dan tidak ada Rion di dalam diri Geon! Hentikan khayalan kamu! Kamu hidup di dunia nyata! Saat ini yang kamu miliki adalah Geon, yang ada di sisi kamu adalah Geon, yang paling mencintai kamu adalah Geon, dan yang kamu butuhkan adalah Geon. Bukan Rion, atau pria manapun yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam di masalalu mu!”
Aku menangis, airmataku berjatuhan dengan sangat deras saat mendengar semua yang diucapkan Rena padaku. Semua tanpa satupun kesalahan.
“Selama ini aku sudah menyadari kebohonganmu pada Geon, sejak kamu berusaha menemuinya padahal dulu kamu sama sekali tidak mengenalnya. Aku tahu ini semua salahku. Aku yang salah pernah mengatakan kalau mata Geon murip dengan mata Rion. Aku yang salah. Tapi aku mohon, Al! Hentikan! Kamu hanya memperparah luka di hatimu! Kamu juga akan membuat luka di hati Geon! Di hatiku, juga di hati Rion yang mengawasimu dari alam sana. Kamu melukai dirimu dan semua orang! Karena itu hentikan! Aku mohon!”
Aku mengangguk tanda setuju. Dibalas senyuman dan pelukan hangat dari Rena, sahabatku.
* * *
“Al, selama 3 hari aku akan pergi ke Singapore! Aku harus…”
“Ga boleh!” perintah tegas itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
Geon ga boleh pergi ke tempat itu. Pikiran melayang ke masa lalu. Ketika Rion berpamitan untuk pergi ke Singapure untuk menjenguk kerabatnya yang sedang sakit parah selama 3 hari.
“3 hari lagi aku kembali ke Jakarta, aku tunggu kamu di bukit jam 7 malam. Aku ada sesuatu buat kamu”
Dan Rion pergi tanpa sedikitpun usahaku untuk menahannya. Dan dia…
“Al, aku harus…”
“Kamu ga boleh pergi ke Singapore!”
“Kamu ini kenapa sih?!”
3 hari kemudian aku menerima sms dari Rion. Yang isinya mengulangi permintaannya sebelum ia berangkat. Ia ingin aku menemuinya di bukit jam 7 malam. Tanpa firasat apapun aku memenuhi keinginannya. Tapi yang aku temui di bukit itu bukan Rion.
“Ri…Rion…”
Terkejut. Aku melihat sebidang tanah dengan nisan marmer bertuliskan nama Rion dipermukaannya. Diatasnya berserakan kelopak-kelopak bunga yang masih segar.
“Haha…Jangan becanda deh! Ga lucu tau! Rion cepet keluar!”
Akupun yakin dia pasti sedang bersembunyi dan mengawasiku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dia pasti menungguku menangisi makam palsu yang dibuatnya.
“Rion! Udah deh! Cepet keluar! Kalo ga aku pulang nih!”
Tapi dia tetap tidak muncul.
“Alena, maafkan aku!”
Suara Rion.
“Rion, ayo keluar! Jangan permainkan aku lagi!”
“Alena…”
Suara itu terdengar semakin pelan. Dan terus terdengar sayup-sayup lalu hilang tertelan hembusan angin..
Aku mulai berpikiran jelek. Aku kembali menatap batu nisan itu dengan teliti untuk menghilangkan keraguanku.aku meraba setiap ukiran huruf yang menghiasi nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian,dan…
“Sebuah cincin?!”
Cincin cantik aku temukan tergantung di sebuah paku yang menancap diantara huruf-huruf di nisan itu.
“Jadi ini yang ingin kamu tunjukan?! Baiklah, sekarang keluar! Aku sudah menemukan hadiahmu! Rion…”
Ga! Aku ga bisa bersabar lagi! Dia keterlaluan!
“Cukup! Cukup Rion! Keluar!!! Jangan membuatku takut!!! Rion keluar!!! Aku ingin memelukmu… Aku ingin kamu memasangkan cincin ini di jariku…”
Aku menangis tiba-tiba. Entah atas dasar apa. Aku hanya ingin melihat wajahnya yang muncul dan mentertawaiku. Tak apa! Aku hanya ingin melihatnya.
“Maaf, Alena…”
“Rion…”
Aku menoleh keasal suara dan mendapati sosok pria yang menyerupai Rion.
“Rion…”
“Alena, ini aku Dion. Kakak Rion! Maaf aku terlambat!”
“Kak Dion! Rion mana?!”
“Itu, yang kamu pegang”
Aku menatap nisan yang tanpa sadar masih terus kulekatkan dengan telapak tanganku.
“Hah, kak Dion! Jangan becanda deh! Mana Rion?!”
“Alena…”
Aku melihat airmata berjatuhan dari kelopak mata Dion. Bibirnya terlihat kelu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Kak Dion jangan becanda! Rion ga mungkin… Ga mungkin… Dia janji ga akan ninggalin aku… Ga mungkin…”
“Saat mobil kami melewati pertokoan, Rion melihat sebuah boneka tedy bear berukuran sangat besar terpajang di etalase toko. Dia bilang kamu sangat menginginkan boneka seperti itu. Lalu dia menghentikan mobil yang dikendarainya dan berlari menyebrangi jalan menuju toko itu. Ia membeli boneka itu, tapi saat ia kembali menyabrangi jalan, ia lengah. Sebuah taksi menabraknya dengan kencang. Dan dia…”
“Rion meninggal di Singapore… Karena itu kamu jangan pergi, kamu ga boleh pergi!”
Tanpa sadar aku sudah memeluk Geon dengan sangat erat dan menangis di pangkuannya. “Siapa Rion?!”
Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku terhentak. Geon bertanya siapa Rion. Apa yang harus aku katakan padanya tentang Rion.
“Alena, siapa Rion?!” ulangnya.
* * *
Akupun menceritakan semuanya. Yah, aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini. Aku harus mengakhirinya.
“Maaf, Geon! Selama ini aku sudah jahat sama kamu! Aku menyayangimu, tapi aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya memanfaatkan kemiripanmu untuk menutupi kesedihanku yang telah kehilangan dia, orang yang aku cintai. Dan aku sadar, kamu tidak bisa selamanya hidup dengan kebohongan, kepura-puraan. Aku harus mengakhiri semuanya!”
“Al…”
“Kamu boleh marah! Kamu boleh benci! Kamu boleh memukulku! Tapi maaf kan aku! Aku sudah banyak melukai hatimu! Aku jahat! Aku egois!”
“Tapi kebohongan itu manis, sayang! Dan aku bahagia! Selama ini kamu bersandiwara sebagai orang yang paling mencintaiku, walaupun hanya sandiwara, tapi aku bahagia. Aku sedih! Tapi aku ga akan marah, ga akan membencimu. Apapun kenyataannya. Kebohongan, kepura-puraan, apapun yang kamu berikan. Aku senang. Karena di dalam sini hanya ada satu perasaan. Cinta yang tak akan pernah hilang”
Baiknya pria ini, kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari ketulusannya? Kenapa selama ini aku tidak pernah benar-benar mengenali dia yang sesungguhnya? Dan kenapa aku tega melukainya?
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku menangis dibahunya. Aku menyesal telah melakukan semua ini padanya. Aku menyesal tidak pernah menghargai perasaannya. Aku menyesal telah tidak pernah tersenyum tulus padanya. Aku menyesal tidak pernah mencintainya. Aku menyesal telah menyimpan bayang-bayang Rion dibalik sosoknya. Dan ribuan penyesalan yang tak akan pernah terhapuskan dengan satu kata maaf.
“Lagi pula, tadi kamu melarangku pergi karena teringat masa lalumu dengan Rion. Aku percaya, itu tandanya kamu menyayangiku sama seperti kamu menyayangi Rion. Iya kan?!”
Aku membenarkan kata-kata Geon didalam hati. Dia benar, aku mulai menyayanginya. Dan aku ga ingin kehilangan dia seperti dulu aku kehilangan Rion.
“Jangan tinggalkan aku, Alena! Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku benar-benar mencintaimu!”
“Aku ga pernah bilang ingin meninggalkanmu kan?”
Geon memelukku lebih erat saat mendengar jawabanku.
“Terima kasih, sayang!”
“Tapi, biarkan aku mengulanginya dari awal! Dari toko buku Fraza”
“Apa?!”
“Aku bersedia menikah denganmu!”
“Benarkah?!”
Geon hampir melompat dari tempatnya duduk manis.
“Yup, jika kamu bersedia memulainya dari awal pertama kali kita bertemu”
Karena saat itu aku akan menyapamu tidak sebagai Rion atau siapapun. Tapi akan ku sapa dirimu sebagai malaikat yang akan menyembuhkan luka di hati ini.
*** TamaT***
Oleh : Ressa Novita
Hati ini gelap, aku seolah mencinta, tanpa pernah belajar mencinta. Sebenarnya apa yang aku inginkan?! Kasih sayang? Cinta? Bukan! Yang aku ingin hanya kepuasan batinku. Bayang-bayang semu yang aku anggap nyata dibalik sosoknya.
Hebatnya aku! 5 tahun berlalu dan wajah ini hanya milik seorang actor professional. Kebohongan menjadi penopang utamaku dalam menjalani sandiwara hidup ini. Tapi, apakah panggung kebahagiaan ini dapat kupertahankan untuk selamanya?!
“Alena, maukah kamu menikah dengan ku?”
Ketika apa yang ada didepan mata, adalah kesungguhan. Ketika sang actor lainnya bermain tanpa seolah bermain. Ketika semua actor selain aku menghidupi panggung ini dengan kejujuran dan ketulusan hati.
“Aku…”
Pantaskah aku terus bermanis dengan dusta. Menyakiti hatinya. Lagi dan lagi.
“Alena…”
Geon mengeluarkan kotak kecil cantik berwarna merah dari saku jaketnya. Dan aku dapat menebak apa isinya. Tapi Geon, apa pantas aku menerimanya? Padahal aku belum sedikitpun menerima hatimu dengan ketulusan. Selama ini aku hanya berdusta. Berdusta pada diriku sendiri, padamu, Rena dan pada semua orang. Tidak, aku tidak bisa menerimanya. Tapi bagaimana aku menolaknya?!
Geon hendak membuka kotak kecil itu untuk menunjukan isinya.
“Uhm, Geon… Aku belum siap!” jawabku segera, sambil meraih tangannya yang hampir saja membuka kotak itu.
Mendengar jawabanku yang mungkin sedikit membingungkan untuknya, ia memasukkan kembali kotak kecil itu ke saku jaketnya. Wajahnya berubah sendu. Seolah baru saja kehilangan semangat hidup yang semula tak pernah lepas dari raut wajahnya yang tampan itu.
“Maafkan aku Geon, tapi aku belum siap!” ucapku sekali lagi.
Geon tersenyum lembut setelah mencerna kata-kataku dengan lebih bijaksana. Kesenduannya pun hilang seketika. Kembali menjadi Geon yang aku kenal.
“Tak apa, sayang! Asalkan kamu tidak memintaku pergi dari sisimu. Coz, I love you!”
Geon mengecup keningku dengan lembut. Kecupan yang hanya dapat kubalas dengan satu senyuman tanpa rasa.
* * *
“Apa? Geon melamarmu?! Bagus donk kalo gitu! Selamat ya!”
Aku menggelengkan kepalaku tanda tak setuju dengan pendapat yang baru saja dilontarkan Rena. Uluran tangannya untuk menyelamati ku tidak kuraih. Yah, pikirku untuk apa kata selamat. Ini bukan sesuatu yang pantas dirayakan. Karena ini luka baru untukku.
“Maaf, Rena! Tapi aku menolak lamarannya!” ucapku pelan.
“Apa?!”
Keterkejutan Rena membuatku sepuluh kali lebih terkejut. Jantungku hampir saja terpisah dari tubuhku. Memang Rena pantas terkejut dan dia pantas marah jika ia tahu alasan apa yang membuatku menolak lamaran seorang pria yang selama ini semua orang tahu sangat aku cintai melebihi apapun.
“Alena! Jadi tebakanku selama ini benar?! Kamu mengejarnya, kamu membuatnya mencintaimu, kamu menerima cintanya, dan menjalani hubungan selama 5 tahun, hanya untuk menutupi luka dihatimu. Menggantikan Rion mengisi hari-harimu. Berkhayal kalo kamu ada disamping Rion, dan kamu akan terus disamping Rion. Benar kan?!”
Aku mengangguk pelan mengiyakan kata-kata yang tanpa disangka keluar begitu saja dari mulut Rena. Padahal aku baru saja ingin mengakui semua itu, tapi ternyata ia sudah tahu, bahkan ia lebih tahu.
“Braakkk!!!”
Meja kayu tempatku menyanggahkan kedua tanganku bergetar bersamaan dengan tangan Rena yang dibenturkan sangat keras ke muka meja.
“Rion sudah mati! Dan luka di hati kamu tak akan pernah terhapus selama kamu belum menghapus kemelekatan kamu terhadap Rion. Lupakan Rion! Sejak dulu aku sudah bilang, lupakan Rion! Kamu memang cinta mati sama dia, tapi bukan berarti saat Rion mati kamu menganggap semua pria itu Rion. Karena Rion tidak bisa disamakan dengan pria manapun. Rion hanya satu Rion. Dan dia tidak akan kembali apapun yang kamu lakukan, dia tidak akan kembali. Dia sudah mati!”
“Cukup! Rion ga pernah mati! Aku percaya kalo dia sudah mati! Tapi dia masih hidup! Dan dia sekarang hidup dalam diri Geon!”
“Rion sudah mati, Alena! Dan tidak ada Rion di dalam diri Geon! Hentikan khayalan kamu! Kamu hidup di dunia nyata! Saat ini yang kamu miliki adalah Geon, yang ada di sisi kamu adalah Geon, yang paling mencintai kamu adalah Geon, dan yang kamu butuhkan adalah Geon. Bukan Rion, atau pria manapun yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam di masalalu mu!”
Aku menangis, airmataku berjatuhan dengan sangat deras saat mendengar semua yang diucapkan Rena padaku. Semua tanpa satupun kesalahan.
“Selama ini aku sudah menyadari kebohonganmu pada Geon, sejak kamu berusaha menemuinya padahal dulu kamu sama sekali tidak mengenalnya. Aku tahu ini semua salahku. Aku yang salah pernah mengatakan kalau mata Geon murip dengan mata Rion. Aku yang salah. Tapi aku mohon, Al! Hentikan! Kamu hanya memperparah luka di hatimu! Kamu juga akan membuat luka di hati Geon! Di hatiku, juga di hati Rion yang mengawasimu dari alam sana. Kamu melukai dirimu dan semua orang! Karena itu hentikan! Aku mohon!”
Aku mengangguk tanda setuju. Dibalas senyuman dan pelukan hangat dari Rena, sahabatku.
* * *
“Al, selama 3 hari aku akan pergi ke Singapore! Aku harus…”
“Ga boleh!” perintah tegas itu tiba-tiba terlontar dari mulutku.
Geon ga boleh pergi ke tempat itu. Pikiran melayang ke masa lalu. Ketika Rion berpamitan untuk pergi ke Singapure untuk menjenguk kerabatnya yang sedang sakit parah selama 3 hari.
“3 hari lagi aku kembali ke Jakarta, aku tunggu kamu di bukit jam 7 malam. Aku ada sesuatu buat kamu”
Dan Rion pergi tanpa sedikitpun usahaku untuk menahannya. Dan dia…
“Al, aku harus…”
“Kamu ga boleh pergi ke Singapore!”
“Kamu ini kenapa sih?!”
3 hari kemudian aku menerima sms dari Rion. Yang isinya mengulangi permintaannya sebelum ia berangkat. Ia ingin aku menemuinya di bukit jam 7 malam. Tanpa firasat apapun aku memenuhi keinginannya. Tapi yang aku temui di bukit itu bukan Rion.
“Ri…Rion…”
Terkejut. Aku melihat sebidang tanah dengan nisan marmer bertuliskan nama Rion dipermukaannya. Diatasnya berserakan kelopak-kelopak bunga yang masih segar.
“Haha…Jangan becanda deh! Ga lucu tau! Rion cepet keluar!”
Akupun yakin dia pasti sedang bersembunyi dan mengawasiku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Dia pasti menungguku menangisi makam palsu yang dibuatnya.
“Rion! Udah deh! Cepet keluar! Kalo ga aku pulang nih!”
Tapi dia tetap tidak muncul.
“Alena, maafkan aku!”
Suara Rion.
“Rion, ayo keluar! Jangan permainkan aku lagi!”
“Alena…”
Suara itu terdengar semakin pelan. Dan terus terdengar sayup-sayup lalu hilang tertelan hembusan angin..
Aku mulai berpikiran jelek. Aku kembali menatap batu nisan itu dengan teliti untuk menghilangkan keraguanku.aku meraba setiap ukiran huruf yang menghiasi nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian,dan…
“Sebuah cincin?!”
Cincin cantik aku temukan tergantung di sebuah paku yang menancap diantara huruf-huruf di nisan itu.
“Jadi ini yang ingin kamu tunjukan?! Baiklah, sekarang keluar! Aku sudah menemukan hadiahmu! Rion…”
Ga! Aku ga bisa bersabar lagi! Dia keterlaluan!
“Cukup! Cukup Rion! Keluar!!! Jangan membuatku takut!!! Rion keluar!!! Aku ingin memelukmu… Aku ingin kamu memasangkan cincin ini di jariku…”
Aku menangis tiba-tiba. Entah atas dasar apa. Aku hanya ingin melihat wajahnya yang muncul dan mentertawaiku. Tak apa! Aku hanya ingin melihatnya.
“Maaf, Alena…”
“Rion…”
Aku menoleh keasal suara dan mendapati sosok pria yang menyerupai Rion.
“Rion…”
“Alena, ini aku Dion. Kakak Rion! Maaf aku terlambat!”
“Kak Dion! Rion mana?!”
“Itu, yang kamu pegang”
Aku menatap nisan yang tanpa sadar masih terus kulekatkan dengan telapak tanganku.
“Hah, kak Dion! Jangan becanda deh! Mana Rion?!”
“Alena…”
Aku melihat airmata berjatuhan dari kelopak mata Dion. Bibirnya terlihat kelu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Kak Dion jangan becanda! Rion ga mungkin… Ga mungkin… Dia janji ga akan ninggalin aku… Ga mungkin…”
“Saat mobil kami melewati pertokoan, Rion melihat sebuah boneka tedy bear berukuran sangat besar terpajang di etalase toko. Dia bilang kamu sangat menginginkan boneka seperti itu. Lalu dia menghentikan mobil yang dikendarainya dan berlari menyebrangi jalan menuju toko itu. Ia membeli boneka itu, tapi saat ia kembali menyabrangi jalan, ia lengah. Sebuah taksi menabraknya dengan kencang. Dan dia…”
“Rion meninggal di Singapore… Karena itu kamu jangan pergi, kamu ga boleh pergi!”
Tanpa sadar aku sudah memeluk Geon dengan sangat erat dan menangis di pangkuannya. “Siapa Rion?!”
Pertanyaan itu tiba-tiba membuatku terhentak. Geon bertanya siapa Rion. Apa yang harus aku katakan padanya tentang Rion.
“Alena, siapa Rion?!” ulangnya.
* * *
Akupun menceritakan semuanya. Yah, aku tidak boleh melanjutkan kebohongan ini. Aku harus mengakhirinya.
“Maaf, Geon! Selama ini aku sudah jahat sama kamu! Aku menyayangimu, tapi aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya memanfaatkan kemiripanmu untuk menutupi kesedihanku yang telah kehilangan dia, orang yang aku cintai. Dan aku sadar, kamu tidak bisa selamanya hidup dengan kebohongan, kepura-puraan. Aku harus mengakhiri semuanya!”
“Al…”
“Kamu boleh marah! Kamu boleh benci! Kamu boleh memukulku! Tapi maaf kan aku! Aku sudah banyak melukai hatimu! Aku jahat! Aku egois!”
“Tapi kebohongan itu manis, sayang! Dan aku bahagia! Selama ini kamu bersandiwara sebagai orang yang paling mencintaiku, walaupun hanya sandiwara, tapi aku bahagia. Aku sedih! Tapi aku ga akan marah, ga akan membencimu. Apapun kenyataannya. Kebohongan, kepura-puraan, apapun yang kamu berikan. Aku senang. Karena di dalam sini hanya ada satu perasaan. Cinta yang tak akan pernah hilang”
Baiknya pria ini, kenapa selama ini aku tidak pernah menyadari ketulusannya? Kenapa selama ini aku tidak pernah benar-benar mengenali dia yang sesungguhnya? Dan kenapa aku tega melukainya?
Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku menangis dibahunya. Aku menyesal telah melakukan semua ini padanya. Aku menyesal tidak pernah menghargai perasaannya. Aku menyesal telah tidak pernah tersenyum tulus padanya. Aku menyesal tidak pernah mencintainya. Aku menyesal telah menyimpan bayang-bayang Rion dibalik sosoknya. Dan ribuan penyesalan yang tak akan pernah terhapuskan dengan satu kata maaf.
“Lagi pula, tadi kamu melarangku pergi karena teringat masa lalumu dengan Rion. Aku percaya, itu tandanya kamu menyayangiku sama seperti kamu menyayangi Rion. Iya kan?!”
Aku membenarkan kata-kata Geon didalam hati. Dia benar, aku mulai menyayanginya. Dan aku ga ingin kehilangan dia seperti dulu aku kehilangan Rion.
“Jangan tinggalkan aku, Alena! Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku benar-benar mencintaimu!”
“Aku ga pernah bilang ingin meninggalkanmu kan?”
Geon memelukku lebih erat saat mendengar jawabanku.
“Terima kasih, sayang!”
“Tapi, biarkan aku mengulanginya dari awal! Dari toko buku Fraza”
“Apa?!”
“Aku bersedia menikah denganmu!”
“Benarkah?!”
Geon hampir melompat dari tempatnya duduk manis.
“Yup, jika kamu bersedia memulainya dari awal pertama kali kita bertemu”
Karena saat itu aku akan menyapamu tidak sebagai Rion atau siapapun. Tapi akan ku sapa dirimu sebagai malaikat yang akan menyembuhkan luka di hati ini.
*** TamaT***
HIV/AIDS, I HATE YOU!
HIV/AIDS, I HATE YOU!
Oleh : RACHMAT NUGRAHA
Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…
****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.
****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….
****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.
****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.
****
Oleh : RACHMAT NUGRAHA
Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…
****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.
****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….
****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.
****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.
****
Langganan:
Postingan (Atom)